Menjaga Warisan Tak Ternilai dari Ancaman Deforestasi di Papua
Burung cenderawasih dengan keindahannya adalah salah satu warisan tak ternilai di bumi Papua. Kekayaan hayati yang masih banyak tersimpan di jantung hutan Papua harus dijaga dari segala ancaman, terutama deforestasi.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·6 menit baca
Wilayah hutan Papua kaya keanekaragaman hayati yang hingga kini belum terdata lengkap. Burung cenderawasih menjadi salah satu primadonanya. Bahkan, diperkirakan masih ada jenis satwa cantik nan langka ini yang belum terungkap di jantung hutan papua. Kekayaan alam ini harus dijaga sebagai warisan dunia dari ancaman deforestasi melalui pembangunan berkelanjutan.
Salah satu model pembangunan berkelanjutan adalah melalui ekowisata berbasis masyarakat. Di Pegunungan Arfak, Papua Barat, sejumlah masyarakat melakukan konservasi burung cenderawasih yang membawa dampak baik dan manfaat untuk masyarakat. Mereka yang awalnya berburu kini menjadikan cenderawasih sebagai kebanggaan sekaligus kehidupan.
Salah seorang penggagasnya adalah Zeth Wonggor (47). Sejak kecil, Zeth telah hidup dan mencari kehidupan di hutan. Berburu burung, kus-kus, dan beragam hewan endemik lainnya ia lakukan untuk bertahan hidup di wilayah Pegunungan Arfak. Ia pernah bersekolah, tetapi tidak selesai dan lebih banyak menghabiskan waktu di hutan.
”Dulu saya tinggal di hutan, cari burung untuk makan. Saya tahu suaranya, tempat bermainnya, sarangnya, waktu mereka keluar, sampai bulan mereka kawin. Itu semua saya tahu dari berburu,” kata Zeth dalam diskusi Mari Cerita Papua Maluku bertema ”Defending Paradise”.
Diskusi virtual itu diselenggarakan oleh Econusa, The Cornell Lab of Ornithology, dan Aliansi Jurnalis Indonesia, Selasa (28/9/2021). Selain Zeth, juga hadir Ornitologis dari The Cornell Lab of Ornithology Edwin Scholes, fotografer alam liar Timothy Laman, dan Kepala Balitbangda Papua Barat Charlie Heatubun.
Akan tetapi, sambung Zeth, pemahamannya mulai berubah di awal 1990-an saat ia memandu turis asing yang datang memotret cenderawasih. Sebagai pemandu, ia mendapat pemasukan yang bisa digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Ia juga ikut memandu naturalis asal Inggris, David Attenborough, yang datang ke Arfak.
Perlahan, ia tidak lagi memburu dan memakan burung. Pemahamannya terkait perilaku dan habitat burung ia salurkan sebagai pemandu wisatawan. Masyarakat desa juga mulai ikut terlibat sehingga menjadi gerakan konservasi bersama.
”Jadi, jaga hutan di Arfak itu bukan dari yayasan, pemerintah, tetapi dari mengantar tamu untuk cari uang. Saya jaga hutan, jaga burung, dan belum tahu yang namanya konservasi itu apa,” tambahnya.
Orang tidak bisa lihat uang di hutan, tetapi cenderawasih bisa bikin orang pegang uang dengan membawa tamu masuk ke hutan.
Bagi masyarakat desa, tutur Zeth, menjaga cenderawasih menjadi sangat penting. Masyarakat bangga terhadap burung dan lingkungannya karena merasakan manfaat langsung dengan menjaga hutan. ”Orang tidak bisa lihat uang di hutan, tetapi cenderawasih bisa bikin orang pegang uang dengan membawa tamu masuk ke hutan,” tutur Zeth.
Edwin Scholes, yang juga pernah bekerja sama dengan Zeth, menuturkan, ia dan Timothy Laman menggagas proyek Birds of Paradise agar bisa mendokumentasikan banyak burung ini. Selama 2004-2012, dengan bantuan masyarakat, tim berhasil memotret 39 jenis cenderawasih di Papua, Maluku, Papua Niugini, hingga utara Australia.
Saat ini, Scholes melanjutkan, jumlah cenderawasih yang terdata lebih dari 40 jenis. Salah satu yang terakhir ditemukan adalah cenderawasih vogelkop yang terkenal dengan bulu dan tarian yang indah. Vogelkop diambil dari nama Semenanjung Kepala Burung (Vogelkop), Papua Barat, tempat burung ini ditemukan.
”Sebanyak 28 jenis itu berada di Papua dan Maluku. Sembilan di antaranya endemik dan tidak ditemukan di tempat lain. Jadi, betapa kayanya wilayah ini. Dengan terus ditemukannya jenis baru burung ini, bisa saja masih ada jenis yang lain yang belum pernah terlihat di suatu tempat di Papua atau Maluku,” tutur Scholes.
