Pernah Jadi Panduan Hidup, Peninggalan Megalitik di Lahat Picu Potensi Wisata
Budaya megalitikum di Lahat, Sumatera Selatan, masih terasa. Sejumlah megalit digunakan untuk melakukan sejumlah kegiatan keseharian. Kebanyakan megalit di Lahat berasal dari masyarakat yang hidup di abad 7-8 Masehi.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Pernah menjadi panduan hidup warga, peninggalan megalitik di Lahat, Sumatera Selatan, kini berpotensi menjadi daya tarik wisata sejarah. Namun, keberadaannya terancam area pertambangan, korosi, dan minimnya kepedulian sebagian masyarakat.
Hal ini mengemuka dalam diskusi virtual Kopi Sigarda bertajuk ”Sisi lain Megalit Lahat”, Rabu (27/10/2021) malam. Diskusi ini dihadiri sejumlah pegiat sejarah, arkeolog, dan pengamat dari beberapa bidang keilmuan.
Dalam acara tersebut, dipaparkan banyak kegiatan yang masih dilakukan sebagian kalangan masyarakat di daerah berjulukan ”Negeri Seribu Megalit” itu, seperti ritual menentukan musim tanam, menumbuk padi, persumpahan, hingga memandikan bayi.
Pegiat sejarah Lahat, Soufie Retorika, mencontohkan keberadaan lesung batu di daerah Lubuk Sepang yang digunakan untuk memandikan bayi. Ada juga batu datar dan menhir di Merapi Selatan untuk menumbuk padi.
Selain itu, di Desa Bangke dan Pajar Bulan, ada beberapa dolmen berlubang. Bila dilihat sekilas, ujar Sofie, lubang di batu datar dan dolmen tersebut memiliki ukuran berbeda-beda.
Namun, bila dicermati, ada beberapa lubang memiliki ukuran sama membentuk rasi bintang. Berdasarkan penuturan jurai tue (tetua adat) di daerah setempat, rasi itu digunakan untuk menentukan waktu musim tanam, mulai dari menyemai, menanam bibit, hingga waktu panen.
”Prediksi ini bertujuan menghindari serangan hama,” ujarnya yang intensif menelusuri peninggalan budaya zaman megalitikum sejak tahun 2008.
Sofie menuturkan, ukiran megalit Lahat biasanya tidak lepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat di masa itu. Misalnya, pernah ada arca menggambarkan seorang perempuan memegang tempayan. Arca itu ditemukan pada 1970-an meski kemudian hilang tersapu aliran Sungai Lematang.
Selain itu, ada juga menhir menggambarkan orang menggendong anak atau pasukan dengan perlengkapan perang. Lalu, ada megalit yang menggambarkan tentang satwa seperti arca macan di Desa Tanjung Sirih.
Namun, ia mengatakan, peninggalan itu tidak lepas dari beragam ancaman, mulai dari meluasnya area tambang, korosi, hingga minimnya kesadaran sebagian warga untuk ikut melestarikannya.
Arkeolog dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan, Retno Purwanti, menuturkan, tradisi megalitikum perlahan memudar setelah masuknya gerakan reformasi keagamaan sekitar awal abad ke-20. Akibatnya, sejumlah ritual lantas dilakukan tertutup dan rahasia.
”Warga malu kalau ritual itu berkaitan dengan asal-usul suku mereka,” kata Retno.
Ia mencontohkan sebagian masyarakat Lubuk Sepang masih melakukannya sekitar tahun 1994. Selain itu, pada penelitian tahun 2005, kata Retno, segelintir masyarakat Lahat masih menggunakan elemen megalit sebagai batu persumpahan.
”Karena itu, penting melihat konteks. Karena walau bentuknya sama, belum tentu memiliki fungsi yang sama,” ujar Retno yang juga Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Kota Palembang.
Peneliti Megalit di Sumsel, Kristantina Indriastuti, menjelaskan, peradaban megalit di Lahat tidak selamanya berada di masa prasejarah. Dari hasil temuan, sebagian besar megalit di Lahat berasal abad ke 7-8 Masehi dan paling tua tercatat dari abad ke-4 Masehi.
”Hal ini terlihat dari hasil guratan dan ukiran pada arca yang menggambarkan masyarakat di masa itu telah mengenal logam,” ujar Kristantina yang juga arkeolog dari Balai Arkeologi Sumsel.
Selain itu, ada juga elemen bilik batu yang digunakan bukan untuk kubur, melainkan penyimpanan harta pusaka, seperti tapak batu, parang, perunggu, dan anting-anting. Lesung batu yang digunakan sebagai sarana ritual dan menumbuk hasil pertanian juga ditemukan.
Dari temuan ini, ujar Kristantina, dapat disimpulkan bahwa pada masa itu masyarakat suku Pasemah sudah memiliki kemampuan yang cukup mumpuni di bidang seni. Terkait bahan baku batu, katanya, berasal dari letusan Gunung Dempo.
”Yang menarik adalah semakin dekat dengan Gunung Dempo, bentuk megalit yang ditemukan semakin bervariasi,” ungkapnya.
Ada kemungkinan di masa itu, masyarakat yang tinggal di Gunung Dempo lebih padat atau memiliki faktor lain yang masih harus diteliti lebih lanjut. Namun, saat ini kemahiran mengukir batu tidak tergambar pada masyarakat Pasemah. ”Apakah yang terjadi kemudian. Mungkinkah tidak ada regenerasi?” kata Kristantina.
Staf Khusus Bidang Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Bupati Lahat, Maryoto, mengatakan, secara keseluruhan, jumlah arca megalit di Lahat mencapai 1.002 buah. Tinggalan itu tersebar di 66 situs di 52 desa. Jumlah itu kemungkinan besar bertambah karena masih banyak tinggalan yang belum ditemukan. Bahkan, ada sejumlah megalit baru ditemukan dua minggu lalu.
Ragam bentuknya sangat kaya, kata Maryoto, mencapai 15 jenis. Sebagai perbandingan, secara keseluruhan ada lebih kurang 21 ragam jenis megalit di Indonesia. ”Jadi julukan ’Negeri Seribu Megalit’ untuk Lahat tidak hanya klaim belaka,” kata Maryoto.
Temuan ini membuat Lahat menjadi daerah dengan jumlah megalit terbanyak di area Pasemah. Sebagai perbandingan, Kota Pagar Alam hanya memiliki 15 situs dan Empat Lawang 9 situs. Ke depan, upaya perlindungan bakal terus dilakukan, termasuk membentuk tim ahli cagar budaya.
Maryoto mengatakan, tim ini akan bertugas memberi rekomendasi kepada Bupati Lahat untuk menjadikan sejumlah situs sebagai cagar budaya tingkat kabupaten. Tinggalan sejarah dan budaya di Lahat ini tentu akan dikemas sedemikian rupa agar menjadi daya tarik bagi wisata sejarah.