Minimnya Kreativitas Warga Hambat Pengembangan Wisata Desa di Borobudur
Desa-desa di sekitar Candi Borobudur kurang mampu berpikir kreatif dan berinisiatif menarik wisatawan sendiri. Padahal, desa-desa tersebut diharapkan menjadi pemecah keramaian di kawasan candi.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Inisiatif dan daya kreasi sebagian besar warga di desa-desa di sekitar Taman Wisata Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, untuk membuat paket-paket wisata yang menarik bagi wisatawan terbilang masih kurang. Kondisi inilah yang kemudian membuat kebanyakan wisatawan hanya melulu terfokus datang untuk sekadar mengunjungi Candi Borobudur.
Rohadi, salah seorang perangkat Desa Kembanglimus, Kecamatan Borobudur, mengatakan, semua desa di Kecamatan Borobudur sebenarnya memiliki potensi unggulan yang bisa dikemas menjadi paket wisata. Namun, karena kurangnya inisiatif dan kreativitas warga, potensi tersebut sering kali tidak digarap maksimal atau hanya dikemas asal-asalan dan seadanya.
Di Desa Kembanglimus saja, misalnya, salah satu potensi unggulan adalah nanas benggolo, nanas berukuran besar yang kini juga sudah dikembangkan sebagai tanaman pekarangan.
Terkait hal ini, Rohadi mengatakan, pihaknya juga sempat mengutarakan ide untuk membuat tanaman sebagai pagar desa, untuk mempercantik pemandangan dan menarik wisatawan. Sekalipun beberapa warga menganggapnya menarik, ide tersebut akhirnya juga tidak bisa ditindaklanjuti.
”Jangankan membuat pagar, banyak tanaman yang ada di pekarangan rumah saja sering kali tidak diurus dan diperhatikan dengan benar sehingga berbuah kecil dan kurang menarik,” ujarnya, Selasa (19/10/2021).
Desa Kembanglimus memiliki sejumlah potensi kuliner lainnya, seperti mangut beong dan makanan berbahan ketela, tiwul. Namun, hanya ada sejumlah warga yang menjalankan kuliner tersebut sebagai usahanya sehari-hari.
Terkait dengan kondisi ini, Rohadi menilai, perlu ada upaya dari pihak luar, baik swasta maupun pemerintah Kabupaten Magelang hingga pusat, untuk membuat agenda wisata rutin dengan melibatkan warga desa, termasuk Desa Kembanglimus. Pasalnya, dengan melihat pengalaman-pengalaman sebelumnya, warga baru mau bergerak saat ada pangsa pasar wisatawan yang jelas untuk produk ataupun paket wisata mereka.
Pelaksana Tugas Direktur PT Manajemen Community Based Tourism (CBT) Nusantara M Hatta mengatakan, kurangnya inisiatif warga itu akhirnya juga menghambat pengembangan aktivitas wisata di balai ekonomi desa (balkondes). Dia mencontohkan, dari 18 balkondes di Kecamatan Borobudur, terdapat dua balkondes yang saat ini berjalan tanpa ada warga yang mau berperan sebagai pengawas atau pimpinan.
”Tidak ada warga yang menjadi pimpinan, untuk berpikir, membuat, merancang paket-paket wisata. Warga di dua desa tersebut hanya siap menjadi pekerja yang menerima perintah saja,” ujarnya. Sekalipun masih memiliki pegawai, dua balkondes tersebut hanya berlaku pasif menerima wisatawan, tanpa ada rencana dan target jumlah wisatawan.
Nuryazid, Ketua Desa Wisata Karangrejo sekaligus ketua pengelolaan obyek wisata Punthuk Setumbu, mengatakan, semangat warga untuk mengelola Punthuk Setumbu yang sudah populer sebagai daya tarik wisata sejak tahun 2006 terus mengalami pasang surut. Beberapa kali juga timbul masalah karena ada kecurigaan terkait bagi hasil pemasukan.
Penurunan semangat juga terjadi saat diterjang pandemi dan semua obyek wisata mulai ditutup. Namun, saat ini, di tengah perkembangan kasus Covid-19 yang mulai landai, sebagian pemuda mulai berpikir, merancang paket-paket wisata yang bisa dikunjungi keluarga dan aman bagi anak-anak berusia di bawah 12 tahun.
