Tragedi Susur Sungai di Ciamis, Pengabaian Menenggelamkan Harapan
Sebanyak 11 siswa MTs Harapan Baru di Ciamis meninggal saat susur sungai dengan mengabaikan keselamatan. Mengabaikan peringatan bahaya dan tanpa pelampung saat berkegiatan terbukti berujung fatal.
Tragedi susur Sungai Cileueur di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, tidak hanya menghanyutkan 11 pelajar Madrasah Tsanawiyah Harapan Baru, tetapi juga menenggelamkan impian mereka. Nyawa mereka melayang akibat pengabaian keselamatan dan keamanan.
Gundukan tanah merah di tempat pemakaman umum Desa Sukasari, Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majalengka, itu masih basah, Sabtu (16/10/2021). Di atasnya, tampak kembang dan daun pandan yang meniupkan aroma wangi. Dua bilah bambu tertanam, menjelma nisan.
Di sana Dea Rizky (12) beristirahat selamanya. Siswi kelas VII MTs Harapan Baru itu mengembuskan napas terakhir saat menyusuri Sungai Cileueur di Ciamis, Jumat (15/10/2021) sore. Ia tutup usia empat hari sebelum ulang tahunnya ke-13.
Sekitar 1 kilometer dari pusara, Sahidin Alzu (52), ayah Dea, masih berselimut duka. Istrinya, Siti Maemunah (40), bahkan beberapa kali pingsan setelah mengetahui anaknya kembali ke Ilahi.
”Jelas kami merasa kehilangan sebagai orangtua,” ucap Sahidin.
Baca juga: Keluarga Tidak Tahu Korban Ikut Susur Sungai di Ciamis
Kabar muram itu diterima keluarga pada Jumat pukul 20.00. Kakak Dea yang juga sekolah di Ciamis saat itu menelepon. ”Dia bilang, mama, bapak di mana? (Dea) ini sudah tidak ada. Mau dikuburkan. Setelah itu, telepon ditutup,” ucap Sahidin.
Awalnya, keluarga tidak mengerti maksud panggilan tersebut. Sahidin beberapa kali mencoba menghubungi nomor telepon tadi, tetapi tidak direspons. Penasaran, keluarga langsung menuju sekolah Dea, sekitar 50 kilometer dari rumahnya.
Sesampainya di sana, keluarga akhirnya bertemu Dea yang sudah tak bernyawa. ”Kami kaget. Dea juga enggak bilang ada kegiatan apa-apa,” ujar Sahidin yang tidak menerima informasi kegiatan susur sungai dari guru atau wali kelas Dea.
Padahal, pekan lalu, Minggu (10/10/2021), Sahidin dan istrinya baru saja menjenguk Dea. Mereka membawa makanan ringan dan cokelat kesukaannya. Ketiganya berfoto di depan masjid. Dea mengenakan jilbab hitam, baju batik coklat, dan tersenyum.
Harapan saya, jangan sampai ada kejadian seperti ini lagi di sekolah mana pun. Jangan ada kayak gini lagi. (Sahidin)
”Anak itu (Dea) salehah. Enggak neko-neko, enggak macam-macam. Kalau enggak sekolah, dia di rumah saja. Kemarin juga ditanya sama ibunya, mau jadi apa? Katanya, dia mau perdalam fikih dan Al Quran hadis,” kenang Sahidin.
Selama ini, perajin tempe itu banting tulang demi impian anak-anaknya. Meskipun hanya lulusan sekolah menengah atas, anak pertamanya sudah duduk di bangku kuliah dan anak keduanya di madrasah aliyah, setara SMA.
Akan tetapi, ia tak mampu mengantarkan Dea meraih cita-citanya untuk memperdalam agama. Anak ketiganya itu tenggelam bersama impiannya saat susur sungai.
”Harapan saya, jangan sampai ada kejadian seperti ini lagi di sekolah mana pun. Jangan ada kayak gini lagi,” katanya.
Sekitar 10 kilometer dari kediaman Sahidin, Yuli Rahmawati (34) tak henti meneteskan air mata setelah anak pertamanya, Aldo Maulana Majid (13), tewas saat susur sungai. Kerabat dan tamu yang datang ke rumahnya di Desa Wangkelang, Kecamatan Cikijing, Majalengka, berupaya menguatkan.
Perihal kecelakaan itu diketahui Yuli dari orangtua siswa lain pada Jumat sore, bukan dari pihak sekolah. Suaminya, Asep Saepul (40), bahkan menerima kabar pilu itu dari media massa. Yuli pun langsung menuju MTs Harapan Baru, sedangkan Asep berangkat dari Cikarang, Bekasi.
Sesampainya di Ciamis, Yuli berupaya mengais informasi soal anaknya. ”Saya nyari-nyari dan nanya ke mana-mana. Katanya, Aldo ada di rumah sakit. Ternyata, enggak ada. Pukul sembilan malam baru dapat kabar dia tenggelam,” ujarnya.
Kenyataan itu membuatnya syok. ”(Kegiatan) kemarin itu saya enggak tahu. Enggak ada informasi dari guru dan wali. Aldo juga enggak ngabarin,” kata Yuli yang bertemu anaknya sebulan lalu.
Menurut dia, sebagai siswa baru, Aldo diharuskan mengikuti kegiatan tersebut. Guru Aldo, katanya, acap kali mengirimkan video dan foto saat anaknya bermain lumpur, mengikat tali tambang di tongkat, atau kegiatan kepanduan lainnya. Namun, ia sama sekali tak tahu soal susur sungai.
