Pariwisata Bintan, Terlena Menambang Dollar dari Satu Keranjang
Pariwisata Bintan, Kepulauan Riau, lama terlena dimanjakan dollar dari kocek turis Singapura. Ketika pandemi melanda, perekonomian ambruk karena daerah itu hanya bergantung pada satu ”keranjang” pendapatan.
”Jadi, kapan turis Singapura boleh masuk lagi, Pak?” kata Sugiyanto (45), pekerja bagian operasional Pelabuhan Bandar Bentan Telani di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Lagoi, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Senin (18/10/2021).
Pertanyaan yang sama selalu telontar dari para pekerja yang ditemui Kompas di kawasan Lagoi. Ada sekitar 5.000 pekerja yang menggantungkan hidup di sana. Kini, nasib mereka diujung tanduk setelah hampir dua tahun tidak ada kunjungan turis asing akibat pandemi Covid-19.
Sugiyanto merasakan betul situasi sulit pada masa pagebluk karena ia bekerja di pelabuhan yang menjadi pintu kedatangan pelancong dari Singapura. Turis dari Negeri Singa itu lebih memilih datang lewat jalur laut karena jarak Pelabuhan Bandar Bentan Telani, Lagoi, ke Pelabuhan Tanah Merah, Singapura, hanya 45 menit.
Namun, saat ini, Pelabuhan Bandar Bentan Telani hanya melayani satu kali trip setiap Rabu. Yang datang pun bukan turis, melainkan pekerja asing untuk beberapa proyek strategis nasional di sekitar Bintan.
Padahal, sebelum pandemi, Pelabuhan Bandar Bentan Telani rata-rata melayani 8 trip pada hari biasa dan hingga 13 trip pada akhir pekan. Satu kali jalan, sebuah kapal feri dapat membawa sedikitnya 350 pelancong dari Singapura.
Kawasan Pariwisata Lagoi berdiri di atas lahan seluas 23.000 hektar di Kecamatan Teluk Sebong, Bintan. Di sana terdapat 15 hotel dan resor premium serta beberapa obyek wisata lain yang sejak 1990-an dirancang untuk menarik turis dari Singapura.
Baca juga : Pelancong Domestik Tak Cukup Bangkitkan Pariwisata Bintan
Pada 2019, pengunjung di Lagoi mencapai 1,09 juta wisatawan. Sebanyak 138.115 di antaranya berasal dari Singapura. Pariwisata Lagoi menyumbang Rp 170 miliar dari total Rp 300 miliar Pendapatan Asli Daerah (PAD) Bintan.
Setelah pandemi Covid-19 melanda, tingkat kunjungan wisatawan ke Lagoi terjun ke titik terendah. Sepanjang 2021, lebih kurang hanya ada 47.000 kunjungan. Semua adalah wisatawan domestik.
Kondisi itu akhirnya memaksa dua resor berbintang di Lagoi, yakni Bintan Lagoon dan Club Med, berhenti operasi. Bintan Lagoon memutuskan hubungan kerja 496 karyawan. Adapun Club Med hanya berhenti operasi untuk sementara dan tetap memberi upah kepada 321 pekerjanya dengan sejumlah penyesuaian.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Bintan Wan Rudy Iskandar mengatakan, kini resor dan hotel di Lagoi banting harga sampai 50 persen agar turis domestik tertarik menginap di kawasan itu. Misalnya Resor Anmon menurunkan harga dari awalnya di atas Rp 1,8 juta per malam menjadi Rp 1,1 juta per malam.
Namun, pantauan 17-19 Oktober, hanya sedikit wisatawan domestik yang menginap di resor yang mengangkat tema kemah mewah itu. Treasure Bay, kolam renang terbesar di Asia Tenggara, juga tampak lengang. Padahal, lokasi tersebut tadinya merupakan salah satu daya tarik utama di kawasan Lagoi.
”Meskipun sudah banting harga, di mata wisatawan domestik, kawasan Lagoi tetap merupakan pariwisata premium," kata Wan Rudy saat dihubungi, Rabu (20/10/2021).
Efek domino
Keadaan babak belur akibat pandemi Covid-19 tidak hanya dialami resor dan hotel berbintang di dalam kawasan Lagoi. Banyak resor dan hotel lain di sepanjang pesisir timur Bintan juga menghentikan operasi dan membiarakan bangunannya terbengkalai.
Padahal, resor dan hotel berbintang itu tadinya adalah pemasok tamu ke desa-desa wisata di Bintan. Maka, ambruknya bisnis resor dan hotel berbintang itu juga berdampak terhadap usaha mikro, kecil, dan menengah yang dikelola warga.
