Perikanan budidaya di Maluku terus berkembang. Sejumlah pembudidaya memadukan usaha budidaya dengan wisata kuliner. Mereka mengampanyekan keunggulan ikan dari daerah itu, yakni ”ikan satu kali mati”.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·5 menit baca
Mesin menderu, mendorong perahu bertolak ke tengah Teluk Ambon, Maluku, suatu senja awal Oktober 2021. Setelah melewati perairan yang teduh, perahu sandar di ujung keramba jaring apung, tempat ribuan ikan dibudidayakan. Di atas keramba itu berdiri sebuah rumah makan.
Jefri Slamta (48), pemilik keramba, menyerahkan seutas tali pancing kepada pengunjung. Ia mempersilakan mereka memancing ikan di dalam keramba. Sesuai keinginan, pengunjung bebas memilih ikan kuwe (Caranx ignobilis), ikan kerapu (Epinephelus), atau kakap putih (Lates calcarifer).
Ikan hasil pancingan yang masih menggelepar langsung diserahkan kepada Jefri untuk diolah dengan cara dibakar, digoreng, atau dimasak kuah. Tidak lebih dari satu jam, hidangan sudah di atas meja. ”Silakan makan. Ini ikan hanya mati satu kali,” kata Jefri melempar candaan.
Sebutan ”ikan mati satu kali” yang dimaksudkan Jefri adalah ikan yang setelah diambil dari laut langsung diolah. Ikan tidak diberi es atau pengawet. ”Kalau ikan dari Ambon yang dijual di Jakarta itu sudah mati berkali-kali,” ucap Jefri lagi disambut tawa pengunjung dari salah satu instansi di Jakarta.
Sensasi memancing kemudian makan di atas keramba jaring apung kini semakin diminati seiring bertambahnya usaha budidaya ikan di Teluk Ambon dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Para pengelola keramba tak hanya menjual ikan. Mereka memadukan budidaya ikan dengan wisata kuliner.
Jefri baru memulainya tahun ini. Ia memiliki enam kotak keramba masing-masing berukuran 3 meter kubik. Di dalamnya terdapat lebih kurang 3.000 ikan campuran. Sekadar membandingkan, saat hanya mengandalkan jualan ikan, ia meraup penghasilan bersih paling banyak Rp 10 juta per bulan. Setelah membuka rumah makan, penghasilannya naik hingga 20 persen.
Ia mengatakan, saat awal pandemi Covid-19, usaha budidaya ikan terpukul lantaran restoran dan hotel sempat ditutup. Ekspor komoditas kerapu ke semua negara juga tidak jalan lantaran kapal pembeli ikan tidak masuk Ambon. Biasanya pembeli luar negeri mencari ikan kerapu hidup dengan harga hingga Rp 500.000 per kilogram.
Kini, budidaya perikanan kembali bergairah setelah tempat usaha, seperti hotel dan restoran, beroperasi, ditambah lagi daya beli masyarakat juga perlahan pulih. Membuka tempat makan di atas keramba adalah inovasi Jefri selama pandemi. Ia tidak lagi hanya mengandalkan penjual ikan ke restoran atau menunggu kedatangan kapal pembeli ikan dari luar negeri yang belum pasti kapan.
Selain Jefri, usaha serupa juga digarap Ongen Tanamal (40). Di tempatnya, pengunjung biasa memilih waktu malam. Selain hawa laut lebih sejuk, sensasi lain yang ditawarkan adalah pemandangan Jembatan Merah Putih yang membentang di atas Teluk Ambon. Keramba Ongen berada sekitar 200 meter dari kaki jembatan sepanjang 1.140 meter itu.
Teluk Ambon merupakan parairan yang cocok untuk budidaya. Teluk bagian dalam relatif teduh hampir sepanjang tahun. Saat ini, terdapat lebih dari 40 kelompok nelayan budidaya di Teluk Ambon. Ancaman bagi mereka hanyalah musim hujan. Banjir menyebabkan kadar garam air laut turun. Banyak ikan mati. Untuk mengantisipasinya, mereka mengurangi penebaran benih menjelang musim hujan.
Potensi Maluku
Menurut data yang dihimpun dari Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku, tahun 2020, jumlah pembudidaya ikan, khususnya keramba jaring apung, di Maluku mencapai 1.498 orang. Jumlah ini meningkat hampir dua kali lipat dibandingkan dengan lima tahun sebelumnya.
Menurut Kepala Bidang Perikanan Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Hasil Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Karolis Iwamony, pengolahan budidaya memerlukan biaya yang tidak sedikit. Untuk pengadaan empat keramba berukuran 3 meter kubik, misalnya, membutuhkan biaya hingga Rp 23 juta.
Biaya itu pun masih di luar operasional, seperti pengadaan bibit, pakan, dan perawatan yang dalam dua siklus mencapai Rp 34 juta. ”Kalau itu berhasil, keuntungannya bisa lebih dari dua kali lipat dari biaya operasional. Jadi, ini yang menjanjikan,” kata Karolis.
Ia mencontohkan, pada 11 September 2021, ia menyaksikan panen ikan kuwe di Teluk Wahai, Kabupaten Maluku Tengah, sebanyak 1.144 ekor dengan berat total 409,5 kilogram. Ikan langsung dibeli para pengepul dengan harga Rp 50.000 per kilogram. Nilainya Rp 20,4 juta. Panen tersebut hanya satu kotak keramba.
Hasil panen langsung dikirim ke sejumlah hotel dan restoran di Kota Ambon. Jumlah pengunjung, terutama di restoran, mulai meningkat lagi. Di sana, ikan kuwe, misalnya, kebanyakan diolah dengan cara dibakar atau dimasak kuah. Warga setempat biasa menyebutkan ikan kuah kuning.
Penanggulangan kemiskinan
Ruslan Tawary, akademisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Pattimura, Ambon, mengatakan, masih banyak potensi perikanan budidaya di Maluku yang belum digarap maksimal. Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, dari 183.064 hektar areal budidaya ikan di Maluku, hingga 2019 baru 7.544 hektar atau 4,12 persen yang sudah dimanfaatkan. Produksi perikanan budidaya pun hanya 841.620 ton.
Di sini perlu kehadiran pemerintah untuk mendorong pemanfaatan potensi tersebut. Ia menilai, kondisi di Maluku sangat miris. Wilayah itu kaya akan potensi kelautan dan perikanan, tetapi banyak masyarakat hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut data Badan Pusat Statistik, pada Maret 2021, jumlah penduduk miskin di Maluku 322.810 orang atau 17,87 persen. Persentase kemiskinan Maluku merupakan tertinggi keempat di Indonesia.
Ia meyakini, sektor kelautan dan perikanan, termasuk usaha budidaya, dapat membantu mempercepat penanggulangan kemiskinan di Maluku. ”Hampir semua masyarakat miskin itu tinggal di pesisir, tetapi mereka belum tersentuh program pemberdayaan. Mereka kebanyakan nelayan miskin,” katanya. Adapun jumlah rumah tangga nelayan di Maluku tahun 2020 sekitar 115.000.
Menurut Ruslan, keberhasilan pengelolaan usaha budidaya ikan di sejumlah tempat di Maluku dapat dijadikan contoh. Budidaya ikan menjawab permintaan ikan segar yang terus meningkat. Para penikmat kuliner ikan tentu akan memilih ikan yang hanya sekali mati. Ini peluang.