Sertifikat CHSE tidak perlu dipaksakan untuk menjadi syarat guna menjalankan usaha di sektor wisata. Dalam pelaksanaan di lapangan, cukup wisatawan yang memutuskan pilihan wisata mana yang dianggap aman bagi kesehatan.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Pelaku dan pengelola industri pariwisata tidak diwajibkan mengantongi sertifikat CHSE (cleanliness, health, safety and enivironment sustainibility). Memahami kondisi mereka yang terguncang pandemi, sertifikat ini juga tidak mungkin dipaksakan menjadi syarat untuk menjalankan usaha di sektor pariwisata.
”Pada situasi sekarang, beri waktu bagi pelaku industri pariwisata untuk bernapas, dan cukup beri mereka kesempatan untuk meningkatkan kepatuhan dan kedisiplinan pada protokol kesehatan secara bertahap,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Salahuddin Uno saat ditemui seusai menuntaskan rute lari 12K dari lomba lari ultra trail MesaStila100 2021 di MesaStila Resort & Spa di Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Minggu (10/10/2021).
Dia pun meminta agar sosialisasi tentang kebijakan pemerintah terkait CHSE ini terus gencar dilakukan pemerintah daerah sehingga para pelaku industri tidak kemudian salah paham, dan justru menolak CHSE karena menganggapnya sebagai beban.
”Para pelaku industri pariwisata harus diberi pemahaman bahwa sertifikasi CHSE adalah proses yang bisa dilakukan dengan kesadaran dan sukarela,” ujarnya.
Dengan tidak adanya kewajiban bagi pelaku wisata untuk mengantongi serifikat CHSE, pada akhirnya, wisatawan, dengan memakai standar protokol kesehatannya sendiri, akan memutuskan mana tempat yang akan dipilih atau dituju saat melakukan kunjungan wisata.
Saat ini, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sudah mengeluarkan sekitar 4.000 sertifikat CHSE pada pelaku industri pariwisata. Dengan kesadaran sendiri untuk meningkatkan standar layanan sesuai protokol kesehatan, diharapkan tahun ini setidaknya 7.000 industri pariwisata telah mengantongi sertifikat CHSE.
Sandiaga mengatakan, hanya tahun inilah pihaknya memfasilitasi layanan sertifikasi CHSE.
”Tahun depan, para pelaku industri wisata bisa melakukan sertifikasi CHSE secara mandiri sesuai standar SNI,” ujarnya.
Kepala Dinas Pariwisata, Kepemudaan, dan Olahraga Kabupaten Magelang Slamet Achmad Husein mengatakan, saat ini terdata 25 usaha di sektor pariwisata di Kabupaten Magelang yang sudah mengantongi sertifikat CHSE. Adapun sebanyak 25 usaha tersebut terdiri dari 8 hotel, 7 homestay, 4 restoran, dan 5 destinasi wisata. Jumlah tersebut terbilang masih sedikit karena total destinasi wisata di Kabupaten Magelang terdapat 230 obyek.
Slamet mengatakan, pihaknya saat ini berupaya melakukan sosialisasi dan pendampingan agar tiap usaha segera mendaftarkan diri dan melakukan proses sertifikasi CHSE. Kendatipun demikian, upaya menggerakkan usaha pariwisata tersebut, diakuinya, juga tidak mudah dilakukan.
”Sebagian pelaku usaha menganggap sertifikat CHSE sebagai sesuatu hal yang tidak penting, dan sebagian pelaku di antaranya masih harus didampingi karena mereka terbilang gagap teknologi,” ujarnya. Kemampuan untuk menguasai teknologi diperlukan karena upaya untuk mendaftar dan memproses sertifikasi CHSE dilakukan dengan menggunakan aplikasi.
Dalam kunjungannya ke Magelang, Sandiaga juga membahas soal wisata dengan berolahraga seperti MesaStila100. Menurut Sandiaga, bentuk wisata itu cocok diterapkan di masa pandemi karena berada di luar ruangan. Meski demikian, ia mengingatkan agar pelaksanaan kompetisi lari juga tetap dilakukan dengan standar protokol kesehatan.
Sugeng Sugiantoro, General Manager MesaStila Resort & Spa, mengatakan, di tahun ke-10 penyelenggaraannya, lomba lari ultra trail MesaStila100, beradaptasi terhadap situasi pandemi.
Jika biasanya peserta mencapai 1.000 orang, kali ini jumlah peserta dikurangi lebih dari separuh, menjadi 461 orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 37 pelari di antaranya adalah pelari asing yang merupakan ekspatriat yang memang sudah cukup lama menetap di Indonesia.
MesaStila100 dibuka dalam lima kategori, yaitu 12K, 25K, 50K,75K, dan 100K. Untuk kategori 100K dan 75K, start lari dimulai sejak Sabtu (9/10/2021). Sementara lari 12K, 25K, dan 50K dimulai sejak Minggu (10/10/2021) pagi.
Bentuk adaptasi lainnya, menurut Sugeng, dilakukan dengan cara membatasi pelari yang memulai start maksimal hanya 50 orang saja.
”Untuk kategori lari 25K, dengan jumlah peserta 142 orang, start lari pun akhirnya kami bagi menjadi tiga gelombang,” ujarnya.
Sebelum lari, setiap pelari yang sudah melewati batas waktu 2 x 24 jam untuk sampai ke lokasi di MesaStila Resort & Spa wajib terlebih dahulu menjalani tes usap antigen. Layanan tes tersebut dibuka pada Jumat (8/10/2021) dan Sabtu (9/10/2021).