Trauma, Warga Minta Petugas Berjaga di Perbatasan TNWK
Penanganan konflik ruang antara manusia dan gajah liar membutuhkan keterlibatan warga yang tinggal di kawasan penyangga hutan. Kesadaran hidup berdampingan dengan satwa liar harus terus ditumbuhkan.
Oleh
VINA OKTAVIA
·4 menit baca
LAMPUNG, KOMPAS — Perwakilan warga Desa Tegalyoso, Kecamatan Purbolinggo, Lampung Timur, Lampung, menggelar pertemuan dengan pengelola Taman Nasional Way Kambas untuk membahas pencegahan konflik gajah liar dengan manusia. Selain pembuatan tanggul pembatas, warga juga meminta agar mitigasi konflik diperkuat.
Kepala Desa Tegalyoso M Yani mengatakan, pertemuan dihadiri sejumlah warga yang memiliki kebun di wilayah perbatasan antara desa dan taman nasional serta petugas dari Seksi II Bungur, TNWK. Musyawarah itu dilakukan menyusul ada insiden seorang warga desa yang tewas terinjak gajah pada Minggu (31/10/2021) malam.
”Saat ini, sebagian warga desa masih trauma dengan peristiwa kemarin. Kami meminta petugas membantu warga untuk berjaga di wilayah perbatasan taman nasional beberapa hari ke depan,” kata Yani saat dihubungi dari Bandar Lampung, Selasa (2/11/2021).
Dalam pertemuan tersebut, perwakilan pihak keluarga juga menyampaikan sudah menerima musibah itu. Sebagai ucapan belasungkawa, pengelola TNWK juga berjanji memberikan santunan kepada keluarga korban.
Yani menambahkan, warga juga menyampaikan sejumlah permintaan untuk mencegah terulangnya konflik antara manusia dan gajah di TNWK. Salah satunya adalah pembuatan tanggul atau kanal pembatas antara kawasan taman nasional dan desa. Tanggul sepanjang 8 kilometer itu diperlukan untuk mencegah gajah masuk ke perkebunan warga.
Desa Tegalyoso memang berbatasan langsung dengan hutan TNWK. Jarak antara desa dan hutan Taman Nasional Way Kambas yang menjadi tempat tinggal gajah liar hanya sekitar 2 kilometer. Selama ini, gajah liar sering memasuki kebun masyarakat yang ditanami jagung dan pisang.
Tanggul sepanjang 8 kilometer itu diperlukan untuk mencegah gajah masuk ke perkebunan warga.
Konflik memuncak saat Sutikno (55), warga Desa Tegalyoso, ditemukan meninggal karena terinjak gajah pada Minggu (31/10/2021) pukul 20.00. Korban meninggal dengan luka berat pada bagian dada dan kaki. Korban diduga terinjak gajah liar saat hendak mengecek kondisi kebun jagungnya.
Insiden tewasnya Sutikno akibat terinjak gajah liar itu sempat menyulut kemarahan sekelompok warga setempat. Sejumlah orang sempat mendatangi kantor Seksi II Bungur TNWK untuk mencari petugas yang berjaga di pos tersebut. Namun, polisi dan aparat desa berusaha menenangkan warga agar tidak memicu konflik horizontal dengan petugas.
Selama kurun waktu 30 tahun terakhir, Yani mengatakan, sudah ada empat warga Desa Tegalyoso yang meninggal karena diserang gajah liar. Saat musim panen, kebun jagung warga juga kerap dirusak kawanan gajah liar.
Pelaksana Harian Kepala Seksi II Bungur TNWK Nazaruddin mengatakan, penanganan konflik ruang antara manusia dan gajah liar membutuhkan keterlibatan warga yang tinggal di kawasan penyangga hutan. Kesadaran hidup berdampingan dengan satwa liar harus terus ditumbuhkan untuk meminimalisasi konflik.
Dengan adanya kesadaran itu, masyarakat semestinya terdorong untuk membantu pelestarian satwa dilindungi. Di sisi lain, masyarakat juga harus mempunyai kemampuan mitigasi saat ada kawanan gajah liar yang keluar dari dalam kawasan hutan.
Selama ini, kata Nazaruddin, petugas selalu siaga membantu warga desa penyangga untuk mengatasi konflik dengan gajah liar. Selain membentuk tim mitigasi penanganan konflik gajah dengan manusia di setiap desa, petugas TNWK juga selalu memantau posisi gajah liar melalui GPS collar dan membantu warga melakukan penggiringan gajah.
Namun, kata dia, jumlah petugas yang terbatas tidak sebanding dengan luas kawasan yang harus dijaga. Saat ini, hanya 23 petugas polisi kehutanan di Seksi II yang menjaga kawasan hutan seluas 40.000 hektar. Selain membantu penganganan konflik gajah dengan manusia, petugas juga menjaga hutan dari aktivitas perambahan, penembangan ilegal, perburuan satwa, dan kebakaran.
Dia menjelaskan, insiden terinjaknya warga oleh gajah liar itu di luar prediksi mahout yang membantu warga melakukan penggiringan gajah. Sebelum kejadian, petugas telah menginformasikan posisi gajah liar kepada warga yang siap melakukan penggiringan.
Dari pantauan GPS collar yang dipasang di kawanan gajah itu, Minggu sore, posisi gajah berada di dalam hutan dengan jarak sekitar 2 kilometer dari batas TNWK.
Petugas lalu meminta warga desa untuk bersiap menghalau gajah liar agar tidak keluar kawasan hutan dan merusak perkebunan warga. Saat itulah, petugas dan warga fokus menggiring kelompok besar gajah liar.
Ternyata, masih ada dua gajah liar yang masih berada di sekitar perkebunan. Saat itu, petugas juga tidak mengetahui jika korban pergi ke kebun untuk mengecek tanaman jagung.
Terkait dengan permintaan pembuatan tanggul, dia menambahkan, pihaknya juga telah mengusulkan pembuatan kanal pembatas untuk menghalau kelompok gajah liar kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menurut rencana, tanggul itu memang akan dibangun pada 2022.