Manfaat Lebih dari Bank Sampah di Makassar
Di tengah geliat kota mengatasi persoalan sampah di Makassar, Sulawesi Selatan, keberadaan bank sampah ikut andil mereduksi sampah. Di sisi lain, warga mendapat keuntungan dengan tambahan penghasilan.
Jarum jam menunjuk angka 10.00 Wita saat satu per satu siswa PAUD Pelita Peduli Anak Bangsa memasuki ruang kelas. Ruangan tampak bersih dengan dinding yang dicat aneka gambar berwarna-warni. Bangku dan meja juga meriah dengan warna-warni serupa. Meski tampak seperti PAUD biasa, ada hal istimewa yang tersembunyi di baliknya.
Selasa (21/9/2021) pagi itu, pelajaran berlangsung tiga jam. Anak-anak mengikuti pelajaran dengan protokol kesehatan. Di sela-sela itu, mereka juga bermain dan menghabiskan bekal makanan yang dibawa.
”Biasanya ramai. Tapi, sejak pandemi, kami batasi jumlah siswa yang masuk. Jadi gantian dengan diselang-seling sehari. Alhamdulillah sejauh ini anak-anak tetap bermain, belajar, dan kesehatan mereka tetap kami jaga,” kata Rosmini Buhari (45), pengelola PAUD yang terletak di salah satu lorong atau sebutan untuk gang di Jalan Pelita Raya, Makassar, Sulawesi Selatan, ini.
Jelang waktu belajar usai, sekelompok perempuan, umumnya orangtua siswa dan warga sekitar, berdatangan. Mereka membawa karung atau plastik besar berisi sampah. Di sudut halaman sekolah, mereka berkumpul menyetorkan sampah-sampah tersebut.
Inilah yang membuat PAUD Pelita Peduli Anak Bangsa istimewa. PAUD itu dikelola secara kerja sama oleh Bank Sampah Pelita Bangsa, Kelurahan Ballaparang, Kecamatan Rappocini. Karena itu, PAUD tersebut sekaligus juga menjadi lokasi sekretariat bank sampah.
Sampah yang dibawa warga terdiri dari berbagai jenis, mulai dari sampah plastik, besi, aluminium, kertas, hingga kardus yang ditempatkan dalam wadah berbeda. Sampah ditimbang, lalu dikonversi nilainya menjadi rupiah. Plastik dan kertas dihargai Rp 1.500-Rp 5.000 per kilogram. Adapun besi, aluminium, dan logam lainnya harganya lebih mahal.
Para orangtua siswa ini sebagian besar adalah nasabah Bank Sampah Pelita Bangsa. Sebagai nasabah, mereka punya buku tabungan yang mencantumkan tanggal penyetoran sampah, jenis, berat, dan nilai rupiah atau saldo. Semua tercatat dengan tulisan tangan.
Uang tabungan sampah inilah yang umumnya digunakan untuk membayar uang sekolah anak mereka. Layaknya bank, urusan bayar-membayar iuran sekolah dan keperluan lainnya tinggal ”didebit” dari saldo buku tabungan. Para orangtua siswa biasanya meminta pembayaran dengan sistem itu.
”Dari anak saya yang pertama hingga sekarang yang kedua, saya membayar uang sekolah dan membeli perlengkapan sekolahnya menggunakan tabungan bank sampah. Kadang saya pakai menambah pembayaran listrik,” kata Sri Yunita (29), salah satu orangtua siswa.
Baca juga: Peran Bank Sampah Dikedepankan
”Saya sudah enam tahun jadi nasabah bank sampah. Uangnya untuk bayar uang bulanan anak yang sekolah di PAUD dan membeli perlengkapn sekolah kakaknya. Kalau ada lebih, saya pakai menambah uang beras,” kata Heriyanti (40), orangtua lainnya.
Pembayaran iuran PAUD Pelita Peduli Anak Bangsa pun terbilang murah, hanya Rp 50.000 per bulan. Hal ini dimungkinkan karena sebagian biaya operasional PAUD juga ditopang oleh keuntungan dari bank sampah. Keuntungan bank sampah diperoleh dari selisih harga antara pembelian sampah dari nasabah dan penjualan ke bank sampah pusat.
Di Bank Sampah Sejahtera Abadi, Kelurahan Mappala, Kecamatan Rappocini, nasabah tak hanya membiayai kebutuhan sekolah anak. Mereka juga umumnya memanfaatkan tabungan bank sampah untuk keperluan yang dibayar bulanan, misalnya listrik atau iuran jaminan sosial.
Ramlah (40), contohnya, memilih menyisihkan sebagian tabungannya untuk membayar iuran bulanan kepesertaan BPJS. Dia mengikuti dua program sekaligus, yakni jaminan kesehatan dan kematian.
”Karena uangnya tidak terlalu besar, kebanyakan nasabah hanya menyimpan dan setiap bulan diambil untuk menambah pembayaran iuran listrik atau keperluan sekolah anak,” kata Johannis (69), pengelola Bank Sampah Sejahtera Abadi.
