Presiden ke Labuan Bajo, Pemerhati Lingkungan Pertanyakan Izin Korporasi
Komitmen pemerintah pusat untuk menjaga komodo dipertanyakan saat Presiden Joko Widodo mengunjungi Labuan Bajo. Pasalnya, pemerintah pusat memberi izin bisnis bagi korporasi di dalam wilayah Taman Nasional Komodo.
Oleh
FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
LABUAN BAJO, KOMPAS — Presiden Joko Widodo mengunjungi Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, untuk sejumlah acara yang berkaitan dengan pengembangan daerah itu sebagai destinasi wisata superprioritas. Namun, pemerhati lingkungan mengingatkan Presiden terkait izin pemerintah pusat bagi kepentingan bisnis korporasi di Taman Nasional Komodo. Izin itu dapat mengancam kepunahan komodo yang menjadi simbol destinasi wisata setempat.
Dalam siaran pers yang dikeluarkan Biro Administrasi Pimpinan Setda Provinsi NTT, kunjungan Presiden pada Kamis (14/10/2021) untuk sejumlah acara. Selain pejabat dari pusat, sejumlah pejabat daerah ikut mendampingi, yakni Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat, Pangdam IX/Udayana Mayor Jenderal Maruli Simanjuntak, dan Kapolda NTT Inspektur Jenderal Lotharia Latif.
”Hari ini Bapak Presiden bersama rombongan melakukan kunjungan kerja di Labuan Bajo terkait dengan peresmian Terminal Multipurpose Wae Kelambu, Acara Rebranding Hotel Inaya Bay Komodo menjadi Meruorah, kemudian melakukan peresmian Puncak Waringin dan kembali ke Jakarta,” kata Pelaksana Tugas Kepala Biro Administrasi Pimpinan Setda NTT Prisila Q Parera.
Peneliti lembaga Sunspirit for Justice and Peace Labuan Bajo Venansius Haryanto kepada Kompas mengatakan, pihaknya mengapresiasi kehadiran Presiden. Selama era Presiden Jokowi, banyak proyek infrastruktur yang dibangun di daerah itu. Tujuan pembangunan untuk mendukung sektor pariwisata.
Pariwisata Labuan Bajo memiliki keunikan dengan keberadaan satwa langka komodo. Lokasi wisata itu berada di dalam Taman Nasional Komodo, areal konservasi yang ditetapkan pada 6 Maret 1980 dengan luasan 173.000 hektar. Penetapan itu bertujuan menjaga kelestarian komodo yang tahun 2018 jumlahnya sebanyak 2.872 ekor.
Secara khusus, kami menentang keras pemberian konsesi bisnis wisata kepada sejumlah perusahaan.
Namun, Venansius mempertanyakan kebijakan pemerintah pusat yang memberikan izin operasi kepada tiga korporasi. Izin tersebut bertolak belakang dengan semangat konservasi. Kehadiran korporasi bakal menimbulkan privatisasi areal tersebut dan bakal terjadi eksploitasi secara berlebihan.
”Kami mengkritisi model pengembangan pariwisata superpremium di dalam Taman Nasional Komodo yang mengabaikan keberadaan kawasan itu sebagai tempat perlindungan alami bagi satwa, terutama komodo, dan ruang hidup warga setempat. Secara khusus, kami menentang keras pemberian konsesi bisnis wisata kepada sejumlah perusahaan,” katanya.
Mengancam kepunahan
Mereka juga mendesak Presiden agar menindaklanjuti peringatan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) pada Juli 2021 terkait pembangunan bisnis pariwisata di Taman Nasional Komodo. Pembangunan itu mengancam kepunahan komodo yang disebabkan oleh perubahan iklim dan aktivitas manusia.
”Sejalan dengan itu, kami meminta kepada Bapak Presiden untuk mengevalusi total keseluruhan pembangunan pariwisata superprioritas di dalam kawasan Taman Nasional Komodo dan melakukan daya upaya konservasi yang lebih jelas dan sistematis,” ucapnya.
Dalam catatan Kompas, protes pegiat lingkungan terkait izin pembangunan di Taman Nasional Komodo yang disuarakan sejak tahun lalu itu belum ditanggapi Presiden yang kerap datang ke sana. Tanggapan itu malah datang dari Pemerintah Provinsi NTT selaku perpanjangan tangan dari pemerintah pusat di daerah.
Kepala Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif NTT Zeth Sony Libing, lewat sambungan telepon di Kupang, Rabu (15/9), mengatakan, komodo adalah simbol pariwisata NTT. Tanpa komodo, pariwisata NTT tidak akan maju seperti saat ini. Oleh karena itu, perlindungan terhadap komodo menjadi prioritas.
Namun, saat disinggung mengenai pemberian izin bagi tiga perusahaan untuk membuka usaha di Taman Nasional Komodo, Zeth mengatakan, izin tersebut menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ia menjamin pihaknya tetap mengawasi secara ketat. Ia memastikan semua perusahaan taat prosedur yang ramah terhadap komodo.