Mendorong Perempuan Berdaya demi Penghidupan Keluarga
Pandemi Covid-19 memukul perekonomian warga, terutama kalangan bawah. Kaum perempuan dan ibu penghuni rusunawa di Kota Tegal, Jateng, tak mau menyerah. Mereka meningkatkan kualitas diri guna mencari pendapatan tambahan.
Oleh
KRISTI UTAMI
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 memukul perekonomian hampir seluruh warga, terlebih kalangan menengah ke bawah yang menggantungkan upah harian. Untuk menambah pendapatan, kualitas diri ditingkatkan dengan berbagai keterampilan. Tujuannya agar dapur tetap ngebul meski di masa pagebluk.
Sebanyak 79 perempuan meriung di tengah aula sebuah rumah susun sewa (rusunawa) di lingkar utara Kota Tegal, Jawa Tengah, Minggu (23/8/2020). Suara klakson truk-truk kontainer yang lalu lalang di jalur pantura itu tak memecah konsentrasi para ibu. Mereka tengah berkonsentasi belajar cara merangkai sapu sorgum dan membuat sarung tenun goyor.
Para perempuan itu penasaran, bagaimana cara menggerakkan alat tenun bukan mesin hingga menghasilkan selembar kain sarung yang halus. Sementara sebagian lainnya penasaran, bagaimana cara membuat tangkai dan batang sorgum yang tak laku di pasaran itu menjadi barang bernilai jual tinggi di Jepang.
Neni (32), salah seorang peserta dalam pelatihan tersebut, mengatakan, dirinya sudah tidak sabar mengikuti pelatihan pembuatan sapu dari sorgum. Neni diberi tahu ihwal pelatihan itu sehari sebelumnya oleh penghuni rusunawa lainnya.
”Pas dikasih tahu mau ada pelatihan membuat sapu dari sorgum, saya langsung tertarik. Tidak hanya diberi pelatihan. Katanya, kami akan dipekerjakan setelah selesai pelatihan. Wah, kebeneran,” ujar Neni.
Para penghuni rusunawa itu kebanyakan warga kelas bawah yang mengandalkan upah harian. Pekerjaan mereka seperti penyapu pasar hingga kuli bangunan. Dalam situasi pandemi Covid-19, mereka sangat terpukul. Pendapatan mereka turun, saat kebutuhan naik.
Neni, misalnya, sedang butuh lebih banyak uang. Lima bulan terakhir, perekonomian keluarganya morat-marit. Suami Neni, yang biasanya bekerja sebagai kuli bangunan, terpaksa menganggur karena sejumlah proyek pembangunan dihentikan. Padahal, kebutuhan di keluarga tersebut bertambah di masa pandemi.
Pada kondisi normal, uang Rp 1,9 juta yang dihasilkan suaminya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, sejak pandemi, kebutuhan mereka bertambah menjadi sekitar Rp 2 juta.
Neni mengaku, pada kondisi normal, uang Rp 1,9 juta yang dihasilkan suaminya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Namun, sejak pandemi, kebutuhan keluarga itu bertambah menjadi sekitar Rp 2 juta.
Penambahan biaya pengeluaran di keluarga Neni terjadi karena mereka harus membeli kuota internet. Sejak kegiatan belajar-mengajar dilakukan secara daring, kebutuhan kuota internet di keluarganya naik.
Tak hanya itu, mereka juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli perlengkapan hasta karya. Tugas membuat hasta karya tiba-tiba bermunculan setelah pandemi melanda sebagai pengganti tugas di rumah.
Kondisi yang berat semacam ini sangat memukul keluarga Neni. Awalnya, dia memiliki dua anak yang bersekolah. Anak pertamanya kelas I SD dan anak keduanya masih TK.
Namun, akhir Juli lalu, Neni memutuskan berhenti menyekolahkan anaknya yang masih TK. Selain masalah biaya, ia juga kewalahan mendampingi dua anak sekaligus dalam kegiatan belajar-mengajar daring.
”Saya berharap bisa segera mahir membuat sapu sorgum itu supaya saya bisa cepat dipekerjakan dan menghasilkan uang. Tidak enak rasanya kalau harus terus-terusan berutang ke saudara untuk menyambung hidup,” ucap Neni.
Tak hanya Neni, penghuni rusunawa lain, Itin (41), juga bersemangat mengikuti pelatihan pembuatan sarung goyor. Beberapa kali Itin mengusap alat tenun bukan mesin di depannya itu sambil tersenyum. Matanya tidak bisa lepas dari mesin itu, terutama saat perajin sarung goyor menjelaskan cara kerja alat tenun tersebut. Boleh jadi di benaknya, ia melihat peluang untuk bertahan di situasi berat akibat pandemi. Sebab, perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai penyapu jalan itu sudah tidak sabar ingin mengisi siang harinya yang selama ini longgar. Tak hanya itu, Itin juga ingin mendapatkan uang tambahan.
