Jalan Panjang Membangun Perbatasan Antarnegara di Kalbar
Perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat perlahan tertata. Namun, masih terdapat tantangan, terutama dalam meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia, memberantas kemiskinan, dan mengubah pola perdagangan.
Wajah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat perlahan berubah. Pos lintas batas negara kian tertata, jalan paralel juga telah dibangun agar akses kian terbuka. Ke depan, selain melanjutkan pembangunan infrastruktur, juga penting membenahi kualitas sumber daya manusia dan nilai tambah potensi komoditas rakyat.
Kian tertatanya pos lintas batas negara atau PLBN, misalnya, terlihat di PLBN Aruk-Sajingan, Kabupaten Sambas, yang pembangunannya diresmikan Presiden Joko Widodo, Maret 2017 lalu. PLBN tampak lebih menarik dengan desain yang modern dan terdapat unsur lokal di sekitarnya dengan adanya bentuk perisai bermotif ukiran lokal.
Di kompleks itu juga terdapat rumah ibadah, kedai kopi, dan gerai-gerai tempat berjualan. Di luar kedai kopi terdapat beberapa tempat duduk untuk ngopi sembari bersantai. Lingkungannya juga terlibat bersih karena dibersihkan petugas secara rutin. Selain di Sambas, pemerintah juga telah menata PLBN Badau (Kapuas Hulu) dan Entikong (Kabupaten Sanggau).
Setidaknya lima kabupaten di Kalbar berbatasan dengan Malaysia, yaitu Kabupaten Sambas (batas laut dan darat), Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sintang, dan Kabupaten Kapuas Hulu. Selain itu, ada sekitar 50 jalan setapak yang menghubungkan desa-desa di Sarawak dengan desa-desa di Kalbar.
Selain membenahi PLBN di sejumlah lokasi, pemerintah juga membuka akses melalui pembangunan jalan paralel perbatasan. Data Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) XX Pontianak, Kalbar, terkait infrastruktur jalan menunjukkan, total jalan paralel perbatasan Kalbar mencapai 811,32 kilometer yang terbagi atas tujuh koridor.
Ruas jalan nonstatus sepanjang 607,45 km dan lima koridor jalan nasional sepanjang 203,51 km. Jalan yang telah beraspal hingga akhir tahun 2020 sepanjang 322,41 km, sedangkan jalan agregat sepanjang 196,57 km. Kemudian, jalan dengan kondisi tanah sepanjang 292,35 km.
Dalam beberapa kali kesempatan Kompas berkunjung ke perbatasan, keberadaan jalan paralel mulai memberikan kemudahan akses bagi masyarakat. Sebagai contoh, warga desa-desa di pedalaman Entikong sudah bisa menjual hasil bumi ke Entikong, ibu kota Kecamatan Entikong, menggunakan sepeda motor.
Ewin Ignatius (39), warga Entikong, Selasa (19/10/2021), menuturkan, penduduk yang menikmati akses jalan paralel antara lain warga Dusun Badat Baru, Desa Suruh Tembawang, sekitar 59 km dari kota Entikong, ibu kota Kecamatan Entikong.
Sebelum ada jalan paralel, warga Badat Baru menjual hasil pertanian, terutama lada, cabai, dan sayur-mayur lain, ke pusat desa Suruh Tembawang dengan waktu tempuh 3-4 jam. Mereka juga bisa menembus kota Entikong melalui jalur sungai dengan waktu tempuh 10 jam menyusuri Sungai Sekayam.
”Waktu tempuh lama karena ada riam yang deras dan berisiko tinggi,” ungkapnya.
Meskipun masih ada kekurangan di sana-sini, kehadiran BNPP memberikan perubahan wajah perbatasan.
Kala itu, sebelum warga menyusuri Sungai Sekayam, hasil bumi dipikul dari Dusun Badat Baru ke pangkalan sungai. Perjalanan itu memakan waktu 40 menit berjalan kaki. Kala itu tidak ada sepeda motor akibat keterbatasan akses darat.