Kuwu (Kepala Desa) Wangkelang Deni Suherman mengatakan, selain Aldo, masih ada dua warganya yang menempuh pendidikan di MTs Harapan Baru Ciamis. Mereka mengikuti jejak beberapa warga yang pernah menjadi santri di Ciamis dan Tasikmalaya.
Deni menyesalkan tragedi yang menewaskan 11 siswa. Apalagi, orangtua siswa tidak mengetahui anaknya melakukan aktivitas berisiko tersebut. Dengan jumlah 150 siswa, ia meragukan pengawasan dan tingkat keamanan susur sungai.
”Ada satu warga kami (Faisal), teman korban juga. Sebelum Aldo melewati sungai, dia lebih dulu dan tenggelam. Alhamdulillah selamat. Seharusnya, kan, kegiatannya langsung dihentikan saat itu juga karena berbahaya,” paparnya.
Saat dikunjungi di rumahnya, Faisal (13) sedang beristirahat karena kelelahan setelah tiba pukul 03.00 dari Ciamis. ”Anaknya masih panas (demam), masih trauma,” ucap Deni.
Keselamatan diabaikan
Samsul (40), warga Desa Utama, tempat Sungai Cileueur, menjadi saksi pengabaian keselamatan itu. Menurut dia, semua korban tidak memakai pelampung. Sepatu di kaki korban juga menyulitkan untuk berenang.
Padahal, warga sudah mengingatkan risiko di sungai saat pihak sekolah menyurvei lokasi tiga hari sebelum kejadian. Apalagi, terdapat titik terdalam sekitar 3 meter di sungai.
”Sudah ada yang pernah hanyut dan tenggelam, tetapi bisa diselamatkan,” ujarnya.
Jumat siang, rombongan siswa MTs Harapan Baru tiba di pinggir Sungai Cileueur. Mereka menyisir daerah dangkal dengan kedalaman 60 sentimeter, lalu berjalan sambil bergandengan tangan.
Sore harinya, Samsul dikagetkan dengan teriakan minta tolong dari warga. Ia berlari sekitar 200 meter dari rumahnya menuju sungai. Banyak siswa dan warga berteriak histeris.
Ia bersama warga dan petugas terjun ke sungai untuk mencari korban. Korban kesebelas ditemukan sekitar pukul 20.20 atas nama Siti Jahra (12). ”Waktu saya di dalam air, badan saya menyenggol sesuatu. Setelah saya tarik, ternyata jenazah korban,” ujarnya.
Maman Sulaiman (55), warga setempat lainnya, mengatakan, tempat korban tenggelam disebut Leuwi Ili. ”Leuwi berarti ’lubuk’, sementara Ili diambil dari nama orang yang pernah meninggal tenggelam lebih dari tiga puluh tahun lalu,” ujarnya.
Maman menyebutkan, penamaan tersebut sebagai tanda peringatan waspada. Adapun Cileueur memiliki arti ’sungai yang licin’. Kondisi itu merujuk pada batu-batu di sungai tersebut yang licin.
Ada baiknya kalau mau berkegiatan di sini tanya-tanya dulu kepada warga setempat supaya tahu sejarahnya serta apa saja yang harus dijaga dan diwaspadai. (Sulaiman)
”Ada baiknya kalau mau berkegiatan di sini tanya-tanya dulu kepada warga setempat supaya tahu sejarahnya serta apa saja yang harus dijaga dan diwaspadai,” ujarnya.
Dendeu dari bagian Humas MTs Harapan Baru mengatakan, kegiatan susur sungai rutin digelar setiap tahun sebagai bagian dari ekstrakurikuler kepanduan. ”Awalnya kegiatan ini di bantaran sungai. Namun, saat hendak menyeberang, beberapa siswa tergelincir dan terbawa arus sungai ke muara dengan kedalaman sekitar 4 meter,” ujar Dendeu.
Saat ini, polisi masih mengumpulkan keterangan dari warga yang menyaksikan kejadian tersebut. ”Kami belum menemukan adanya alat-alat keselamatan, baik itu pelampung maupun tali. Informasi yang kami terima, korban bergandengan tangan saat menyeberang,” ujar Kepala Polres Ciamis Ajun Komisaris Besar Wahyu Broto.
Terkait unsur kelalaian, pihaknya masih memeriksa hal itu. ”Belum ada pihak sekolah yang diperiksa karena memang masih berduka. Tidak ada yang menginginkan kejadian ini. Namun, kami akan tetap profesional dalam pemeriksaan,” jelasnya.
Bupati Ciamis Herdiat Sunarya menyayangkan tidak adanya kelengkapan keselamatan saat susur sungai. ”Ini sebagai pembelajaran. Jangan sampai terjadi dan terulang lagi,” ujarnya.
Gubernur Jabar Ridwan Kamil meminta kepala daerah dan Kementerian Agama Provinsi Jabar mengevaluasi kegiatan pembelajaran tatap muka melalui tahapan ketat, termasuk kegiatan susur sungai yang telah menelan korban jiwa. Ia juga melarang kegiatan susur sungai sampai standar operasional kegiatan itu tersusun komprehensif.
Akibat pengabaian keselamatan, 11 pelajar meregang nyawa. Mereka tenggelam bersama impiannya.
Baca juga: Ridwan Kamil: Evaluasi Semua Kegiatan Luar Ruangan Berisiko