Pelatihan
Untuk meningkatkan potensi desa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mulai tahun ini akan memulai tugas pendampingan, memberikan pelatihan kepada 20 desa di Kecamatan Borobudur. Sebagai tahap awal, selama lima hari, 18-22 Oktober 2021, digelar tiga jenis pelatihan, yaitu workshop tata kelola pergelaran, workshop seni kriya, dan bimbingan teknis pemandu wisata sejarah kawasan Borobudur.
Pelatihan ini diikuti oleh 130 orang dari 20 desa. Mereka terdiri dari seniman, perangkat desa, pelaku usaha kriya dan kuliner, serta pemandu wisata.
Pemecahan keramaian perlu dilakukan demi mendukung kelestarian Candi Borobudur. (Judi Wahjudin)
Direktur Pembinaan Tenaga dan Lembaga Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Judi Wahjudin mengatakan, pelatihan untuk meningkatkan potensi desa itu dimaksudkan sebagai bagian dari upaya untuk memecah keramaian yang selama ini hanya terfokus di Candi Borobudur.
”Pemecahan keramaian perlu dilakukan demi mendukung kelestarian Candi Borobudur,” ujarnya.
Dalam pelatihan, Judi menjelaskan, setiap desa akan diajak dan dilatih untuk lebih jeli mengenali potensi desa yang ada. Potensi yang dipilih warga nantinya akan menjadi ikon, yang kemudian akan dikembangkan dalam beragam bentuk produk, wisata, termasuk pergelaran.
Keberhasilan mengemas semua potensi menjadi unggulan wisata, menurut dia, diharapkan dapat berdampak positif memperpanjang lama tinggal wisatawan di kawasan Borobudur. ”Kawasan Borobudur tidak sekadar dikunjungi sebatas sekadar lewat saja,” ujarnya.
Kepala Kelompok Kerja Lembaga Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Wawan Yogaswara mengatakan, sebelumnya 20 desa tersebut sudah berstatus sebagai desa wisata. Tiap-tiap desa juga sudah diketahui memiliki potensi dan keunggulan masing-masing. Namun, ke depan, semua yang sudah dimiliki akan lebih ditonjolkan dan diperbaiki. Untuk produk UMKM, misalnya, pembenahan bisa dilakukan dalam hal pengemasan.
Namun, menyangkut pergelaran, tidak semua desa dipaksakan harus memiliki sesuatu untuk dipentaskan. ”Tidak ada yang perlu dipaksakan. Pendampingan harus dilakukan mengikuti potensi desa masing-masing,” ujarnya.
Kepala Balai Konservasi Borobudur (BKB) Wiwit Kasiyati mengatakan, upaya memecah keramaian mendesak diperlukan demi kelestarian bangunan Candi Borobudur.
Kunjungan wisatawan yang tidak terkendali dan selama ini lebih terfokus ke bangunan candi, menurut dia, menjadi faktor pemicu terjadinya keausan batuan candi. Hal ini terbukti pada kondisi di mana keausan banyak terjadi pada batuan tangga dan lantai candi, yang sering dilalui oleh wisatawan.
Berdasarkan perhitungan BKB pada tahun 2010, 70 persen batuan di bagian tangga candi telah mengalami keausan. Adapun laju keausan batuan candi di tangga naik, terukur 0,175 sentimeter per tahun, sedangkan laju keausan batuan candi di tangga naik, terukur 0,2 sentimeter per tahun. Sementara laju keausan di bagian lantai mencapai 0,042 sentimeter per tahun.
Data perhitungan tersebut dibuat ketika jumlah pengunjung Candi Borobudur baru mencapai sekitar dua juta orang per tahun. Sementara itu, jumlah wisatawan pada tahun 2019 saja terdata sudah mencapai lebih dari 4 juta orang.
Tahun ini, bangunan Candi Borobudur juga masih akan terus ditutup dan tidak bisa diakses wisatawan. Selain demi alasan konservasi, penutupan juga dilakukan untuk mencegah risiko terjadinya penularan Covid-19 antarwisatawan.