”Itu pun tergantung muatan dan debit air sungai. Kalau dari Dusun Badat Baru ke pusat desa Suruh Tembawang sekitar 35 km dari Entikong, bisa memakan waktu 3-4 jam,” ujar Ewin.
Alternatif kedua, hasil bumi dikirim ke Kampung Gun Sapit, Malaysia, dengan berjalan kaki selama 5-6 jam dari Dusun Badat Baru. Perjalanannya bisa memakan waktu belasan jam pergi-pulang.
Ketika jalan pararel dibangun pada 2010, masyarakat bisa menggunakan sepeda motor. Waktu tempuh dari Dusun Badat Baru ke kota Entikong kini hanya sekitar tiga jam menggunakan sepeda motor.
Jalur pararel juga menghemat bahan bakar. Dulu, ketika masih menggunakan jalur sungai, biaya bahan bakar untuk perahu cepat pergi-pulang sekitar Rp 1,5 juta. Namun, kini ketika ada jalan paralel, biaya bahan bakar untuk sepeda motor pergi-pulang hanya Rp 30.000-Rp 40.000.
Thomas (45), Temenggung Desa Suruh Tembawang, menuturkan memang ada penghematan biaya. Sebelum ada jalan paralel, ia harus mengeluarkan uang Rp 500.000 untuk menaiki perahu cepat atau Rp 2 juta untuk mengendarai perahu cepat pribadi pergi-pulang.
Baca juga : Pemerintah Canangkan Pembangunan Terpadu Daerah Perbatasan di Aruk-Sajingan
”Saat jalan paralel sudah terbangun, dengan uang Rp 50.000 saja sudah bisa tiba di kota Entikong hingga biaya makan untuk pergi-pulang. Apalagi, sudah ada jembatan. Untuk mengangkut hasil pertanian juga bisa mengurangi biaya,” tutur Thomas.
Terkait perkembangan pengelolaan perbatasan, Indonesia sejak tahun 1974 telah membentuk Panitia Koordinasi Penanganan Wilayah Nasional yang juga mencakup pengelolaan perbatasan.
”Namun, kala itu tidak berjalan optimal. Pada tahun 1996, lembaga tersebut dibubarkan,” ujar Guru Besar Ilmu Ekonomi Universitas Tanjungpura, Pontianak, Eddy Suratman.
Kemudian, dibentuklah Dewan Kelautan Nasional. Pada tahun 1998, namanya menjadi Dewan Maritim Indonesia. Pada tahun 2009, namanya diubah lagi menjadi Dewan Kelautan Indonesia (Dekin), lalu ada forum-forum.
Baru pada tahun 2010 dibentuk Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan (BNPP). Perbatasan baru dikelola secara sistematis dan terlihat kemajuannya setelah terbentuk BNPP, antara lain dengan adanya pembangunan PLBN dan jalan paralel perbatasan.
”Meskipun masih ada kekurangan di sana-sini, tetapi kehadiran BNPP memberikan perubahan wajah perbatasan,” ujar Eddy.
Jalan panjang
Membangun perbatasan merupakan ”jalan panjang”. Pembangunan infrastruktur perlu dilanjutkan, termasuk jalan paralel dan PLBN di lokasi lain. Pembangunan infrastruktur perlu diimbangi dengan infrastruktur lain, misalnya listrik, sehingga saat industrialisasi masuk memberikan nilai tambah komoditas lokal, energi tersedia.
Aspek sosial-ekonomi masih perlu menjadi perhatian. Pada tahun 2020, pertumbuhan ekonomi hampir semua daerah di Tanah Air negatif, termasuk Kalbar yang minus 1,82 persen. Kontraksi pertumbuhan ekonomi kabupaten-kabupaten perbatasan di Kalbar lebih dalam dari angka Provinsi Kalbar, kecuali Kabupaten Sanggau.
Pertumbuhan ekonomi Sambas pada periode tersebut minus 2,14 persen, Bengkayang minus 1,99 persen, Sintang minus 2,30 persen, dan Kapuas Hulu minus 2,53 persen. Hanya Sanggau yang mencatatkan pertumbuhan relatif baik, sebesar 0,70 persen.
