Dijerat Derita di Luar Negeri, Tidak Dilindungi di Rumah Sendiri
Rencana memperbaiki hidup berujung derita kerap dialami pekerja rumah tangga Indonesia di luar negeri. Ironisnya, merana di negeri orang, nasib mereka tidak terlindungi di negeri sendiri.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·4 menit baca
Iming-iming gaji besar dan jeratan utang mengantar Rokaya (40) menjadi pekerja rumah tangga di negeri orang. Alih-alih sejahtera, ibu dua anak ini malah merana. Kondisi bisa lebih buruk karena profesinya belum dilindungi undang-undang di negaranya sendiri.
Hujan deras siang itu, Kamis (28/10/2021), seperti perasaan Agni Ramadhan (23) yang kelabu. Mengendarai sepeda motor 36 kilometer, pemuda itu mendatangi Kepolisian Resor Indramayu. Ia melaporkan ibunya, Rokaya, yang diduga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.
Agni datang bersama tantenya, Desty Puspa Mentari (29), dan Ketua Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Indramayu Juwarih. ”Ibu sakit di sana. Dia sering pusing. Matanya sakit juga. Kerjanya jam 7 pagi sampai 10 malam,” ungkapnya.
Video Rokaya viral di media sosial September lalu setelah ia mengadu ke Presiden Joko Widodo. ”Sudah lama saya minta pulang ke majikan. Dia enggak bolehin. Katanya, suruh ganti rugi. Saya enggak sanggup,” ujarnya dengan suara parau.
Sambil menangis, Rokaya menunjukkan bagian belakang lehernya yang sakit. Penglihatannya, katanya, juga diselimuti bintik-bintik. ”Tolong, Pak Presiden. Minta tolong, pulangkan saya,” ucap warga Eretan, Kandanghaur, Indramayu, itu.
Desty menuturkan, sebelum terbang ke Irak pada Januari 2021, Rokaya telah mengeluh sakit. Akan tetapi, kakaknya terpaksa mengadu nasib ke negeri orang karena ditawari gaji besar dan terjerat utang dengan sponsor, orang yang merekrutnya.
Sebelum ke Irak, Rokaya pernah bekerja di Malaysia setahun melalui jalur perekrutnya tersebut. ”Dia punya utang Rp 2 juta ke sponsor itu. Jaminannya, paspor Rokaya. Karena paspornya masih aktif, sponsor minta dia berangkat lagi,” ujarnya.
Selain bisa melunasi utangnya, Rokaya juga dijanjikan gaji besar, uang jajan, dan fee (dana) keberangkatan. Apalagi, suaminya yang merupakan nelayan tidak punya penghasilan pasti. Melaut 15 hari, katanya, hasilnya buat makan keluarga saja.
Rokaya juga ingin anak keduanya menyelesaikan sekolah menengah atas. Ia, suami, dan anak pertamanya hanya lulusan sekolah dasar. Di tengah sakitnya, ia menanggung beban ekonomi keluarga.
Dialihkan ke Irak
Awalnya, sponsor mengajaknya ke Singapura pada Oktober 2020. Namun, ”Negeri Singa” itu masih menutup akses PMI karena pandemi. Rokaya pun dialihkan ke Irak. Pemberitahuannya mendadak. ”Malam ini ditelepon, besok sudah harus terbang,” ucap Desty.
Keluarga, lanjutnya, tidak paham perusahaan yang mempekerjakan Rokaya. Jangankan prosedur pemberangkatan PMI, nama majikan dan kontrak kerja saja keluarganya tak tahu. Desty hanya kenal sponsor yang masih satu desa ”mengambil” kakaknya ke Irak.
Tidak ada yang bisa menahan kepergian ibu dua anak itu. Terlebih lagi, fee Rp 8 juta dari sponsor sudah ia terima. Sebelumnya, ia dijanjikan meraup Rp 12 juta. Uang itu, antara lain, digunakan untuk pemeriksaan kesehatan. Rokaya berangkat melalui jalur perseorangan.
Keganjilan kian terasa ketika gaji yang ia dapat tidak sesuai harapan. ”Kakak saya hanya terima sekitar Rp 4 juta dari janji awal Rp 8 juta. Itu kata sponsor saja secara lisan,” ujar Desty yang tidak tahu dokumen kontrak kerja kakaknya dengan perekrutnya.
Beban kerjanya juga tidak seperti yang diungkapkan sponsornya, yakni mengurus orangtua dalam satu rumah. Sesampainya di sana, Rokaya bertanggung jawab atas kebersihan dua rumah. Padahal, satu rumah ada tiga lantai.
Belum 10 bulan di Irak, Rokaya terus mengeluh sakit, sedangkan majikannya hanya memberikan obat dari warung. ”Dia baru dibawa ke dokter oleh staf KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di sana setelah viral di medsos September kemarin,” ungkapnya.
Sayangnya, setelah itu majikannya malah semakin keras terhadap Rokaya. Kata Desty, telepon seluler kakaknya disita majikan beberapa waktu. Aplikasi Whatsapp yang biasa digunakan berkomunikasi dengan keluarga di Indramayu dihapus.
”Rokaya juga sudah enggak ngirim uang. Bahkan, anak keduanya putus sekolah. Padahal, dia sudah mau kelas XII SMA. Sekarang, dia enggak ngapa-ngapain. Katanya, kasihan sama mimi (ibu),” lanjut Desty.
Pendidikan tinggi pun jauh panggang dari api, seperti yang terjadi di desanya. Sebagai gambaran, Badan Pusat Statistik Indramayu mencatat, pada 2019 terdapat 181 siswa SMP di Desa Eretan Wetan. Namun, pada 2020, hanya 71 warga setempat yang melanjutkan ke tingkat SMA.
Ketua SBMI Indramayu Juwarih menilai, Rokaya menjadi contoh nyata rentannya pekerja rumah tangga (PRT) mengalami perbudakan di luar negeri. ”Sebab, belum ada UU PRT di kita (Indonesia). Jadi, kontrak kerja, seperti jam kerja PRT tidak diperhatikan,” ungkapnya.
Padahal, PMI selama ini didominasi sektor informal, seperti PRT. Tahun lalu sebanyak 76.389 orang atau lebih dari 67 persen dari total PMI, yakni 113.173 orang berada di sektor informal. Pada saat yang sama, remitansi dari PMI mencapai 7,1 miliar dollar Amerika Serikat.
Rokaya juga hanyalah satu dari sekian kasus yang melanda PMI. Pada 2020, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat, 1.779 pengaduan PMI. Indramayu menjadi daerah dengan jumlah pengaduan terbanyak, yakni 142 laporan.
Menjelang sore, hujan telah terhenti. Di bawah langit mendung, Agni dan Desty menanti Rokaya yang pulang entah kapan.