”Biasanya, saya bekerja pada pukul 23.00-01.00, kalau siang saya menganggur. Daripada menganggur, lebih baik saya ikut (pelatihan),” kata Itin.
Itin menceritakan, dirinya sedang membutuhkan uang tambahan untuk membelikan suaminya sepeda motor. Sepada motor itu diharapkan bisa mewujudkan keinginan suami Itin beralih pekerjaan dari tukang becak menjadi tukang ojek.
”Sudah enam bulan belakangan, penumpang becak suami saya sepi. Dia sering pulang ke rumah tanpa membawa uang sepeser pun. Siapa tahu, kalau ngojek bisa dapat lebih banyak uang,” tuturnya.
Angin segar
Dalam kondisi yang serba tak pasti seperti ini, pelatihan pembuatan sapu sorgum dan sarung goyor menjadi angin segar bagi Neni, Itin, dan para perempuan penghuni rusunawa di Kota Tegal. Pelatihan yang, menurut rencana, akan digelar selama sebulan penuh itu terselenggara atas kerja sama Kepolisian Resor Tegal Kota, Komando Distrik Militer Tegal, dan Pemerintah Kota Tegal.
Dalam pelatihan itu, mereka menggandeng dua perusahaan berorientasi ekspor, yakni produsen sapu sorgum, PT Kembar Bina Usaha, dan produsen sarung goyor, Fahaltex.
Pelatihan yang, menurut rencana, akan digelar selama sebulan penuh itu terselenggara atas kerja sama Kepolisian Resor Tegal Kota, Komando Distrik Militer Tegal, dan Pemerintah Kota Tegal.
Direktur PT Kembar Bina Usaha Ismi Juliani mengatakan, dibutuhkan waktu berkisar 2-4 pekan bagi seseorang untuk mahir membuat sapu sorgum. Untuk itu, menurut dia, waktu pelatihan yang ditentukan sudah sesuai.
”Kami juga perlu waktu untuk menilai bisa atau tidak seseorang untuk kami pekerjakan. Membuat sapu sorgum ini butuh ketelitian dan kedisiplinan tinggi. Kalau tidak teliti, barangnya bisa tidak sesuai keinginan pembeli dan risikonya tidak dibayar,” kata Ismi.
Ismi menambahkan, saat ini, dirinya mempekerjakan sekitar 80 perajin sapu sorgum dari Kota Tegal dan Kabupaten Tegal. Para perajin sapu yang sebagian besar ibu rumah tangga itu bisa mendapatkan upah sekitar Rp 10.000 per satu sapu. Adapun mereka bisa menghasilkan 15-20 sapu dalam sehari.
”Kapasitas produksi kami sekitar 1.500 sapu dalam sehari. Padahal, permintaan dari Jepang bisa mencapai 5.000 sapu per hari,” ujar Ismi.
Dengan pelatihan ini, Ismi berharap industrinya bisa mendapatkan tambahan perajin sehingga kapasitas produksi bisa terus digenjot. Menurut dia, perusahaannya bisa mengekspor sekitar 250.000 sapu sorgum dalam setahun. Nilai ekspornya berkisar Rp 4,5 miliar-Rp 4,7 miliar per tahun.
Sementara itu, pemimpin Fahaltex, Fahmi Lukman Alkatiri, optimistis para perempuan warga rusunawa bisa segera mahir memproduksi sarung goyor. Sebelumnya, Fahmi pernah menggelar pelatihan serupa kepada 30 warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Slawi, Kabupaten Tegal. Lima bulan setelah pelatihan, mereka bisa menghasilkan dua kodi atau 40 lembar sarung goyor setiap minggu.
”Saat ini, pasar sarung goyor sangat terbuka. Dari total produksi 500 lembar sarung per bulan, 80 persennya dipasarkan di Benua Afrika dan negara-negara di Timur Tengah,” kata Fahmi.
Kepala Kepolisian Resor Tegal Kota Ajun Komisaris Besar Rita Wulandari Wibowo meyakini, perempuan memiliki peran penting untuk membantu mendongkrak perekonomian keluarga. Untuk itu, pihaknya sangat mendukung upaya pemberdayaan perempuan.
”Salah satu caranya dengan memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada mereka. Tak hanya itu, kami juga langsung mempertemukan mereka dengan perusahaan yang bisa mempekerjakan mereka,” ujar Rita.
Dalam situasi serba sulit seperti saat ini, manusia memang dituntut ulet dan liat. Segala upaya baik perlu dicoba hingga jendela-jendela nafkah terbuka demi bertahan di masa pandemi.