Kesepakatan Keluarga Krusial dalam Suksesi Pura Mangkunegaran
Pengganti takhta pemimpin Pura Mangkunegaran, Surakarta, belum ditentukan keluarga inti. Kesepakatan keluarga penting dalam suksesi kerajaan tersebut. Suksesi diharapkan berlangsung dalam situasi harmonis.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·4 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Pengganti takhta pemimpin Pura Mangkunegaran, Surakarta, Jawa Tengah, masih belum ditentukan pihak keluarga inti. Kesepakatan segenap keluarga krusial dalam suksesi kerajaan tersebut. Hendaknya pergantian berlangsung tanpa ketegangan antaranggota keluarga.
Ketua Himpunan Kerabat Mangkunegaran Satyotomo mengungkapkan, pembicaraan mengenai suksesi belum dilakukan pihak keluarga. Hal tersebut baru bisa dibahas setelah peringatan 100 hari mangkatnya Mangkunegara IX. Adapun peringatan 100 hari diperkirakan jatuh pada 22 November 2021.
”Seratus hari saja belum. Jadi, kami masih menunggu banyak hal. Tidak terburu-buru. Ini, kan, Pura Mangkunegaran sudah tidak seperti zaman dulu yang memimpin negara. Ini lebih banyak bergerak di bidang kebudayaan,” kata Satyotomo saat dihubungi, Jumat (22/10/2021).
Satyotomo menyampaikan, kesepakatan keluarga inti merupakan bagian penting perihal suksesi. Tanpa kesepakatan, sosok pengganti belum bisa diumumkan. Pihaknya berharap tidak ada konflik dalam suksesi tersebut.
Sejauh ini, lanjutnya, segenap keluarga masih dalam kondisi harmonis. Diharapkan keharmonisan anggota keluarga ini terus terjaga hingga nanti waktu suksesi tiba. Siapa pun sosok yang terpilih akan tetap didukung karena berangkat dari kesepakatan segenap keluarga.
Kesepakatan keluarga inti merupakan bagian penting perihal suksesi. Tanpa kesepakatan, sosok pengganti belum bisa diumumkan.
”Jangan sampai terjadi apa-apa (konflik). Karena, juga memang sampai saat ini tidak ada masalah apa-apa, begitu,” kata Satyotomo.
Perbincangan publik perihal penerus takhta dari kerajaan tersebut awalnya mencuatkan dua nama, yakni Gusti Pangeran Haryo Paundrakarna Jiwa Suryanegara dan Gusti Pangeran Haryo Bhre Cakrahutomo Wira Sudjiwo. Keduanya merupakan anak kandung dari Mangkunegara IX.
Paundrakarna adalah anak dari pernikahan Mangkunegara IX dengan salah seorang putri Presiden Soekarno, yaitu Sukmawati Soekarnoputri. Mereka menikah pada 1974 dan bercerai pada 1984. Paundrakarna lahir sewaktu Mangkunegara IX masih berstatus pangeran dengan nama GPH Sudjiwo Kusumo.
Sementara itu, Bhre merupakan anak dari pernikahan Mangkunegara IX dengan Prisca Marina, yang kelak diangkat menjadi permaisuri dengan nama Gusti Kanjeng Putri Mangkunegara IX. Bhre dilahirkan setelah Mangkunegara IX naik takhta dan memimpin Pura Mangkunegaran.
Belakangan mencuat sosok lain yang disebut juga memenuhi syarat sebagai kandidat penerus takhta. Sosok itu adalah Kanjeng Raden Mas Haryo Roy Rahajasa Yamin. Roy merupakan keponakan Mangkunegara IX dari garis keturunan ibunya, yakni GRA Retno Satuti. Roy juga cucu dari Mangkunegara VIII dan pahlawan nasional Mohammad Yamin.
Dihubungi terpisah, Tunjung W Sutirto, sejarawan dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Surakarta, menyampaikan, ketiga sosok itu disebut punya peluang yang sama menjadi pemimpin Pura Mangkunegaran selanjutnya. Sebab, kerajaan tersebut tidak mempunyai pola suksesi yang konstan.
”Mulai dari Mangkunegara I sampai Mangkunegara VIII, suksesi bisa jatuh pada cucu, anak, keponakan, kakak, dan lain-lain. Tidak pernah ada pola yang ajek dan itu sangat situasional,” kata Tunjung.
Takhta dari Raden Mas Said atau Mangkunegara I, misalnya, diwariskan kepada cucunya, yakni Raden Mas Sulama, yang selanjutnya menjabat sebagai Mangkunegara II. Pola serupa terjadi pada suksesi dari Mangkunegara II ke Mangkunegara III. Raden Mas Sarengat, sosok yang diangkat sebagai Mangkunegara III, merupakan cucu Mangkunegara II dari anak perempuannya, yaitu Bendoro Raden Ayu Sayati.
Pada suksesi dari Mangkunegara IV ke Mangkunegara V, terjadi pola yang berbeda. Raden Mas Sunita yang diangkat menjadi Mangkunegara V adalah putra kedua Mangkunegara IV dengan permaisuri keduanya. Lalu, polanya berubah kembali pada suksesi menuju Mangkunegara VI. Mangkunegara V mewariskan takhtanya justru kepada adiknya, yaitu Raden Mas Suyitno, yang selanjutnya menyandang gelar Mangkunegara VI.
Namun, pada 1916, Mangkunegara VI mengundurkan diri setelah lebih kurang 20 tahun menjabat sebagai adipati. Ia digantikan Raden Mas Suryosuparto, putra Mangkunegara V. Suryosuparto juga keponakan dari Mangkunegara VI.
Mulai dari Mangkunegara VII, takhta diwariskan dari ayah kepada anak. Mangkunegara VIII merupakan putra Mangkunegara VII. Sama halnya, Mangkunegara IX adalah putra dari Mangkunegara VIII.
”Keputusannya kembali lagi ada pada keluarga inti. Tetapi, saya nilai, dengan penuh kearifan, mungkin perlu ditambah mendengarkan masukan-masukan dari keluarga satu dinasti Mataram,” kata Tunjung.
Tunjung melanjutkan, keluarga satu dinasti Mataram itu tergabung dalam perhimpunan bernama Catur Sagotra. Yang bergabung dalam perhimpunan itu merupakan kerajaan keturunan dinasti Mataram Islam, yakni Keraton Kasunanan Surakarta, Keraton Yogyakarta, Pura Pakualaman, dan Pura Mangkunegaran.
Menurut dia, masukan-masukan itu diperlukan agar suksesi yang berlangsung tidak diwarnai konflik. Konflik berpotensi menyebabkan polarisasi. Tidak hanya di kalangan elite kerajaan, tetapi juga di tengah masyarakat. Dikhawatirkan, jika berlarut-larut dalam konflik, kegiatan kebudayaan yang diemban kerajaan berpotensi tak terurus.
”Di sisi lain, hendaknya kelak penerus takhta bisa menjadi jawaban bagi krisis keteladanan yang dialami bangsa ini. Ketika elite-elite politik tidak menampilkan suatu keteladanan di depan masyarakatnya, maka pemimpin dari ranah budaya menjadi alternatif panutan. Tentu berpedoman dengan ajaran-ajaran dari leluhurnya,” pungkas Tunjung.