Kisah Korona Mewarnai Karya Batik Magelang
Perkembangan tentang penularan Covid-19 memang banyak memberi cerita sedih. Namun, sejumlah perajin justru memanfaatkan menjadi semangat positif untuk semakin semangat berkarya dan menciptakan motif-motif baru.
Cerita tentang virus korona jenis baru pemicu Covid-19 saat ini telah menjadi bagian hidup dari kisah hidup setiap manusia di masa kini. Ragam dampak pun dirasakan. Bagi kalangan perajin, virus ini justru menjadi pencetus ide kreasi baru dan bagi sebagian lainnya, remuk redam cerita di masa pandemi menjadi pendorong semangat untuk terus maju.
Tidak ingin ketinggalan dengan membiarkan cerita tentang virus korona jenis baru berhenti di pemberitaan semata, Ngumriyatul Khasanah (20) mengguratkan ”rekam jejak” virus di atas kain. Memakai canting, pewarna, dan malam, dia melakukannya dengan membuat motif batik yang diberinya nama motif Covid-19, Mei 2020.
”Saya ingin ikut mencatat sejarah dunia,” ujar warga Desa Danurejo, Kecamatan Mertoyudan, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ini. Motif Covid-19 didapatkannya dari bermacam literatur dan informasi di internet.
Saya ingin ikut mencatat sejarah dunia.
Maka, cerita panjang ”sejarah” tersebut disampaikannya melalui beragam gambar dan simbol yang membentang di atas kain sepanjang 2,5 meter.
Selain virus korona yang digambarkannya berbentuk bulat dengan tonjolan-tonjolan seperti paku dan berwarna kemerahan, cerita tentang Covid-19 juga diungkapkannya lewat gambar kelelawar dan menara, yang merupakan simbol dari yellow crane tower kota Wuhan di China. Baik kelelawar maupun yellow crane tower adalah bagian yang menceritakan asal muasal virus ini dari Wuhan, yang ditularkan melalui perantaraan kelelawar.
Kasus Covid-19 yang merajalela menyebar ke seluruh dunia digambarkan Ngumriyatul lewat gambar bola dunia yang dikelilingi oleh virus.
Penularan virus digambarkannya dengan pohon-pohon yang kering tanpa daun serta dahan-dahan yang patah.
Tidak hanya menggambarkan virus dan dampak penularannya, dalam karya batik itu, Ngumriyatul juga mengungkapkan harapan. Dalam kain tersebut, dia menggambarkan angka tujuh dalam simbol kumpulan titik berjumlah tujuh titik. Tujuh dalam bahasa Jawa disebut pitu, yang memiliki makna filosofis pitulungan atau pertolongan.
Baca juga : ”Nglarisi Jajanan”, Ikhtiar Menyambung Napas Pedagang Kecil
Untuk lebih menguatkan kesan batik, Ngumriyatul berkeinginan menambahkan motif batik tertentu yang sesuai dengan tema Covid-19. Ketika itulah, kemudian dia mendapatkan ide untuk menambahkan motif batik tambal. Motif yang terlihat seperti sekumpulan kain berbeda-beda corak yang diletakkan bersilang seperti menambal sesuatu adalah motif yang bermakna filosofis menambal atau memperbaiki hal-hal yang rusak. Motif tersebut kemudian digambarkannya di badan yellow crane tower dengan harapan semua yang tertular virus tersebut bisa disembuhkan.
Penciptaan motif
Penciptaan motif tersebut dimulai pada Januari 2020. Ketika itu, Numriyatul yang berstatus mahasiswa jurusan Batik dan Fashion program D-3 Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mendapatkan tugas membuat motif batik kontemporer yang sesuai dengan isu terkini. Saat banyak teman-temannya kemudian memilih isu kebakaran hebat di Australia sebagai sumber inspirasi motif, Ngumriyatul lebih tertarik memilih tema Covid-19 yang ketika itu mulai dibicarakan menyebar, menular ke banyak orang di China dan sejumlah negara.
