Bukannya untung, ibu dua anak itu justru dieksploitasi. Ia tidak menerima gaji selama sembilan bulan. Ia yang sebelumnya dijanjikan untuk menjadi PRT dan mengurus lansia dipekerjakan menjaga sembilan anjing.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·6 menit baca
Meskipun diiming-imingi gaji tinggi, bekerja di luar negeri sangat penuh risiko. Tidak jarang, pekerja rumah tangga (PRT) migran menjadi korban kekerasan, pelecehan, dan diperdagangkan. Pulang ke Tanah Air membawa kisah kelam, sebagian dari mereka melanjutkan pendidikan untuk menata masa depan.
Mutia Suparta (39), warga Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, baru berusia 15 tahun saat berangkat ke Arab Saudi untuk menjadi PRT pada 1997. Kesulitan ekonomi keluarga memaksanya mengadu nasib ke negeri orang. Mimpinya melanjutkan pendidikan hingga perguruan tinggi terhenti di kelas dua madrasah tsanawiyah.
Karena masih di bawah umur, agen penyalur pekerja migran Indonesia (PMI) yang mengurus pemberangkatannya memalsukan data Mutia. ”Perusahaannya (penyalur) resmi, tetapi dokumennya abal-abal. Saat itu saya belum punya KTP. Di paspor, umur saya dipalsukan menjadi 27 tahun,” ujarnya, Sabtu (30/10/2021).
Mutia dijanjikan gaji 600 riyal per bulan. Dengan kurs Rp 2.000 rupiah saat itu, ia akan mendapatkan penghasilan sekitar Rp 1,2 juta per bulan. Akan tetapi, janji itu tidak terbukti. Selama 1,5 tahun bekerja, ia sama sekali tidak digaji. Bahkan, majikannya di Riyadh, ibu kota Arab Saudi, melarangnya berkomunikasi dengan keluarganya di Indonesia dan sesama PMI di kota tersebut.
Tak hanya itu, majikannya juga beberapa kali mencoba melakukan pelecehan. ”Saya selalu menyimpan pisau kecil di bawah kasur. Sangat takut, tetapi tidak tahu harus berbuat apa,” ujarnya.
Ketika beraktivitas di luar rumah saat akhir pekan, Mutia menceritakan kelakuan majikannya itu kepada rekannya sesama PMI. Cerita itu kemudian dilaporkan kepada adik majikannya.
”Berkat adiknya, majikan itu mau melepas saya. Namun, saya keluar dari rumah itu hanya membawa pakaian, tanpa mendapat gaji selama 1,5 tahun,” ujarnya.
Cerita pahit itu membuat Mutia ingin segera pulang ke Indonesia. Namun, ia tidak punya uang dan tidak tahu caranya. Ia pun memutuskan kembali bekerja menjadi PRT dengan majikan berbeda.
Ia digaji 600 riyal per bulan oleh majikannya yang kedua. Bahkan, ia diantar ke rumah majikan sebelumnya untuk meminta haknya berupa gaji selama bekerja di sana.
”Majikan saya yang kedua baik. Hampir dua tahun bekerja sama dia. Tetapi, karena trauma dan niatnya mau pulang, saya kembali ke Indonesia pada 2001,” ujarnya.
Mutia kembali ke Indramayu dengan membawa uang sekitar Rp 30 juta. Uang itu digunakan untuk merenovasi rumah, membiayai sekolah adik-adiknya, dan membantu perekonomian keluarga. Sisa uang Rp 350.000 dipakai untuk kursus menjahit. Harapannya, ia bisa membuka usaha menjahit pakaian kecil-kecilan di rumahnya.
”Ternyata tidak sesuai harapan. Saya bisa dapat ilmunya (menjahit), tetapi tidak punya uang untuk membeli alatnya (mesin jahit),” ujarnya.
Desakan ekonomi keluarga membuatnya kembali bekerja di Arab Saudi pada 2004. Selain sebagai PRT, majikannya juga mempekerjakannya kepada pengusaha konfeksi di Riyadh.
Mutia digaji 700 riyal per bulan. Padahal, majikannya mendapatkan 1.400 riyal dari pengusaha tersebut. ”Bisa dibilang, saya diperdagangkan. Sampai ada teman PMI yang bilang saya goblok. Namun, saat itu saya tidak paham apa hak-hak saya dan bagaimana yang harus dilakukan kalau hal seperti itu terjadi,” jelasnya.
Tiga tahun berselang, anak ketiga dari tujuh bersaudara itu pulang ke Indonesia. Ia membeli mesin jahit dan membuka usaha menjahit. Setahun berjalan, ia mulai bosan dan menerima tawaran dari sepupunya untuk bekerja di pabrik garmen di Tangerang, Banten, dengan gaji Rp 1,25 juta per bulan.
