Meretas Batas Normal-Abnormal Bersama Pak Wi
Pameran seni rupa Abnormal Baru hasil kolaborasi Dwi Putro dan Nawa Tunggal menggugat stigma negatif yang kerap dilekatkan pada orang dengan gangguan mental. Dikotomi antara orang normal dan abnormal pun dipertanyakan.
Pameran seni rupa Abnormal Baru hasil kolaborasi Dwi Putro dan Nawa Tunggal menggugat stigma negatif yang sering dilekatkan kepada orang dengan gangguan mental. Melalui beragam karya di pameran tersebut, dikotomi antara orang normal dan abnormal pun dipertanyakan ulang.
Puluhan lukisan itu ditata berdekatan sehingga tampak sebagai sebuah kesatuan. Di bagian kiri dan kanan, masing-masing terdapat 40 lukisan kecil yang berisi gambar anak ayam dengan aneka warna. Ada anak ayam yang berwarna kuning, biru, merah muda, ungu, coklat, dan sebagainya.
Saat dipandang satu per satu, lukisan anak-anak ayam itu barangkali akan tampak biasa. Namun, ketika puluhan lukisan itu dilihat sebagai sebuah kesatuan, bisa jadi kita akan tercengang. Sebab, rangkaian lukisan anak ayam itu memperlihatkan kerja melukis secara berulang yang konsisten, tidak kenal lelah, dan tak mengenal rasa bosan.
Lukisan-lukisan anak ayam itu ditampilkan dalam pameran seni rupa Abnormal Baru yang digelar di Jogja Gallery, Yogyakarta, 12-22 Oktober 2021. Pameran tersebut menampilkan karya kolaborasi Dwi Putro dan Nawa Tunggal yang merupakan kakak beradik. Seperti tajuknya, pameran ini menawarkan sesuatu yang abnormal atau di luar kebiasaan lazimnya pameran seni rupa kontemporer.
Dwi Putro atau biasa dipanggil Pak Wi adalah seorang dengan gangguan mental serta gangguan pendengaran dan bicara. Meski memiliki sejumlah keterbatasan, pria asal Yogyakarta yang kini berusia 58 tahun itu aktif melukis. Kebiasaan melukis yang dijalani Pak Wi tak lepas dari peran Nawa yang setia mendampingi sang kakak.
Menurut Nawa, upayanya mendampingi sang kakak itu berawal dari peristiwa memprihatinkan yang terjadi sekitar 20 tahun lalu. Saat itu, Nawa bertemu dengan Pak Wi yang sedang berjalan kaki di jalanan sambil memunguti puntung rokok. Melihat itu, Nawa merasa khawatir dengan kondisi sang kakak.
Saya merasa cemas bagaimana kalau dia menjadi gelandangan yang lupa pulang. Kejadian itulah yang menjadi titik balik saya mengajak dia untuk melukis.
”Saya merasa cemas bagaimana kalau dia menjadi gelandangan yang lupa pulang. Kejadian itulah yang menjadi titik balik saya mengajak dia untuk melukis,” tutur Nawa saat ditemui di pembukaan pameran Abnormal Baru, Selasa (12/10/2021).
Nawa mengatakan, ide mengajak sang kakak melukis itu muncul karena Pak Wi sering mencorat-coret dinding rumah tetangga. Oleh karena itu, Nawa lalu memberikan peralatan gambar dan melukis kepada Pak Wi. Ajakan untuk melukis itu ternyata disambut Pak Wi. Selama beberapa tahun terakhir, dia terus menggambar dan melukis di berbagai medium.
Lukisan-lukisan Pak Wi kemudian ditampilkan dalam berbagai pameran di Yogyakarta, Jakarta, Bali, Bandung, dan Jepang. Pak Wi juga beberapa kali mengikuti kegiatan melukis bersama. Yang menarik, melukis bagi Pak Wi tak hanya menjadi kerja artistik, tetapi juga sebuah terapi karena aktivitas itu ternyata berdampak baik pada dirinya.
”Dibandingkan 20 tahun lalu, Pak Wi makin membaik. Dulu, saat berkomunikasi, dia enggak berani menatap mata orang lain. Sekarang dia sudah berani menatap mata orang lain dan lebih komunikatif. Jadi, melukis itu menjadi terapi buat dia,” tutur Nawa yang berprofesi sebagai wartawan ini.
Kolaborasi
Lukisan-lukisan Pak Wi yang ditampilkan dalam pameran Abnormal Baru memperlihatkan keragaman gaya dan obyek yang menjadi pusat karyanya. Ada beberapa obyek yang dilukis Pak Wi secara repetitif dan nyaris seperti obsesif, misalnya anak ayam.
”Dia banyak sekali membuat lukisan ayam, diulang-ulang. Pengulangan inilah yang membuat Pak Wi istimewa karena dia kuat sekali mengulang lukisan berapa pun jumlahnya asalkan ada cat, kanvas, dan kertas. Pak Wi itu punya energi yang besar karena tidak mudah lelah dan tidak mudah menyerah,” papar Nawa.