Yakin dengan tema tersebut, Ngumriyatul kemudian mulai mencari-cari literatur, informasi tentang virus tersebut. Memutuskan untuk bercerita tentang sejarah penularan virus, motif Covid-19 itu akhirnya disetujui oleh dosen pembimbingnya pada Februari 2020.
Setelah itu, dia terus mencari informasi untuk menambah keunikan motif yang akan dibuatnya. Karena saat itu penularan virus belum ditemukan dan belum terjadi di Indonesia, dia memilih menggambar bola dunia untuk sekadar menggambarkan kecemasan dunia menghadapi Covid-19.
Bagi Ngumriyatul yang sudah bisa membatik sejak SD, membatik membuat motif Covid-19 ini jauh lebih repot dan lebih membutuhkan proses lebih panjang dibandingkan dengan motif klasik ataupun motif lain. Agar lapisan warna tidak menumpuk dan warna setiap komponen yang ada bisa terlihat menonjol, dia harus tujuh kali melakukan proses melorot, berbeda dengan motif lain yang hanya membutuhkan dua hingga tiga kali melorot. Melorot adalah proses menghilangkan atau melepaskan lilin pada kain batik.
Karya batik itu pun selesai dibuatnya Mei tahun lalu. Sempat ditawar untuk dibeli oleh salah satu dosennya, Ngumriyatul menolak dengan alasan karya pertama itu akan disimpan menjadi koleksi pribadinya sendiri. Saat itu, dia tidak percaya diri dan khawatir jika kain itu berpindah tangan, motif yang dibuat justru akan menimbulkan kontroversi pendapat di masyarakat.
Kain batik tersebut akhirnya cuma disimpan.
”Selama sekitar setahun, kain batik itu hanya saya pandang-pandangi,” ujarnya.
Selama setahun itu, dia tergoda menunggahnya di media sosial. Karena demikian takut mendapatkan komentar tidak enak dan dianggap menyepelekan Covid-19 yang menjadi musibah dunia, unggahan itu berkali-kali dikunci dan dibuka. Namun, dia berangsur lega karena setelah dibuka, unggahan itu tidak memancing komentar macam-macam.
Juli 2021, setelah memperkenalkan karyanya ke Dinas Perdagangan, Koperasi, dan UMKM Kabupaten Magelang, keesokan harinya dia langsung diajak bergabung di sebuah pameran di Kecamatan Candimulyo.
Karena mendadak, Ngumriyatul hanya membawa enam karya batik, termasuk batik Covid-19. Tanpa persiapan, dia mengaku hanya asal memberi harga pada batik motif Covid-19 dengan harga Rp 2 juta.
”Dengan harga sekian (Rp 2 juta) dan bermotif virus semacam itu, semula saya pesimistis dan berpikir batik tersebut tidak akan laku,” ujarnya.
Namun, dugaannya meleset. Empat kain batik bermotif berbeda karyanya, termasuk motif Covid-19, laku terjual tanpa ada penawaran harga lebih lanjut dari pembelinya. Motif tersebut membuatnya dikenal dan akhirnya menyebabkan dirinya diundang kembali mengikuti pameran di sebuah mal di Magelang, awal September lalu.
Tanpa disangka, motif Covid-19 ini disukai dan kini dia sedang membuat permintaan untuk membuat ulang motif serupa dari pembeli yang berbeda. Namun, karena ingin membuatnya ekslusif, dia memastikan bahwa yang dibuatnya saat ini akan tetap memiliki sejumlah perbedaan dari karyanya terdahulu.
Baca juga : Transformasi Digital Geliatkan UMKM di Tengah Pandemi
Ngumriyatul baru resmi mengurus serta mendapatkan izin untuk menjalankan usaha batik pada Juli 2021. Motif Covid-19 yang semula sempat diragukannya akan disukai kini diakuinya justru memantik semangatnya untuk menekuni usaha batik.
