Melalui Seni, Membangun Kesadaran Menghadapi Pandemi
Pandemi Covid-19 menyentak kesadaran karena dampaknya merasuki hampir semua sendi kehidupan. Pandemi mengancam kehidupan sosial, keamanan, dan kebudayaan selain ancaman terhadap kesehatan.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA M PUTRA
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Hantaman pandemi Covid-19 menyentak kesadaran banyak pihak. Betapa tidak, dampak pandemi merasuki hampir semua sendi kehidupan. Tidak hanya membahayakan kesehatan, pandemi yang dipicu oleh SARS-CoV-2, penyebab penyakit Covid-19 ini, juga mengancam kehidupan sosial, keamanan, dan juga terhadap kebudayaan.
Padahal, menurut virolog dari Universitas Udayana, Bali, I Gusti Ngurah Kade Mahardika, dalam sesi timbang rasa (sarasehan) serangkaian Festival Seni Bali Jani III yang diikuti secara di dalam jaringan, Senin (1/11/2021), para ahli sudah memperingatkan khalayak dunia bahwa umat manusia dapat kembali berhadapan dengan wabah penyakit. ”Pandemi ini hanya masalah waktu,” kata Mahardika, Senin (1/11).
Seni, minimal, mengetuk kesadaran nurani manusia untuk berbuat baik
Dokter spesialis kebidanan dan kandungan (SpOG) dan dokter konsultan, yang juga sastrawan Bali, Dewa Putu Sahadewa, mengungkapkan, pandemi mengakibatkan banyak aktivitas dan kegiatan dalam kehidupan manusia menjadi nyaris terhentikan. Dalam sarasehan (timbang rasa) dengan topik ”Seni sebagai Seruan Kesadaran”, Senin (1/11/2021), Sahadewa menyebutkan, pandemi atau wabah penyakit yang meluas itu mungkin menghentikan gaya hidup manusia saat ini, namun pandemi tidak menghentikan daya hidup.
”Bahkan, di masa pandemi dengan segala pembatasan, seniman tertantang untuk berkarya,” kata Sahadewa. Sahadewa menyatakan, pandemi tidak akan pernah mematikan seni, bahkan banyak seniman yang merasa lebih memiliki waktu dan terinspirasi karena pandemi dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). ”Seni juga menjadi terapi, membantu proses keseimbangan tubuh dan emosional,” ujar Sahadewa.
Adapun Festival Seni Bali Jani merupakan festival kesenian tahunan yang mewadahi aktivitas dan kreativitas seniman dalam menggali, melestarikan, dan mengembangkan nilai-nilai seni budaya Bali modern. Festival kesenian Bali modern yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali digelar kali pertama pada 2019.
Pada penyelenggaraan Festival Seni Bali Jani III, tema yang diangkat adalah Jenggala Sutra, Susastra Wana Kerthi, yang bermakna semesta kreativitas terkini, harmoni diri dan bumi dalam keluasan penciptaan baru. Festival yang digelar selama dua pekan, mulai 23 Oktober sampai 6 November mendatang, diisi dengan program, di antaranya, medeeng anyar (karnaval virtual), pawimba (lomba), adilango (pergelaran), timbang rasa (sarasehan), bursa buku, dan Bali Jani Nugraha.
Kesadaran
Dalam sarasehan yang diikuti secara daring, Senin (1/11/2021), Mahardika mengungkapkan, sejarah menunjukkan pandemi berulang kali terjadi dalam kehidupan manusia sejak berabad lampau. Sebelum penyakit Covid-19 meluas menjadi wabah mendunia, menurut Mahardika, para ahli sudah memperkirakan manusia akan menghadapi situasi pandemi yang membahayakan kehidupan era modern. Dimulai terjadinya penyakit SARS pada 2003, kemudian MERS (2009), lalu SARS-CoV-2 mulai 2019.
Mahardika mengatakan, pandemi juga diakibatkan terjadinya gangguan pada keseimbangan alam selain mengakibatkan ancaman bagi kehidupan. Virus adalah bagian dari alam dan berubahnya virus dapat disebabkan faktor alami ataupun akibat ulah manusia yang mengganggu keseimbangan alam. ”Manusianya yang tidak peka,” ujar Mahardika.
Menurut Sahadewa, seni mengasah kepekaan manusia, termasuk kepekaan terhadap kondisi alam. Seni juga merangsang manusia untuk mencintai alam. ”Seni, minimal, mengetuk kesadaran nurani manusia untuk berbuat baik,” kata dokter yang juga penyair itu.
Adapun Mahardika mengakui seni juga menjadi jalan atau cara bagi dirinya untuk membalikkan situasi dari keadaan bersedih atau nelangsa menjadi terinspirasi untuk bangkit.