Bank Sampah Pelita Bangsa dan Sejahtera Abadi hanya dua dari ratusan bank sampah yang ada di Kota Makassar. Nasabah bank sampah di Makassar saat ini mencapai 24.000, tersebar di semua 15 kecamatan, termasuk di wilayah kepulauan.
Walau belum besar, bank sampah ikut andil mereduksi sampah yang masuk ke TPA.
Sebenarnya, hingga dua tahun lalu, jumlahnya sekitar 1.000 bank sampah dengan nasabah mencapai lebih dari 57.000. Alasan pandemi Covid-19 dan belum adanya wali kota definitif kala itu di antaranya membuat banyak bank sampah tak aktif sementara.
Di Makassar, program bank sampah sudah dimulai sejak lebih dari 10 tahun lalu. Tujuan awalnya adalah menciptakan lingkungan bersih sekaligus mereduksi sampah yang masuk ke tempat pengolahan akhir (TPA). Warga diedukasi memilah sampah yang kemudian dibeli oleh bank sampah unit.
Dari bank sampah unit, sampah lalu dibeli oleh bank sampah pusat. Biasanya bank sampah pusat bekerja sama dengan industri pengolahan atau daur ulang sampah. Sekali sepekan armada bank sampah induk menjemput sampah di bank sampah unit yang ada di kecamatan atau kelurahan.
Belakangan, program bank sampah ini tak lagi sekadar mewujudkan lingkungan bersih. Bagi sebagian warga, tabungan sampah jadi sumber penghasilan tambahan. Saldo nasabah umumnya berkisar ratusan ribu rupiah, bahkan hingga jutaan rupiah.
Saharuddin Ridwan, Ketua Asosiasi Bank Sampah Indonesia yang juga merintis bank sampah di Makassar, mengatakan, walau belum besar, bank sampah ikut andil mereduksi sampah yang masuk ke TPA.
Awalnya tak mudah mengajak warga untuk ikut program ini, apalagi kalangan warga menengah ke atas.
Sebagai gambaran, setiap bulan, sebanyak 700-1.000 ton sampah rumah tangga disetor ke bank sampah sehingga tak menambah beban TPA Tamangapa, satu-satunya TPA di Makassar. Sampah ini adalah plastik, kertas, karton, besi, aluminium, dan jenis lainnya yang bernilai. Sebagian membuat berbagai kerajinan lalu dijual atau digunakan sendiri.
Ini belum termasuk sampah sisa makanan atau dapur. Untuk sampah dapur, sebagian kelompok bank sampah mengumpulkan untuk dibuat kompos. Sebagian lain menjadikannya makanan maggot (belatung) yang dibeli pemilik ternak ayam atau burung untuk dijadikan campuran pakan. Sisa sampah dapur yang tak terserap oleh maggot kemudian menjadi pupuk untuk tanaman.
Baca juga : Prospek Bisnis Daur Ulang Sampah di Indonesia Menarik
Menurut Saharuddin, perputaran uang di bank sampah cukup besar. Tahun ini, dari target Rp 700 juta, pada Agustus lalu sudah mencapai sekitar Rp 3 miliar.
Awalnya tak mudah mengajak warga untuk ikut program ini, apalagi kalangan warga menengah ke atas. Namun, kesadaran mengelola sampah dari rumah dan mewujudkan lingkungan bersih membuat banyak warga ikut. Warga yang tak menjadi nasabah juga turut berpartisipasi dengan memberikan sampah mereka kepada tetangga yang menjadi nasabah.
Hal ini membuat pengelola selalu mencari cara untuk memikat warga menjadi nasabah. Bekerja sama dengan BPJS, Pegadaian, dan berbagai perusahaan lain menjadi salah satu cara.
”Saya pernah kerja sama dengan Unilever dan membuat program sampah ditukar sabun, sampo, dan perlengkapan mandi atau mencuci. Sekarang bekerja sama dengan BPJS dan nasabah bebas memilih program yang diinginkan,” kata Rosmini, yang juga Ketua Bank Sampah Pelita Bangsa.
Baca juga : Pengelolaan Sampah Berbasis Rumah Tangga Perlu Dukungan Pemerintah
Edukasi menjaga lingkungan dan memilah sampah di wilayah tempat terdapat bank sampah juga dilakukan pada anak-anak sejak dini. Di PAUD Pelita Peduli Anak Bangsa, misalnya, setiap Jumat anak-anak diminta membawa botol bekas minuman atau kertas tak terpakai dari rumah. Di sekolah, sampah ini ditukar es krim, kadang pula pasta gigi atau sabun mandi.
”Setidaknya mereka belajar ikut membersihkan lingkungan dan memilah sampah sejak sini. Harapan kami, edukasi ini membekas dan menjadi perilaku mereka ke depan,” kata Rosmini.