Dari aspek kemiskinan, ada tiga kabupaten yang memiliki persentase kemiskinannya lebih tinggi dari rata-rata Kalbar tahun 2020, yakni Kapuas Hulu 8,99 persen, Sintang 9,27 persen, dan Sambas 7,70 pesen. Adapun kemiskinan rata-rata Kalbar 7,24 persen. Patut diduga orang miskin paling banyak ada di perbatasan.
Dari sisi angka pengangguran, angka pengangguran di semua kabupaten perbatasan lebih rendah dari angka pengangguran Kalbar yang sebesar 5,81 persen. Namun, dengan angka pengangguran paling rendah, tidak serta-merta daerah itu maju. Angka pengangguran di daerah-daerah perbatasan cenderung rendah karena masih banyak warga berpendidikan rendah.
”Mereka tidak memilih-milih pekerjaan. Sebaliknya, perkotaan yang lebih maju diisi orang-orang terdidik yang lebih memilih-milih pekerjaan. Bahkan, lebih baik menganggur daripada bekerja dengan gaji yang tidak sesuai harapan,” ungkap Eddy.
Baca juga : Serikin, Magnet bagi Pemburu Ringgit
Aspek sumber daya manusia perlu diperhatikan juga. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik dalam beberapa terbitan, terkait Indeks Pembangunan Manusia (IPM), hampir semua kabupaten perbatasan memiliki IPM lebih rendah dari rata-rata Kalbar, yakni 67,66, kecuali Kabupaten Bengkayang pada 2020 sebesar 67,87. Meskipun demikian, tahun 2019, IPM Bengkayang lebih rendah dari rata-rata provinsi, yakni 67,57 dan rata-rata provinsi 67,65.
Perlu juga intervensi dari pemerintah daerah (pemda) terkait IPM. Tidak cukup pemda hanya mengalokasikan 20 persen APBD untuk pendidikan. Perlu juga dicek 20 persen itu untuk apa saja. Angka putus sekolah harus dikurangi. Rata-rata lama sekolah perlu dibenahi. Rata-rata lama sekolah daerah yang memiliki perbatasan adalah di bawah 7 tahun.
Perbaikan IPM melalui pendidikan penting untuk memastikan, ketika industrialisasi masuk ke perbatasan untuk memberikan nilai tambah pada komoditas lokal, SDM tersedia. Jangan sampai penduduk hanya menjadi penonton.
Baca juga : Selain Infrastruktur, Kawasan Perbatasan Indonesia Butuh Perbaikan Kualitas Pendidikan
Gubernur Kalbar Sutarmidji menuturkan, sektor pendidikan di perbatasan memang masih perlu diperhatikan, termasuk oleh kabupaten. IPM Kalbar rendah di regional Kalimantan karena IPM kabupaten yang rendah. Meningkatkan IPM tidak gampang perlu pembenahan dari aspek angka lama sekolah, angka harapan hidup, dan aspek perekonomian.
Eddy mengatakan lebih lanjut, pengelolaan perbatasan masih menghadapi ketidakjelasan payung hukum. Undang-Undang 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara lebih fokus pada pengaturan wilayah negara. Akibatnya, kondisi ekonomi dan kesejahteraan penduduk perbatasan lebih rendah dari nonperbatasan. Selain itu, ketimpangan pendapatan penduduk perbatasan Kalbar dengan penduduk perbatasan Sarawak, Malaysia.
Dari sisi perdagangan luar negeri, pola perdagangan dengan Malaysia juga tidak berubah selama 15-20 tahun terakhir. Barang yang keluar dari Kalbar merupakan barang-barang primer hasil pertanian dengan nilai tambah rendah.
Sementara barang yang masuk dari Malaysia cenderung barang industri yang memiliki nilai tambah. Pola perdagangan tersebut dipengaruhi Border Trade Agreement Tahun 1970. Regulasi tersebut membatasi perdagangan lintas batas maksimum 600 RM per orang per bulan.
