Kaltara, Ironi di Perbatasan Negeri
Kondisi geografis dan minimnya infrastruktur merupakan dua dari banyak penyebab masyarakat di pedalaman Kalimantan Utara sulit mengakses pendidikan dan memenuhi kebutuhan lain.

Barang-barang dari Tawau, Malaysia, tiba di Sungai Lalesalo Desa. Sei Pancang, Kec. Sebatik Utara, Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, Sabtu (10/8/2019).
Sejumlah indikator pendidikan di wilayah Kalimantan Utara cenderung menurun pada setiap jenjang sekolah yang lebih tinggi. Kondisi geografis dan minimnya infrastruktur merupakan dua dari banyak penyebabnya.
Wilayah Kalimantan Utara berbatasan langsung dengan wilayah laut dan darat negeri tetangga, Malaysia. Namun, infrastruktur penunjang pendidikan dan kebutuhan lain masih sangat terbatas di wilayah Kaltara yang berada di perbatasan.
Salah satunya bisa terlihat di Kecamatan Lumbis Hulu, Kabupaten Nunukan. Kecamatan ini belum memiliki akses darat yang baik. Selain itu, listrik dan jaringan telekomunikasi juga sangat terbatas.
Camat Lumbis Hulu Justinus bercerita, dengan keterbatasan itu, warganya sulit mengakses pendidikan. Oleh karena wilayahnya belum ada jaringan internet, sejumlah siswa harus mengarungi sungai ke Kecamatan Lumbis ketika butuh internet. Perjalanan sungai itu butuh waktu sekitar delapan jam.
Selain itu, listrik di wilayahnya juga terbatas. Sebagian besar warga masih menggunakan genset komunal. Itu membuat warga harus merogoh kocek lebih dalam untuk bisa menikmati fasilitas listrik yang sangat terbatas.

Kalimantan Utara dalam tangkapan layar Google Maps
Kondisi tersebut membuat pembangunan di wilayahnya sangat lambat. Di Lumbis Hulu hanya terdapat SD dan SMP. Warga yang ingin melanjutkan sekolah ke SMA harus menyiapkan biaya indekos di Kecamatan Lumbis karena belum ada SMA di Lumbis Hulu.
”Oleh karena itu, sejumlah anak tidak lanjut ke SMA karena jauh dan harus mengeluarkan uang lebih untuk biaya hidup indekos, makan, dan ongkos perjalanan sungai,” katanya, dihubungi awal Oktober 2021.
Saat ini pemerintah setempat dan warga sudah menyiapkan lahan hibah sekitar 1 hektar di Lumbis Hulu. Lahan itu merupakan prasyarat untuk pembangunan sekolah di sebuah wilayah. Lahan itu akan dijadikan sebagai gedung SMP dan SMA.
Mau bagaimana lagi. Di tempat kami ndak ada internet sama sekali. Untuk telepon saja susah
Hal serupa juga terjadi di daerah Kecamatan Krayan, Nunukan. Kapitan (54), salah satu warga, terpaksa berhenti berladang hampir seminggu demi mengantar anaknya ke pusat kecamatan. Ia harus menempuh perjalanan menggunakan motor sekitar lima jam agar anaknya bisa mengakses internet.
Jalan yang dilaluinya hanya jalan tanah setapak yang saat hujan sangat sulit dilalui motor. Kapitan harus melakukan itu karena anaknya terpilih sebagai salah satu perwakilan sekolah untuk mengikuti asesmen nasional berbasis komputer. Pelaksanaan asesmen itu menggunakan jaringan internet.