Akan tetapi, Mutia hanya bekerja selama enam bulan di pabrik itu. Tingginya beban kerja sering membuatnya dan rekan-rekannya bekerja hingga malam. Dalam perjalanan ke kontrakan, mereka kerap digoda oleh pekerja lelaki yang mencoba melecehkan mereka.
”Beberapa teman pernah didekap tiba-tiba oleh mereka dari belakang. Bekerja di luar negeri dan di Indonesia ternyata sama saja. Untuk jaga-jaga, saya selalu pegang gunting setiap pulang malam,” katanya.
Mutia pun kembali ke Indramayu untuk melanjutkan usaha menjahitnya. Pada 2011, ia bergabung dengan komunitas Ibu Tin Berseri. Komunitas ini memberdayakan eks PMI dan keluarganya.
Di komunitas itu, ia bertukar cerita tentang pengalaman bekerja di luar negeri. ”Dari sinilah muncul motivasi untuk melanjutkan pendidikan. Sebab, selama menjadi PMI, kami tidak paham tentang hak-hak dan perlindungan karena minimnya edukasi,” ucapnya.
Mutia menyelesaikan pendidikan Paket B pada 2015 dan Paket C tiga tahun berselang. Pada akhir 2018, ia kuliah di Fakultas Hukum Universitas Wiralodra, Indramayu.
”Sekarang sudah semester VII. Semoga tahun depan bisa tamat. Ada keinginan juga untuk menjadi advokat,” ujarnya.
Keinginan itu tidak terlepas dari pengalaman pahit yang dialami PMI saat diperlakukan tidak adil oleh majikan dan agen penyalur. PMI kerap menjadi korban dan minim pendampingan advokasi.
”Teman-teman di komunitas juga diajak untuk melanjutkan pendidikan. Selain menambah pengetahuan, pendidikan yang lebih baik juga bisa menjadi bekal menata masa depan,” ujarnya.
Nasib buruk bekerja di negeri orang juga pernah menimpa Hartati (48), PMI asal Paseh, Kabupaten Bandung. Tiga tahun lalu, ia berangkat ke Malaysia dengan harapan memperbaiki ekonomi keluarga.
Bukannya untung, ibu dua anak itu justru dieksploitasi. Ia tidak menerima gaji selama sembilan bulan. Ia, yang sebelumnya dijanjikan untuk menjadi PRT dan mengurus orang lansia, justru dipekerjakan menjaga sembilan anjing majikannya.
”Sebenarnya majikan saya bilang gaji sudah disetorkan kepada agen penyalur. Namun, agennya tidak memberikannya kepada saya,” ujarnya.
Hanya tiga bulan, ia tidak tahan dan minta dipindahkan. Karena tak berpengalaman, tangannya pun pernah digigit anjing.
Ia kemudian dipindahtugaskan oleh agennya untuk mengurus seorang jompo. Namun, hanya dua bulan, ia kembali ke agen karena jompo tersebut meninggal.
”Oleh agen, saya dioper-oper bekerja ke beberapa rumah. Saya enggak tahan dan minta pulang ke Indonesia, tetapi enggak boleh,” ujarnya.
Hartati kemudian kembali dipindahkan. Nasibnya lebih baik karena majikan barunya mau menggajinya 1.000 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 3,4 juta per bulan (kurs Rp 3.400). Setelah enam bulan bekerja, ia memohon dibantu dipulangkan ke Indonesia.
”Beruntungnya majikan saya yang terakhir mau menolong. Saya pulang ke Indonesia September 2020,” ujarnya.
Hartati mengaku kapok bekerja di Malaysia. Bahkan, ia masih trauma setiap mengingat pengalaman kelam hidup di ”negeri jiran”.
”Saya seperti dijadikan budak di sana. Niatnya mau cari uang, malah menderita. Bersyukurnya masih bisa selamat pulang ke Indonesia,” ucapnya.
Saat ini Hartati bekerja sebagai buruh harian di bidang konfeksi di Paseh. Upahnya Rp 50.000 per hari. Uang itu digunakan untuk kebutuhan hidup dan membiayai pendidikan anak bungsunya yang menempuh pendidikan di SMK.
”Penghasilannya memang enggak besar. Namun, ini lebih baik dibandingkan harus hidup penuh ketakutan di negeri orang,” ujarnya.
Berbeda dengan Mutia yang melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah, Hartati justru fokus bekerja untuk menghidupi keluarganya. Ia ingin anaknya sekolah hingga sarjana agar tidak bernasib buruk sepertinya dan meraih masa depan cerah.