Saat awal melakukan riset dan dokumentasi cenderawasih, Scholes merasa masih memiliki harapan besar seiring hutan yang masih luas di Papua. Akan tetapi, hanya dalam beberapa waktu, hutan di Papua semakin terbuka. Jalan yang membelah wilayah ini memang terbuka untuk peradaban, tetapi juga membuka banyak hal lainnya, mulai dari perburuan, pengambilan kayu secara ilegal, hingga mempermudah perusahaan untuk masuk.
Padahal, tutur Scholes, cenderawasih hidup di lembah dan gunung di daerah yang dingin dan elevasi tinggi dengan ekosistem yang unik. Hewan ini bisa terbang tinggi, tetapi sangat jarang terbang ke luar teritori mereka dan hanya melompat dari pohon ke pohon.
Mereka di habitat sendiri, kecuali orang datang untuk mengokupasi lahan atau melakukan penangkapan. Oleh karena itu, menjaga hutan dengan biodiversitas tinggi sangat penting bagi keberlangsungan hidup cenderawasih.
Timothy Laman menyampaikan, dengan ekowisata, masyarakat bisa terlibat dan mendapat manfaat yang luas dalam merawat dan menjaga alam. Masyarakat lokal bisa menjadi pemandu, menyediakan penginapan, dan lainnya. Ini diharapkan menjadi praktik baik untuk pembangunan berkelanjutan.
Sesuatu yang ia pelajari selama bertahun-tahun bahwa burung cenderawasih ini menjadi simbol di Papua. Hutan di Papua dan Maluku tidak hanya penting untuk cenderawasih, tetapi juga untuk manusia, kekayaan hayati, hingga budaya. ”Mudah-mudahan kita menemukan cara untuk pembangunan yang berkelanjutan dan menjaga hutan hujan yang tersisa,” tuturnya.
Temuan ini menjadi hal yang begitu menggembirakan meski masih begitu banyak daerah yang masih misterius dan belum terjamah.
Kepala Balitbangda Papua Barat Charlie Heatubun menjabarkan, Papua adalah surga kecil di bumi yang dilengkapi dengan burung surga. Akan tetapi, Provinsi Papua dan Papua Barat selalu berada di urutan paling bawah terkait indeks pembangunan manusia. Ini menjadi tantangan semua pihak untuk melakukan akselerasi ekonomi, pembangunan, dan tetap mengedepankan provinsi konservasi dan pembangunan berkelanjutan.
Padahal, potensi wilayah ini masih sangat kaya akan biodiversitas selain cenderawasih. Riset pada 2020, Pulau Papua (termasuk wilayah Papua Niugini) merupakan pulau terkaya di dunia dari sisi tumbuhan berpembuluh dengan 13.402 jenis. Sebanyak 68 persen di antaranya endemik.
Temuan ini, kata Charlie, menjadi hal yang begitu menggembirakan meski masih begitu banyak daerah yang masih misterius dan belum terjamah. Hal ini menjadi tantangan pengetahuan sekaligus tantangan menjaga warisan tersebut.
Di sisi lain, keanekaragaman yang begitu kaya ini diperhadapkan pada kondisi deforestasi yang terus terjadi. Peta perizinan kelapa sawit dan perusahaan kayu pada 2013 menunjukkan, sebagian besar tanah Papua telah masuk dalam izin perusahaan. Sebagian kecil daerah yang masih kosong hanya karena wilayah tersebut merupakan pegunungan yang sulit untuk dijadikan lokasi tanam.
Ancaman lain terjadi karena terus hilangnya tutupan hutan, mulai dari pembangunan jalan Trans-Papua, perkebunan kelapa sawit, lumbung pangan, hingga pertambangan. Kondisi ini mengorbankan hutan dan berimbas semakin besarnya laju kerusakan hutan.
Oleh sebab itu, tambah Charlie. pembangunan bijaksana harus dilakukan. Khusus di Papua Barat, upaya pembangunan berkelanjutan dilakukan secara konsisten sejak beberapa tahun lalu. Komitmen tersebut terus dilakukan dengan Deklarasi Manokwari yang menjadi panduan saat ini, tidak hanya di Papua Barat, tetapi juga di Papua.
Pemerintah Papua Barat juga membangun museum sejarah alam yang akan menjadi pusat pendidikan dan penelitian. Selama ini, jika ingin belajar burung cenderawasih, orang harus keluar negeri untuk melihat spesimen yang disimpan. Hal ini tentu ironis di mana Papua menjadi tempat lahir dan tinggal burung surgawi ini.
”Kami mengupayakan minimal 70 persen tutupan hutan harus dilindungi untuk anak-cucu. Ini juga salah satu cara untuk menjaga agar kelak burung cenderawasih tidak hanya dilihat gambarnya dan didengar ceritanya jika di Papua dulu pernah ada burung indah. Upaya ini juga untuk menjaga warisan hayati hingga budaya untuk Papua, Indonesia, dan dunia,” kata Charlie.