Pemandangan yang bisa dilihat di Kecamatan Krayan Induk, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Praktis ia harus menginap di pusat Kecamatan Krayan. Ia juga mengeluarkan kocek pribadi untuk kebutuhan hidup dan ongkos bensin agar buah hatinya bisa mengikuti program dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tersebut.
”Mau bagaimana lagi. Di tempat kami ndak ada internet sama sekali. Untuk telepon saja susah," kata Kapitan.
Keterbatasan infrastruktur itu juga dialami di banyak wilayah lain Kaltara. Dari lima kabupaten dan kota, hanya Kota Tarakan yang memiliki jaringan listrik, jalan, akses pendidikan, dan internet bagus. Keterbatasan masih banyak dijumpai di Malinau, Nunukan, Bulungan, dan Tana Tidung.
Minimnya pembangunan di daerah perbatasan terlihat pada indeks pembangunan manusia (IPM), sebuah indikator komposit untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada tahun 2020, Kota Tarakan memiliki IPM tertinggi, yakni 75,83. Kabupaten Tana Tidung dengan IPM 66,97 dan Kabupaten Nunukan dengan IPM 65,79 berada di urutan terbawah di Kaltara.

Indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Kalimantan Utara tahun 2018-2020 sesuai tangkapan layar data BPS Kalimantan Utara
Jika dilihat lebih detail, setidaknya dalam dua tahun terakhir (2019-2020) tiga indikator pendidikan di Kaltara menurun. Indikator itu terdiri dari angka partisipasi sekolah (APS), angka Partisipasi murni (APM), dan angka partisipasi kasar (APK).
Pada tahun 2020, APS pada setiap kategori umur mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. APS untuk kelompok umur 7-12 tahun 98,94 persen. Artinya setiap 100 anak usia 7-12 tahun terdapat satu sampai dua anak yang tidak/belum pernah sekolah atau tidak sekolah lagi (drop out).
APS untuk kelompok umur 13-15 tahun sebesar 96,52 dan kelompok umur 16-18 tahun sebesar 76,08 persen. Dari ketiga kelompok umur tersebut, partisipasi sekolah tertinggi pada kelompok usia 7-12 tahun. Sementara itu, semakin meningkatnya usia, angka APS semakin menurun.
Baca juga: Siswa di Perbatasan RI-Malaysia Arungi Sungai untuk Cari Jaringan Internet
APM mengindikasikan proporsi anak usia sekolah yang dapat sekolah tepat waktu. Pada tahun 2019, APM pada tingkat SD/sederajat mengalami penurunan. Namun, pada tingkat SMP dan SMA, angkanya mengalami peningkatan. APM tertinggi ada di tingkat SD/sederajat sebesar 93,46. APM pada tingkat SMP/sederajat sebesar 79,09 persen dan APM pada tingkat SMA/sederajat sebesar 64,75 persen.
Indikator APK menggambarkan partisipasi penduduk yang sedang menempuh pendidikan tanpa mempertimbangkan usia. Pada tahun 2019, APK untuk tingkat SD/sederajat sebesar 100,54; tingkat SMP/sederajat sebesar 101,47; dan tingkat SMA/sederajat sebesar 98,31. Angka APK yang lebih tinggi daripada APM menunjukkan adanya penduduk yang tidak sekolah tepat waktu.

Siswa dan guru SMPN 2 Lumbis Ogong menumpang perahu kayu dari Kecamatan Lumbis Hulu ke Kecamatan Lumbis, Nunukan, Kalimantan Utara, untuk mengikuti asesmen nasional berbasis komputer, Kamis (30/9/2021). Mereka harus melalui jalur sungai delapan jam karena wilayah mereka tak terjangkau akses internet dan listrik.
Jika dicermati kembali, baik APS, APM maupun APK, menunjukkan
adanya kecenderungan penurunan pada setiap jenjang sekolah yang lebih tinggi. Hal ini menjadi tantangan bagi pemerintah dalam menyusun kebijakan terkait akses pendidikan menengah dan tinggi yang capaiannya belum setinggi pendidikan dasar.
Pembangunan di Kaltara ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah. Sejumlah infrastruktur menjadi wewenang pemerintah pusat, salah satunya untuk jaringan telekomunikasi. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pembangunan base transceiver station (BTS) merupakan kewenangan pemerintah pusat.
BTS atau stasiun pemancar adalah sebuah infrastruktur telekomunikasi yang memfasilitasi komunikasi nirkabel antara perangkat komunikasi dan jaringan operator. Setiap tahunnya Pemprov Kaltara mengajukan pembangunan jalan dan BTS ke pemerintah pusat. Namun, belum semua terealisasi.
Bupati Nunukan Asmin Laura Hafid menjelaskan, tahun ini Nunukan mendapat bantuan very small aperture terminal (VSAT), layanan internet berbasis satelit. Itu akan disebar ke titik-titik yang belum terjangkau internet.
”Tahun ini kami mendapatkan bantuan 144 titik VSAT yang tersebar di seluruh titik kecamatan,” katanya.

