Ancaman bagi kelestarian satwa terancam punah, komodo, terus datang. Kebakaran pada awal November mencakup 10 hektar savana di Pulau Rinca.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
LABUAN BAJO, KOMPAS — Populasi komodo semakin terancam. Selain karena kekurangan hewan buruan dan kenaikan air laut yang menggerus habitat, juga kebakaran lahan. Selasa (2/11/2021), terjadi kebakaran lahan sekitar 10 hektar habitat komodo di Loh Serai, Pulau Rinca, Taman Nasional Komodo.
Kepala Balai Taman Nasional Komodo (TNK) Lukita Awang Nistyantara saat dihubungi dari Mataram, Kamis (4/11/2021), mengatakan, kebakaran yang terjadi pada Selasa sekitar pukul 15.25 itu berhasil dipadamkan pada Rabu pagi.
Pemadaman dilakukan secara manual dengan mengerahkan petugas Balai TNK sebanyak 43 orang. Selain itu ada 11 orang dari masyarakat sekitar. Juga dibantu unsur TNI dan Polri.
Lukita mengatakan, luas area yang terbakar sekitar 10 hektar. Lokasinya berada di sisi utara-barat Pulau Rinca. Penyebab kebakaran di area padang savana itu terindikasi karena cuaca yang sangat panas.
”Saat tim pertama tiba di lokasi dan melakukan penyisiran, tidak ada jejak manusia. Diduga, (kebakaran terjadi) karena kondisi cuaca yang panas,” kata Lukita.
Lukita memastikan populasi komodo tetap aman dan tidak terdampak oleh kebakaran tersebut. Hal itu karena area kebakaran berada di tebing. Menurut dia, komodo memang masih ke sana, tetapi kadang-kadang. ”Ketika kemarin menyisir lokasi itu, tidak ada satwa yang mati,” kata Lukita.
Kepala Subbagian Tata Usaha Balai TNK Dwi Putri Sugiarto mengatakan, daerah savana di Rinca memang rawan kebakaran. Apalagi didominasi vegetasi rumput kering. Namun, pada area dengan vegetasi pepohonan atau hutan kerawanannya kurang.
Berdasarkan data Balai TNK, kebakaran pada Selasa lalu merupakan yang kedua. Sebelumnya, kebakaran juga terjadi pada Agustus lalu di Pulau Komodo yang merupakan salah satu habitat komodo. Penyebabnya cuaca panas di hamparan rumput kering.
Dihubungi secara terpisah, Doni Parera, pegiat pariwisata konservasi di TNK, mengatakan, kebakaran di TNK memang sering terjadi. Penyebabnya beragam. Selain akibat cuaca, juga disengaja.
”Beberapa kali disengaja. Pemburu liar membakar padang savana sehingga semua menghitam. Setelah itu, biasanya muncul tunas baru setelah beberapa hari dan memancing rusa datang. Kontras warna antara rusa dan area yang terbakar akan memudahkan pemburu menembak,” kata Doni.
Menurut Doni, selain merusak ekosistem di TNK, dampak yang paling besar tentu ke komodo. Apalagi jika api sampai menjangkau lembah tempat tinggal komodo sehingga komodo kian terancam, di samping hal lain seperti proyek infrastruktur pariwisata di TNK.
Dalam kongres di Paris, Perancis, awal September 2021, International Union for Conservation of Nature memasukkan komodo ke dalam daftar merah satwa terancam punah, dari sebelumnya rentan.
Keterancaman ini, di antaranya, karena perubahan iklim yang diikuti kenaikan permukaan laut yang mempersempit habitat. Kondisi itu bersanding dengan rendahnya keragaman genom komodo yang membuat kian rentan secara alami.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, tahun 2018 ada 2.897 komodo, kemudian naik menjadi 3.022 ekor pada 2019. Sebagian besar terdapat di Pulau Komodo dan Pulau Rinca. Hanya 7 ekor di Pulau Padar, 69 ekor di Gili Motang, dan 91 ekor di Nusa Kode. Luas TNK yang diresmikan pada 6 Maret 1980 adalah 173.000 hektar (Kompas, 15/9/2021).
Menurut Doni, sampai saat ini belum ada metode yang tepat untuk mengatasi kebakaran di TNK. Apalagi kejadian kebakaran seringkali berada di tempat terpencil dan medan yang sulit terjangkau. Ditambah lagi personel lapangan yang terbatas.
“Upaya antisipasi sejauh ini belum efektif. Oleh karena itu, harus ada upaya lain, misalnya memanfaatkan teknologi seperti drone untuk pengawasan dan pencegahan. Termasuk memikirkan bagaimana mobilitas alat pemadaman api bisa mudah bergerak,” kata Doni.
Di samping itu, kata Doni, pelibatan masyarakat lokal setempat juga harus maksimal. Dengan demikian, ketika ada kejadian, mereka ikut ambil bagian.
Terkait antisipasi, kata Lukita, sosialisasi ke masyarakat terus dilakukan sehingga antisipasi kebakaran menjadi tugas bersama. ”Selain itu, kami ada patroli rutin yang dijalankan bersama masyarakat. Apalagi di desa-desa di komodo sudah ada Masyarakat Peduli Api,” katanya.
Dwi menambahkan, khusus untuk musim kemarau yang kering, personel juga tetap disiagakan agar bisa mengidentifikasi dan bergerak cepat ke lokasi kebakaran. Ia juga menghimbau masyarakat agar berlaku ramah pada alam dan menghindari aktivitas yang dapat memicu timbulnya api.