Para Napi di Lapas Slawi Menenun Ambisi dari Balik Jeruji
Setahun terakhir, menenun sarung goyor menjadi sarana membunuh waktu sekaligus mengais rezeki bagi narapidana di Lapas Kelas II B Slawi, Tegal, Jateng. Program pemberdayaan itu diharapkan bisa menjadi bekal narapidana.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·6 menit baca
Kaki dan tangan Anda (51) lincah menggerakkan alat tenun bukan mesin (ATBM) di depannya. Sesekali, jemarinya terampil memilin benang yang putus untuk disambung. Menenun sarung goyor jadi sarana mengisi waktu sekaligus berdikari bagi narapidana Lembaga Pemasyarakatan Slawi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, itu.
”Selama saya di dalam (penjara), istri saya yang membiayai kebutuhan keluarga, menyekolahkan anak-anak, terus masih harus mengirim uang untuk kebutuhan saya di sini. Mungkin karena kelelahan bekerja, istri saya sakit, kemudian meninggal April lalu,” kenang Anda diikuti lelehan air mata dari pelupuk matanya, Senin (27/9/2021).
Selama menjalani masa hukuman, Anda masih sering mendapatkan kiriman uang dari istrinya. Kiriman uang itu biasanya dipakai untuk membeli rokok, makanan ringan, hingga peralatan mandi di koperasi lapas. Setelah mendapatkan pemasukan dari menenun, bapak dua anak itu sudah tidak butuh lagi kiriman uang dari istirnya.
Anda dipindahkan ke Lapas Kelas II B Slawi medio 2018. Sebelumnya, narapidana kasus narkoba itu berpindah-pindah dari lapas satu ke yang lain. Lebih kurang dua tahun waktu pertamanya di Lapas Kelas II B Slawi lebih banyak dihabiskan untuk melamun, mondar-mandir di dalam blok tahanan, dan sesekali mengobrol dengan narapidana lain. Kondisi itu diakuinya membuat waktu serasa berjalan sangat lambat.
Situasi berubah ketika pada 2020 ada program pelatihan menenun untuk narapidana. Pelatihan itu dilakukan Kementerian Perindustrian bekerja sama dengan PT Fahaltex, perusahaan sarung goyor berorientasi ekspor. Lapas Kelas II B Slawi juga mendapatkan bantuan 10 ATMB yang bisa digunakan para narapidana untuk berlatih.
Sebulan setelah mengikuti pelatihan, para narapidana mulai bisa menenun. Mereka kemudian rutin mendapat suplai benang dari PT Fahaltex. Sarung-sarung hasil tenunan para narapidana yang dinilai layak akan dibeli untuk selanjutnya diekspor.
Upah yang didapatkan setiap narapidana dari kegiatan menenun sarung goyor Rp 50.000 per lembar. Sebanyak Rp 20.000 masuk kas koperasi dan Rp 30.000 masuk kantong pribadi narapidana. ”Sejak saat itu, hidup saya di lapas berubah. Saya jadi lebih produktif. Tidak lagi mengandalkan kiriman dari keluarga,” kata Anda.
Tidak hanya Anda, narapidana lain, Yudha (46), juga mendapatkan keuntungan serupa. Dari menenun, ia bisa mendapatkan uang Rp 600.000 per bulan. Uang itu dipakai untuk belanja kebutuhan di lapas dan sebagian lagi ditabung.
”Sebelumnya, (saya) rutin mendapatkan kiriman Rp 300.000 dari istri atau anak. Setelah kerja (menenun sarung), saya sudah tidak pernah lagi mendapat kiriman,"” ucap narapidana asal Kota Surakarta tersebut.
Yudha dan Anda bertekad terus menekuni kegiatan menenun, bahkan sampai keduanya selesai menjalani hukuman. Keterampilan itu diharapkan bisa menjadi bekal mereka terjun kembali ke tengah-tengah masyarakat.
Yudha pun sudah punya rencana melamar kerja di salah satu pabrik sarung goyor di Kabupaten Sukoharjo. Berbekal kemampuannya membuat sarung-sarung kualitas ekspor, ia yakin bakal diterima di perusahaan tersebut.
”Sebenarnya, saya sudah ditawari oleh pemilik PT Fahaltex untuk bekerja di tempatnya setelah bebas nanti. Tapi, saya penginnya kerja di perusahaan yang di Sukoharjo itu supaya lebih dekat dengan keluarga,” katanya.
Adapun Anda berharap tetap bisa menyuplai sarung pada PT Fahaltex saat sudah bebas dari masa hukumannya. Setelah bebas, dia berencana mengajukan permohonan peminjaman ATBM kepada PT Fahaltex. Dengan alat pinjaman itu, ia akan secara rutin menyuplai sarung goyor.