”Situasi pandemi dan segala cerita tentang virus korona justru memberikan semangat bagi saya untuk terus berkarya dan menjalankan usaha batik,” ujarnya.
Bagi Ngumriyatul, cerita korona ini belum selesai. Dia berencana membuat setidaknya dua motif lagi, yang bercerita tentang suasana sedih kematian akibat korona serta tentang gencarnya upaya vaksinasi.
Menyertai perjalanan batik
Di saat Ngumriyatul menorehkan kisah virus korona jenis baru di kain batik, Kelompok Batik Borobudur di Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, mendapatkan ”cipratan” kisah terkait virus tersebut dalam perjalanan kegiatan membatik mereka.
Sempat tergoncang oleh minimnya pemasukan selama pandemi, kelompok batik dampingan UNESCO yang terbentuk pada 2015 ini benar-benar tumbang karena sembilan anggotanya terinfeksi Covid-19 pada Juli hingga Agustus 2021.
Siti Rahayu (49), salah satu anggota, mengatakan, pengalaman terinfeksi Covid-19 bersama keluarga memang menorehkan cerita tak terlupakan. Selain tidak keluar rumah, ketika itulah dia membatasi aktivitasnya di dalam rumah dengan tidak melakukan aktivitas membatik dan menahan diri untuk tidak menyentuh hingga berdekatan dengan showroom tempat karya batik dari para anggota Kelompok Batik Borobudur, dipajang.
”Saya khawatir virus dari saya sampai di kain atau baju, menempel lama, dan berisiko menularkan pada pelanggan yang datang untuk sekadar melihat atau membeli,” ujarnya.
Bagaimanapun, saya tetap ingin menekuni batik.
Setelah dua minggu menderita sakit, Siti akhirnya dinyatakan negatif Covid-19. Setelah menjalani masa pemulihan, dia baru memutuskan kembali membatik Agustus 2021. Ketika itulah, dia menghubungi rekan seniman yang pernah dikenalnya pada 2020 dan meminta agar seniman tersebut membuatkan desain gambar untuk relief Kinara Kinari dan Mandala Borobudur agar nantinya bisa dijadikan sebagai motif batik. Dua gambar tersebut direncanakan diluncurkan sebagai motif batik baru dari Kelompok Batik Borobudur.
Dua motif baru tersebut, menurut dia, sebenarnya sudah terpikirkan sejak lama. Namun, kali ini, pengalaman sakit dan absen membatik selama sekitar dua bulan justru membuat dia dan rekan-rekannya ingin segera mewujudkan ide motif baru ini sesegera mungkin.
”Rasanya kami ingin menebus waktu kami yang terbuang saat menderita Covid-19,” ujarnya.
Selama Agustus, satu demi satu anggota Kelompok Batik Borobudur sembuh dan kembali membatik. Namun, tentu saja, ritme kerja tetap tidak bisa lepas dari perkembangan kasus Covid-19. Karena kebanyakan dari mereka adalah kader puskesmas dan kader PKK, aktivitas membatik kini dilakukan di sela-sela sosialisasi dan kegiatan vaksinasi. Suratmi (42), anggota Kelompok Batik Borobudur lainnya, mengatakan, hingga saat ini dirinya tidak bisa lepas dari masalah Covid-19. Kendati dia dan suami sudah dinyatakan sembuh pada Agustus lalu, hingga kini dia masih harus berkonsentrasi merawat suami karena Covid-19 yang pernah diderita menimbulkan gangguan pada paru-parunya.
Namun, situasi apa pun tidak bisa melepaskan dirinya dari batik. Dia masih sesekali menyempatkan membatik, membuat karya sesuai kebutuhan kelompok, dan merancang acara untuk Hari Batik Nasional, Oktober mendatang.
”Bagaimanapun, saya tetap ingin menekuni batik,” ujarnya.
Pandemi memang bisa mengubah segalanya. Namun, para perajin membuktikan kondisi tersebut bisa membuahkan hal baik.