Konflik Lahan Tebu Berulang, Dua Warga Jatitujuh Tewas
Konflik lahan di kebun tebu kembali memakan korban jiwa. Semua pihak harus duduk bersama agar tanah ibu memberi sejahtera, bukan mencabut nyawa.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·3 menit baca
MAJALENGKA, KOMPAS — Konflik lahan tebu di wilayah perbatasan Kabupaten Majalengka dan Indramayu, Jawa Barat, kembali berulang meski beragam upaya penyelesaian pernah ditempuh. Kali ini, dua warga Kecamatan Jatitujuh, Majalengka, tewas dalam kejadian tersebut.
Bentrokan kembali terjadi antara dua kelompok warga berbeda pada Senin (4/10/2021) sekitar pukul 09.15 di lahan tebu wilayah Tukdana, Indramayu. Dalam video yang beredar, massa membawa kayu hingga pedang.
Akibat saling serang itu, dua warga Kecamatan Jatitujuh meninggal. Korban adalah Dede Sutaryan, warga Desa Jatiraga, dan Suhenda, warga Desa Sumber Kulon.
”Korban tiba pukul 10.30 di puskesmas dalam kondisi meninggal. Banyak luka bacokan di kepalanya,” kata Anggi, petugas Puskesmas Jatitujuh.
Korban langsung dibawa ke Rumah Sakit Bhayangkara Indramayu untuk diotopsi. Hingga Senin pukul 19.00, jenazah belum tiba di rumah duka. Sejumlah warga masih berkumpul di rumah duka.
Kepala Kepolisian Resor Indramayu Ajun Komisaris Besar Lukman Syarif mengatakan, bentrokan bermula saat sejumlah orang mengintimidasi petani yang menggarap lahan tebu. ”Ada provokasi dari beberapa orang sehingga terjadi tindak pidana,” katanya.
Hingga Senin malam, sedikitnya 10 orang ditangkap polisi untuk dimintai keterangan. Polisi masih mengejar sejumlah terduga pelaku di sekitar lokasi konflik.
”Kalau tidak ditindak, konfliknya bisa meluas,” ucapnya.
Supar Purnomo (41), petani tebu asal Desa Jatiraga, menyesalkan terjadinya bentrokan tersebut. Apalagi, Dede Sutaryan merupakan Ketua Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Jatiraga yang kerap membantu petani tebu. ”BUMDes itu bapaknya petani tebu,” ucapnya.
Tiga tahun terakhir, lanjutnya, BUMDes menyediakan kebutuhan petani tebu, mulai dari pupuk hingga traktor. BUMDes juga menghubungkan petani dengan PG Rajawali, anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero), dalam pola kemitraan untuk produksi tebu.
Dengan pola kemitraan, petani mendapatkan kepastian hukum untuk menggarap lahan dengan biaya sewa tertentu. Adapun kebutuhan produksi untuk petani diserahkan kepada petani penggarap. PG Rajawali tidak lagi mengelola sepenuhnya lahan hak guna usaha (HGU).
PG Rajawali II mengelola Pabrik Gula Jatitujuh. Berdasarkan sertifikat PG Rajawali II sejak 1976, lahan HGU di Indramayu mencapai 6.200 hektar dan di Kabupaten Majalengka sekitar 5.800 hektar. Pada 2014, masa HGU itu telah diperpanjang hingga 2029 (Kompas.id, 30/7/2019).
Di Desa Jatiraga, lanjut Supar, terdapat sekitar 200 hektar lahan tebu kemitraan dengan jumlah petani lebih dari 90 orang. Masyarakat desa di sekitar PG Jatitujuh, seperti Desa Sumber Kulon, juga menerapkan hal serupa.
Dalam pertemuan berbagai pihak di Markas Komando Distrik Militer 0616/Indramayu, akhir Juli 2019 lalu, pola kemitraan dinilai sebagai solusi atas konflik lahan tebu yang terjadi sejak 2014.
”Pola ini sudah bagus. Petani bisa untung sekitar Rp 20 juta per tahun,” kata Supar.
Ia mencontohkan, sisa hasil usaha atau untung dari panen 2 hektar lahan tebu mencapai Rp 17,6 juta. Jumlah ini belum termasuk hasil giling tebu yang berkisar Rp 4 juta-Rp 5 juta.
”Sebelum sistem kemitraan, saya dapat gaji karena kerja mengurus tebu. Tapi, belum pernah dapat uang sebesar ini. Saya baru bisa beli motor bekas sekarang,” ungkap Supar yang pernah menjadi mandor tebu di PG Jatitujuh. Itu sebabnya, katanya, lahan tebu sangat penting bagi warga.
Apalagi, pabrik gula di Jabar terus berkurang. Setidaknya lima pabrik milik PG Rajawali II di Jabar tutup sejak 1990-an. Sebelumnya, terdapat delapan pabrik gula di Jabar. Jika pola kemitraan berjalan, terdapat potensi 3,5 juta kuintal tebu dari lahan 5.000 hektar.
PG Jatitujuh membutuhkan 7,5 juta kuintal tebu untuk digiling. Namun, lanjutnya, saat ini hanya ada 2,8 juta kuintal tebu. Bahan baku itu berasal dari Majalengka dan Subang.
Karpo B Nursi, Kepala Bagian Legal PT PG Rajawali II, mengatakan, sekitar 4.000 lahan HGU perusahaan masih dikuasai sejumlah lembaga swadaya masyarakat. Lahan itu menjadi sengketa dan memicu konflik.
”Lahan itu terbengkalai dan tidak ditanami apa-apa. Petani mitra kami ingin menggarap itu,” katanya.