Selain itu, Pak Wi juga melukis tokoh-tokoh wayang, aneka jenis binatang, buah-buahan, hingga barang sehari-hari, seperti gelas, es krim, dan kendi. Obyek-obyek yang dilukis Pak Wi itu kemungkinan dia ambil dari hal-hal yang dilihatnya sehari-hari atau dia lihat di buku dan media lain.
Namun, Pak Wi tak hanya melukis dengan gaya realis karena dia juga membuat lukisan dengan gaya abstrak dan eskpresif. Pada sejumlah lukisan, misalnya, Pak Wi melukis garis-garis dengan aneka ukuran dan warna. Hal ini menunjukkan lukisan-lukisan Pak Wi tak hanya menunjukkan rekaman ingatannya, tetapi mungkin juga dibubuhi imajinasi.
Pengulangan inilah yang membuat Pak Wi istimewa karena dia kuat sekali mengulang lukisan berapapun jumlahnya asalkan ada cat, kanvas, dan kertas. Pak Wi itu punya energi yang besar karena tidak mudah lelah dan tidak mudah menyerah.
Dalam pameran Abnormal Baru, Nawa tak hanya menjadi pendamping, tetapi juga kolaborator yang merespons lukisan-lukisan Pak Wi dengan pendekatan seni instalasi. Itulah kenapa, dalam pameran ini, lukisan-lukisan Pak Wi tak hanya bisa dianggap sebagai lukisan yang berdiri sendiri, tetapi juga menjadi sebuah karya instalasi.
”Dalam pameran ini, lukisan itu tidak hadir secara tunggal, tetapi juga sebagai seni instalasi. Saat lukisan itu menjadi instalasi, lahirlah karya baru yang merupakan karya kolaborasi Dwi Putro dan Nawa Tunggal,” tutur Nawa.
Proses itulah yang kemudian melahirkan konsep kolaborasi yang diberi nama DPNT, singkatan dari Dwi Putro dan Nawa Tunggal. Dalam proses kolaborasi itu, Nawa juga membubuhkan narasi dan judul dalam karya-karya Pak Wi yang telah diresponsnya. Saat melakukan hal itu, Nawa secara sengaja atau tidak sedang menafsir karya-karya Pak Wi.
Gugat stigma
Dalam sejumlah karya, Nawa mengolah kembali karya-karya Pak Wi hingga melahirkan wacana baru yang tak ada dalam lukisan aslinya. Dalam seri karya Biarlah Aku Miring, misalnya, Nawa memasang lukisan-lukisan Pak Wi secara miring di bingkainya. Tindakan yang tak biasa itu dilakukan Nawa untuk menggugat stigma yang menganggap orang dengan gangguan mental memiliki otak miring.
Dalam karya Memetik Bunga untuk Jambangan, Nawa menambahkan lampu dan sejumlah elemen lain ke dalam lukisan Pak Wi. Hasilnya, saat lampu di belakang karya itu dimatikan, karya tersebut akan tampak seperti lukisan abstrak sehingga karakter asli lukisan Pak Wi justru tak kentara. Namun, ketika lampu itu dinyalakan, obyek-obyek dalam lukisan Pak Wi pun tampak jelas.
Menurut Nawa, karya itu merefleksikan fenomena sebagian masyarakat Indonesia yang menutup-nutupi keberadaan anggota keluarga mereka yang mengalami gangguan mental. Padahal, memiliki anggota keluarga dengan gangguan mental bukanlah sebuah aib sehingga tak perlu ditutup-tutupi.
”Karya ini menceritakan, dulu saya malu punya kakak seperti Pak Wi. Ini juga banyak dilakukan keluarga-keluarga lain sehingga mereka menutupi kalau punya anggota keluarga seperti Pak Wi,” ungkap Nawa.
Nawa menuturkan, melalui pameran Abnormal Baru, dirinya ingin memperjuangkan kesamaan hak dan kesempatan bagi orang-orang dengan disabilitas agar mereka bisa tampil berkarya di depan publik. Selain itu, karya kolaborasi Nawa dan Pak Wi juga tampak hendak meretas atau merobohkan pandangan dikotomis antara orang normal dan abnormal.
Gugatan terhadap batas normal versus abnormal itu juga disampaikan penyair Joko Pinurbo setelah membaca buku berisi tulisan Pak Wi. Selain melukis, Pak Wi memang sering menulis kata-kata acak di dalam buku tulis. Salah satu buku tulis itulah yang kemudian dipinjamkan Nawa ke Joko Pinurbo untuk dipelajari dan direfleksikan.
Menurut Joko Pinurbo, tulisan-tulisan acak Pak Wi mengajak kita untuk kembali menjadi kanak-kanak dengan bermain imajinasi yang murni, tanpa pamrih dan ambisi. ”Tulisan-tulisan Pak Wi mengajak kita sekali-kali untuk menjadi abnormal. Sebab, kita ini sering terlalu normal, punya banyak pamrih, ambisi, kepentingan sehingga banyak terjadi konflik,” ujar penyair yang kerap dipanggil Jokpin itu.
Tulisan-tulisan Pak Wi mengajak kita sekali-kali untuk menjadi abnormal. Sebab, kita ini sering terlalu normal, punya banyak pamrih, ambisi, kepentingan sehingga banyak terjadi konflik.