Terus berjalan
Pembangunan perbatasan terus berjalan. Berdasarkan data BPJN XX Pontianak, Kalbar, pembangunan jalan paralel ke depan berdasarkan grand design penuntasan jalan paralel perbatasan di Kalbar direncanakan tuntas jalan dan jembatan ruas Temajuk (Sambas) hingga Nanga Badau (Kapuas Hulu) dengan penanganan agregat dan aspal selektif pada perkampungan.
Selain itu, ruas jalan Nanga Era-Batas Kalimantan Timur direncanakan tuntas hingga Desa Tanjung Lokang (Kapuas Hulu) yang merupakan desa terakhir sebelum batas dengan Kaltim. Pada ruas Nanga Era masih dibutuhkan penurunan grade sepanjang 91,82 km serta akses pekerjaan yang hanya dilakukan pada satu arah dengan anggaran cukup besar.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) juga tengah menyelesaikan pembangunan PLBN Jagoi Babang di Bengkayang. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, September lalu, mengatakan, pembangunan kawasan perbatasan merupakan instruksi Presiden Joko Widodo dalam mendukung kegiatan sosial-ekonomi masyarakat sebagai beranda terdepan Indonesia.
Pembangunan PLBN tidak hanya sebagai gerbang masuk, tetapi menjadi embrio pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat perbatasan.
Pengembangan PLBN tidak hanya menjadi kebanggaan bangsa Indonesia sebagai bangsa besar, tetapi yang terpenting adalah memiliki fungsi pertahanan keamanan. Selain itu, sebagai pusat pertumbuhan ekonomi baru di wilayah perbatasan Indonesia.
”Pembangunan PLBN tidak hanya sebagai gerbang masuk, tetapi menjadi embrio pusat pertumbuhan ekonomi wilayah yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat perbatasan,” ujarnya.
Konstruksi PLBN Jagoi Babang mulai dikerjakan Kementerian PUPR melalui Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) Provinsi Kalbar Direktorat Jenderal Cipta Karya sejak 27 November 2020 dengan anggaran Rp 207,35 miliar. Anggaran bersumber dari APBN tahun jamak 2020-2022. Saat ini, konstruksinya telah mencapai 26,71 persen dan ditargetkan rampung 19 Juli 2022.
Untuk meningkatkan kualitas layanan PLBN, dibangun berbagai fasilitas utama, meliputi pos pemeriksaan imigrasi, sinar-X, gerbang dan monumen Tasbara, gudang barang sita, bangunan disinfeksi kendaraan dan menara pengawas, serta fasilitas pendukung meliputi pasar perbatasan, mes pegawai PLBN, bangunan Wisma Indonesia, terminal mini, dan sarana peribadatan.
Berdasarkan data yang dicatat Pos TPI Imigrasi Aruk pada Maret 2020, jumlah pelintas PLBN Jagoi Babang berkisar 100-150 orang per minggu. Keberadaan PLBN Jagoi Babang memiliki nilai strategis sebagai beranda terdepan Indonesia.
Lokasi tersebut hanya berjarak sekitar 60 km dengan ibu kota Negara Bagian Sarawak, Malaysia timur, yang dapat ditempuh 1,5 jam perjalanan. Bandingkan dengan jarak tempuh dari Kota Pontianak menuju ke lokasi yang mencapai 270 km atau sekitar tujuh jam dengan mobil.
Kepala Balai Prasarana Permukiman Wilayah (BPPW) Kalbar Deva Kurniawan Rahmadi mengatakan, BPPW Kalbar mendorong percepatan penyelesaian konstruksi PLBN Jagoi Babang pada bulan Juli 2022. Selanjutnya, dapat dilakukan serah terima aset agar dapat berfungsi optimal dan dikelola lebih lanjut oleh BNPP.
Tidak hanya PLBN Jagoi Babang. Sebelumnya, Kementerian PUPR juga telah menyelesaikan pembangunan tiga PLBN lain di Kalbar, yaitu PLBN Entikong di Sanggau, PLBN Aruk di Sambas, dan terakhir PLBN Badau di Kapuas Hulu.
Baca juga : Kesejahteraan Penduduk Perbatasan Lebih Rendah dari Nonperbatasan, Perlu Optimalkan Potensi