Dia juga berencana mengajari keluarga dan tetangganya yang belum memiliki pekerjaan. Dengan begitu, lebih banyak lagi orang yang bisa mendapat pekerjaan dan PT Fahaltex bisa mendapat lebih banyak suplai sarung goyor. ”Saya kepenginnya tidak cuma saya yang bisa, tapi orang-orang lain juga. Istilahnya memberdayakan diri dan orang lain,” ujar Anda.
Standar
Pemilik PT Fahaltex, Fahmi Lukman Alkatiri, menuturkan, perusahaannya tidak asal menerima suplai sarung dari narapidana. Mereka tetap menentukan standar tertentu agar sarung yang disuplai para narapidana bisa dibayar.
”Kami punya petugas yang akan menguji kualitas sarung sebelum diekspor. Selama ini, sarung-sarung dari Lapas Kelas II B Slawi selalu lolos uji kualitas. Mungkin karena sejak awal kami sudah memberi tahu para warga binaan bahwa sarung yang tidak sesuai dengan standar tidak akan kami bayar, jadi mereka disiplin,” ucap Fahmi.
Selama ini, Fahmi mengirim sarung ke sejumlah negara di Benua Afrika dan negara-negara di kawasan Timur Tengah. Fahmi mengaku senang bisa turut memberdayakan para narapidana. Ia berharap semakin banyak pengusaha yang juga tergerak memberdayakan para narapidana.
”Saya turun ke lapas karena di lapas banyak para pekerja produktif, tapi selama ini mereka tertidur. Tugas kami sebagai pelaku usaha adalah bersinergi dengan pemerintah untuk membangunkan mereka dan memberi mereka kesempatan berkarya,” katanya.
Selama ini, Lapas Kelas II B Slawi memiliki 10 ATBM yang digunakan sekitar 15 orang secara bergantian untuk membuat sarung goyor. Dengan jumlah alat tersebut, rata-rata narapidana bisa menghasilkan 15-20 lembar sarung per bulan.
Aktivitas napi di Lapas Slawi itu pun mendapat perhatian pihak lain. Pada Senin (27/9/2021), Lapas Kelas II B Slawi mendapat bantuan 10 ATBM dari Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tegal. Adapun nilai bantuan setiap alat sebesar Rp 4 juta.
Tak hanya bantuan tambahan alat, Bank Indonesia juga mengadakan pelatihan terhadap 10 narapidana lain yang nantinya akan ikut memproduksi sarung goyor. Dengan tambahan alat, jumlah suplai sarung goyor dari Lapas Kelas II B Slawi diharapkan bisa mencapai 300 lembar per bulan.
”Pemberdayaan warga binaan lapas yang merupakan kelompok subsisten terbukti telah menambah devisa negara. Hal ini sejalan dengan visi Bank Indonesia untuk mendorong ekspor dan mengatasi defisit transaksi berjalan. Narapidana pun bisa menjadi pahlawan devisa,” ujar Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Tegal Dodi Nugraha.
Program lain
Selain diberdayakan melalui produksi sarung goyor, para narapidana Lapas Kelas II B Slawi juga diberi kesempatan untuk berdaya melalui sejumlah kegiatan, seperti budidaya jangkrik, tanaman jahe merah, ulat magot, dan labu madu. Kebanyakan yang ikut program tersebut adalah narapidana yang akan bebas.
”Saat ini, kami sudah mulai mengarah ke lapas industri. Kami bisa mengikuti ritme industri. Misalnya, saat ada peningkatan permintaan, kami bisa lembur di malam hari,” tutur Kepala Lapas Kelas II B Slawi Mardi Santoso.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jateng Muhammad Arif Sambodo menuturkan, para narapidana yang telah mendapatkan pelatihan keterampilan berpotensi menjadi wirausaha baru. Untuk itu, pemantauan dan pendampingan dari berbagai pihak diperlukan agar setelah keluar dari lapas, para narapidana bisa menjadi wirausaha baru.
”Setelah keluar dari lapas, tidak mungkin mereka langsung bisa begitu saja jadi wirausaha, maka perlu keterlibatan pemerintah kabupaten/kota, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan perbankan. Pemerintah bisa masuk dari segi perizinan usaha, pemasaran, dan pendampingan. Lalu, perbankan bisa membantu dari aspek permodalan dan restrukturasi utang jika memang ada utang,” ujarnya.
Menurut Arif, setiap tahun, ada program pemunculan wirausaha baru dari pemerintah. Pihak Lapas Kelas II B Slawi diharapkan bisa mencatatkan nama-nama narapidana yang telah dilatih beserta keterampilan yang mereka miliki. Dengan demikian, saat ada program pemunculan wirausaha baru, pemerintah kabupaten/kota bisa langsung menjaring orang-orang tersebut berdasarkan data yang dimiliki lapas.
Para narapidana berhak diberi kesempatan berdaya setelah selesai menjalani hukuman. Dengan berdikari, potensi kembali terjerumus ke lingkaran kriminal setidaknya bisa dikurangi.