”Su Trada” Lagi Makan Malam dalam Gelap
Belum seluruh warga Indonesia mampu mengakses listrik dalam jumlah cukup dan andal. Negara perlu hadir untuk menjamin hak warga atas akses terhadap energi.
Jam menunjukkan pukul 18.30 WIT, Rabu (29/9/2021). Langit mulai gelap. Suara tonggeret bersahut-sahutan. Satu per satu lampu pijar di sebagian rumah di Kampung Waisani, Distrik Windesi, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua, mulai menyala.
Anak-anak masih berlarian saling mengejar. Di satu rumah, ada pula dua anak yang bermain di atas dipan bambu yang tersorot lampu. Bapak-bapak berkumpul sambil bercakap. Tampak pula Elda (34) yang tengah bersiap memasak untuk keluarganya. Menu hari itu papeda, ikan sako asap, dan sayur bening. Seluruh anggota keluarga sudah bersiap untuk makan malam.
”Dulu menderita. Kalau sudah gelap belum masak, berarti tidak ada makan malam. Menderita jika harus memasak hanya dengan pelita (lampu minyak). Apalagi makan dalam gelap,” kata Elda.
Perasaan serupa juga diungkapkan oleh Pesnalia Marunata (26). Sinar lampu sebenarnya sudah ia rasakan sejak 2015. Saat itu, pemerintah daerah setempat memberikan bantuan lampu baterai dengan daya yang bisa diisi dengan aki. Bentuknya seperti lampu darurat pada umumnya.
Namun, daya jangkau penerangan lampu tersebut amat terbatas. Belum lagi jika aki yang dimiliki sudah habis dayanya. Selain harga pengisian daya cukup mahal, yakni Rp 300.000, ia harus ke kota untuk mengisi daya aki. Paling dekat, ia harus ke daerah Biak atau Serui yang butuh waktu 3-5 jam dengan kapal cepat.
Nyala lampu benderang baru bisa dirasakan oleh sebagian masyarakat Kampung Waisani pada awal 2021. Melalui program tanggung jawab sosial perusahaan, PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) memberikan bantuan stasiun pengisian energi listrik (SPEL) untuk kampung tersebut bersama dengan sepuluh kampung lainnya, antara lain Aryobu, Kamung Bareraif, Kaonda, Munggui, Karawi, dan Rosbori.
Bantuan SPEL ini diharapkan bisa menjadi sumber penerangan sementara bagi sejumlah kampung tersebut. SPEL ini sifatnya darurat sehingga pemanfaatannya juga terbatas.
Baca juga: Pasokan Energi Bersih Perlu Keseimbangan
Manajer PLN Unit Pelaksana Pelayanan Pelanggan Biak Y Soedarmono menyatakan, bantuan SPEL ini diharapkan bisa menjadi sumber penerangan sementara bagi sejumlah kampung tersebut. SPEL ini sifatnya darurat sehingga pemanfaatannya juga terbatas. ”Setidaknya wilayah tersebut tidak gelap gulita,” katanya.
SPEL dibangun dengan memanfaatkan energi sinar matahari yang disalurkan lewat panel surya. Untuk menyalurkan listrik ke setiap rumah dibutuhkan tabung listrik atau talis yang daya listriknya diisi dari SPEL. Talis inilah yang kemudian disambungkan ke instalasi listrik berupa panel DC house yang berada di setiap rumah. Standarnya, panel ini tersambung dengan tiga buah sakelar untuk tiga buah lampu.
Talis dilengkapi dengan berbagai fitur yang bisa dimanfaatkan untuk menyalurkan arus listrik. Namun, semakin banyak energi listrik yang digunakan, daya listrik pada talis akan semakin cepat habis. Umumnya, untuk pemakaian tiga buah lampu pijar, daya talis akan habis setelah penggunaan selama 48 jam. Talis perlu waktu 4-6 jam untuk terisi penuh di SPEL. Apabila cuaca sedang mendung, pengisian daya talis bisa membutuhkan waktu hingga setengah hari.
Setiap SPEL hanya mampu menampung delapan talis untuk sekali pengisian bersamaan. Jika di satu kampung ada 60 warga yang memiliki talis, sementara hanya tersedia tiga SPEL, pengisian pun harus bergantian. Bagi warga yang tidak sempat mengisi, mereka terpaksa harus bermalam dalam gelap atau kembali mengandalkan pelita sebagai penerangan.
Meski begitu, kehadiran SPEL tetap menjadi sumber kegembiraan warga Waisani. ”Ini berkat untuk kami. Meski belum semua warga kampung bisa merasakan listrik lewat talis, akhirnya setelah berpuluh-puluh tahun menanti, Kampung Waisani bisa menikmati penerangan,” ujar Kepala Kampung Waisani Eneas Matu (61).