Baca juga : Kawasan Lagoi di Bintan Jadi Percontohan Pariwisata Normal Baru
Hal itu salah satunya terjadi di Desa Pengudang, Kecamatan Teluk Sebong, Bintan. Perajin sedotan bambu di Desa Pengudang, Kamilus (45), mengatakan, sebelum pandemi, ia bisa menjual 3.000 hingga 7.000 sedotan bambu per bulan, mayoritas dijual kepada resor di Pulau Nikkoi dan Pulau Cempedak, Bintan.
”Sejak pandemi, tidak ada pesanan sama sekali soalnya resor yang jadi pelanggan kami tutup untuk sementara,” ujar Kamilus.
Penggerak pariwisata berbasis komunitas di Desa Pengudang, Iwan Winarto (44) mengatakan, geliat wisata di desa itu juga ikut mandek seiring dengan bangkrutnya banyak resor dan hotel berbintang di Bintan. Ia menyadari, komunitas mereka secara bertahap harus mengurangi ketergantungan terhadap aliran wisatawan dari hotel dan resor tersebut.
Iwan menilai, momen pandemi Covid-19 harus digunakan pemerintah daerah untuk mengevaluasi model pengelolaan wisata di Bintan. Ia berharap, ke depan pemerintah dapat membantu pengembangan pariwisata berbasis komunitas untuk menjaring wisatawan domestik.
”Selama ini, pariwisata di Bintan terlalu terlena pundi-pundi dollar dari wisatawan mancanegara. Sampai akhirnya lupa bagaimana pasar wisatawan domestik seharusnya dikembangkan,” katanya.
Sebenarnya, Pemerintah Kabupaten Bintan juga sudah mulai menyadari perlunya menciptakan dan mempromosikan lebih banyak destinasi yang cocok untuk pelancong dalam negeri. Menurut rencana, pesisir timur Pulau Bintan akan dikembangkang untuk hal tersebut.
Sekretaris Daerah Kabupaten Bintan Adi Prihantara mangatakan, lebih dari 70 persen PAD Bintan berasal dari sektor pariwisata. Oleh karena itu, lesunya sektor pariwisata selama pandemi Covid-19 membuat perekonomian kabupaten itu sangat terpuruk.
”Kalau untuk wisatawan lokal, kami mulai mengembangkan destinasi yang dikerjakan badan usaha milik desa. Itu ada di Desa Ekang, Poyotomo, dan Busung,” katanya saat dihubungi, Sabtu (23/10/2021).
Berbasis komunitas
Ketua Pusat Penelitian Sumber Daya Pesisir dan Kelautan Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjung Pinang, Donny Apdillah menilai, Bintan memiliki potensi sumber daya pesisir yang sangat besar untuk dikembangkan menjadi wisata berbasis komunitas. Sayangnya, hal itu belum tergarap dengan baik.
Menurut Donny, wisata berbasis komunitas dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat pesisir dan mendorong pemerataan pendapatan di daerah. ”Belanja turis semua langsung ke masyarakat sehingga kue pendapatan dari sektor pariwisata dapat langsung dinikmati oleh orang banyak," ucapnya saat dihubungi, Senin (25/10/2021).
Wisata berbasis komunitas juga dinilai lebih ramah lingkungan karena orientasi utamanya bukan untuk mengeruk keuntungan setinggi-tingginya, melainkan lebih untuk menjaga keutuhan ekosistem dan mengenalkan kearifan lokal dan keunikan budaya setempat kepada orang luar.
Selain itu, turis juga akan diuntungkan karena berwisata di destinasi yang dikelola warga akan lebih murah. Wisata berbasis komunitas bisa menjadi salah satu jalan apabila Pemkab Bintan ingin lebih banyak wisatawan domestik datang ke daerahnya.
”Namun, kelemahannya tidak semua warga memiliki kemampuan untuk berpromosi bahwa lingkungan mereka memiliki potensi wisata yang besar. Di situ, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memberdayakan warga,” ujarnya.
Sebagai langkah awal memberdayakan masyarakat pesisir, pemerintah sebenarnya bisa mendorong kawasan wisata privat untuk lebih banyak berkolaborasi dengan desa di sekitarnya. Kolaborasi seperti ini salah satu contohnya terjalin antara kawasan Lagoi dan warga di Desa Sungai Kecil untuk menyelenggarakan tur di hutan bakau dengan perahu nelayan.