Salah satu sudut pemandangan yang bisa dilihat di Desa Long Bawan, Kecamatan Krayan Induk, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Sebagian besar penduduk di wilayah ini bekerja sebagai petani.
Adapun untuk keterbatasan infrastruktur lain, Pemkab Nunukan menyiasati dengan memberi subsidi untuk sejumlah kebutuhan masyarakat. Itu dilakukan agar masyarakat bisa membeli kebutuhan pokok dengan harga terjangkau.
”Kami memberi subsidi ongkos angkut, baik udara maupun sungai. Kurang lebih setiap tahun kami mengalokasikan anggaran Rp 9 miliar untuk meeunuhi kebutuhan pokok. Ini dibantu pemerintah provinsi juga,” katanya.
Secara lebih luas, Pemerintah Provinsi Kaltara sedang menguatkan unsur pemerintah desa dan RT untuk juga mengelola dana pemerintah. Itu dimaksudkan agar pembangunan dan kebutuhan masyarakat bisa dirasakan warga hingga tingkat RT.
Baca juga : Diayun Riam Sungai dan Jalan Kaki 9 Jam demi Asesmen Nasional
Wakil Gubernur Kaltara Yansen Tipa Padan menjelaskan, wilayah yang sudah melaksanakan program itu adalah Kabupaten Malinau. Setiap RT di Malinau mendapat dana dari APBD sebesar Rp 260 juta per tahun. Itu digunakan untuk berbagai program, seperti mitigasi bencana, kesehatan, dan pendidikan.
Hal itu Yansen nilai sebagai langkah yang positif. Ia mengatakan, keberhasilan program itu sudah terlihat dari capaian kesehatan. Misalnya, pemerintah pusat menargetkan pencapaian nasional prevalensi stunting 14 persen pada 2024. Kabupaten Malinau sudah mencapai angka 14 persen pada tahun 2020.

Presiden Joko Widodo, menggunakan sepeda motor kustom, meninjau jalan akses perbatasan Krayan-Malinau di Provinsi Kalimantan Utara, ruas Krayan, Kamis (19/12/2019).
Hal itu akan diadaptasi menjadi kebijakan menyeluruh di Kaltara. Pemprov Kaltara tengah menggodok konsep peraturan daerah tentang penguatan desa dan RT tersebut. Itu diharapkan berdampak positif pada pembangunan lain masyarakat, termasuk pendidikan, di tingkat bawah.
”Strategi pembangunan di tingkat bawah itu sangat potensial mengubah rakyat. Yang kita lakukan untuk keluar dari keterbatasan itu, penguatan di tingkat desa dan RT,” katanya.
Ia juga berkoordinasi dengan pemerintah pusat terkait hal ini. Yansen berharap pemerintah pusat memperbesar akses masyarakat dan pemerintah di daerah. Banyaknya sejumlah kewenangan yang diambil pemerintah pusat membuat pemerintah daerah tak bisa berbuat banyak untuk mengikis keterisolasian dan minimnya infrastruktur di daerah pedalaman.
”Jangan hanya memperbesar akses di atas, tetapi memperbesar juga akses di bawah. Memang kita berbicara pembangunan nasional, tetapi pembangunan nasional itu harus berdampak ke bawah dengan cara pembangunan di daerah,” katanya.