Talis dilengkapi dengan berbagai fitur yang bisa dimanfaatkan untuk menyalurkan arus listrik. Namun, semakin banyak energi listrik yang digunakan, daya listrik pada talis akan semakin cepat habis.
Baca juga: Mengurangi Batubara dengan Cangkang Kelapa Sawit
Selain menjadi sumber penerangan, kehadiran talis juga membantu meringankan pengeluaran rumah tangga warga Waisani. Ketika masih menggunakan pelita, yang membutuhkan minyak tanah, setiap keluarga harus mengeluarkan biaya sekitar Rp 180.000 per bulan untuk membeli minyak tanah. Setelah talis masuk, biaya tersebut sudah tidak perlu dikeluarkan lagi.
Sebenarnya, talis dapat dimanfaatkan untuk menunjang penggunaan berbagai alat elektronik. Namun, Eneas meminta kepada warganya menggunakan talis hanya untuk lampu. Selain tidak ada jaringan seluler dan televisi yang bisa ditangkap di kampung tersebut, ia memang tidak menyarankan talis digunakan untuk alat elektronik dengan daya yang besar.
Hal ini berbeda dengan warga di Kampung Aryobu. Sebagian warga sudah memanfaatkan talis untuk alat elektronik lain, seperti untuk mengisi daya telepon genggam, laptop, dan pelantang suara. Ketika singgah, Kampung Aryobu memiliki nuansa yang berbeda dengan Kampung Waisani.
Jika di Kampung Waisani tidak ada satu pun rumah yang memiliki televisi, beberapa rumah warga di Kampung Aryobu sudah memiliki televisi lengkap dengan parabola. Maklum, akses Kampung Aryobu ke kota lebih dekat, bahkan sudah bisa menggunakan jalur darat. Jaringan seluler pun masih bisa didapatkan meskipun harus berjalan ke atas bukit.
Sekretaris Kampung Aryobu Frengki Paai (36) menuturkan, pemanfaatan alat elektronik yang cukup masif baru terjadi pada awal Januari 2021 ketika talis diberikan di Kampung Aryobu. Sebelumnya, hanya ada satu atau dua warga yang memiliki televisi, yakni warga yang memiliki mesin diesel.
Alestina (7), putri dari Frengki, menyeletuk, ”Sebelum ada lampu, pedih sekali mata ini kalau harus belajar. Tidak bisa jika berlama-lama belajar.” Itu terjadi karena asap dari pelita mengenai matanya. Serba salah ketika itu. Jika terlalu dekat dengan pelita, mata akan pedih juga napas mudah sesak. Namun, jika terlalu jauh, ia tidak bisa membaca dengan jelas.
Aktivitas di rumah-rumah penduduk yang sudah tersambung jaringan listrik tidak banyak mengalami perubahan, kecuali bergantinya penerangan dari lampu minyak ke lampu pijar.
Baca juga: Aturan Tarif Tenaga Listrik Energi Terbarukan Belum Tuntas
Belum optimal
Masuknya listrik di sejumlah daerah di Distrik Windesi sejak setahun terakhir nyatanya tidak serta-merta berdampak pada munculnya kegiatan ekonomi. Aktivitas di rumah-rumah penduduk yang sudah tersambung jaringan listrik tidak banyak mengalami perubahan, kecuali bergantinya penerangan dari lampu minyak ke lampu pijar.
Beberapa warga memang sudah mulai menggunakan telepon pintar dan televisi. Namun, pemanfaatannya tidak maksimal. Televisi paling tidak hanya bisa digunakan seminggu sekali selama satu jam. Daya listrik yang tersedia tidak memungkinkan untuk bisa menyalakan televisi dalam waktu lama.
Begitu pula dengan telepon genggam. Jaringan internet belum bisa diakses sehingga untuk melihat video ataupun lagu, warga harus ke kota untuk mengunduhnya. Setiba di rumah, hasil unduhan tersebut bisa ditonton berulang kali.
Namun, itu semua belum dapat menunjang mata pencarian warga. Hampir seluruh warga di Kampung Waisani dan Aryobu bekerja sebagai nelayan dan petani. Listrik seharusnya bisa bermanfaat lebih besar, seperti untuk lemari pendingin. Dengan daya yang terbatas, hal tersebut menjadi mustahil.
Kehadiran listrik yang andal tetap diidamkan warga di kampung-kampung tersebut. Listrik diharapkan tidak hanya sekadar memberi penerangan, tetapi juga mampu menggairahkan ekonomi masyarakat.
Baca juga: Milenial Membangun PLTA Jatigede untuk Energi Terbarukan