Petani di Kalteng Hadapi Harga Gabah Murah hingga Kriminalisasi
Pekerjaan rumah untuk menyejahterahkan petani masih banyak dan menemui jalan yang panjang. Petani masih dihadapi dengan beragam masalah, mulai dari harga gabah murah hingga kriminalisasi.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Petani di Kalimantan Tengah masih menghadapi banyak masalah, mulai dari ancaman penajara karena kebakaran lahan hingga turunnya harga gabah kering giling. Program lumbung pangan pun dinilai belum menjawab permasalahan tersebut.
Pada peringatan Hari Tani Nasional 2021, Kalimantan Tengah masih memiliki banyak pekerjaan rumah terkait dengan nasib para petani. Di Kabupaten Barito Utara, Antonius (51), asal Desa Kamawen, mendapatkan putusan kasasi setelah diputus bersalah menyebabkan kebakaran lahan di kabupaten tersebut.
Dalam catatan Kompas, putusan Pengadilan Negeri Muara Teweh pada 2 Maret 2020 menjatuhkan pidana 1 tahun penjara denda Rp 50 juta subsider 3 bulan penjara pada Antonius. Saat diwawancara dengan Kompas, Antonius mengaku tidak membakar kebunnya, justru menyelamatkan kebunnya dari kobaran api, apalagi di kebun tersebut sawit yang ia tanam baru berumur dua tahun. Setidaknya 47 pohon sawit miliknya terbakar (Kompas, Kamis 5 Maret 2020).
Setelah putusan itu, penasihat hukum Antonius, Jubendri Lusfernando, menjelaskan, kasasi Antonius ditolak dan akan segera dieksekusi oleh aparat. ”Beliau tidak ditahan atau tahanan kota, sangat kooperatif. Tetapi, dengan putusan ini mungkin dalam waktu dekat beliau akan dibawa ke penjara,” kata Jubendri saat dihubungi dari Palangkaraya, Kamis (23/9/2021).
Jubendri mengungkapkan, Antonius akan ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Muara Teweh. ”Kami ikuti prosedur yang berlaku,” ujarnya.
Selia (45), istri Antonius, mengungkapkan, jangankan denda Rp 50 juta, untuk memenuhi kebutuhan empat anaknya ia masih bingung. Ia hanya berharap keadilan datang pada petani kecil seperti Antonius dan keluarga. ”Sudah kebun hangus, suami malah dipenjara,” katanya.
Selain permasalahan larangan membakar, petani di kawasan Program Strategis Nasional (PSN), tepatnya di Desa Belanti Siam, Kabupaten Pulang Pisau, mengeluh harga gabah kering giling yang turun di saat panennya sedang bagus.
Heriyanto, anggota Kelompok Tani Sido Mekar, mengungkapkan, hasil panen dari masa tanam pada bulan April 2021 lalu meningkat pesat dibandingkan dengan Oktober 2020. Sebelumnya, ia hanya mendapatkan 1,3 ton padi di lahan seluas dua hektar, kini ia mendapatkan 6,4 ton untuk lahan dua hektarnya. ”Tapi, pas panen lagi bagus, harganya malah hancur,” katanya.
Heriyanto menjelaskan, dirinya dan semua anggota kelompoknya menjual hasil panen mereka kepada tengkulak. Harga gabah kering giling (GKG) saat ini Rp 4.300 per kilogram. Padalah, biasanya mereka menjual dengan harga Rp 5.200-Rp5.500 per kilogram.
”Kecewa saja dengan harganya, masalahnya saya beli pupuk mahal sekali, gak dapet jatah pupuk subsidi. Tetapi, untung dibantu pemerintah pupuk bantuan program food estate meski datang terlambat dan jumlahnya berkurang,” ujar Heriyanto.
Melihat hal itu, Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan Provinsi Kalteng Sunarti mengungkapkan, program food estate bakal menggunakan sistem korporasi petani. Namun, kali ini modal yang diberikan masih terbatas.
”Modal masih terbatas sehingga kalah dengan tengkulak yang beroperasi di lokasi food estate. Modal dari BUMP (korporasi) berasal dari saham dan KUR,” kata Sunarti.
Meskipun demikian, Sunarti optimistis pendapatan petani akan jauh lebih baik saat ini karena terjadi peningkatan pertanaman yang semula hanya dua kali masa tanam menjadi tiga kali masa tanam.
”Lalu, ada penguatan kapasitas petani. Dengan adanya korporasi, petani diberikan pengetahuan manajerial pengelolaan pascapanen,” kata Sunarti.
Berbeda dengan Sunarti, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono mengungkapkan, saat ini masalah yang dihadapi petani adalah kurangnya pengakuan dan perlindungan bagi petani dan lahan yang dikelolanya. Banyak lahan pertanian dimatikan atau diganti oleh industri pangan ataupun industri lainnya.
”Munculah monopoli pupuk, benih, juga pemasarannya,” ujar Dimas.
Menurut Dimas, food estate lebih banyak kepentingan industri, terlihat dari lokasi selain food estate, di mana lahan masyarakat milik petani dan peladang dialihfungsikan untuk industri ekstraktif. ”Ketika melakukan penolakan dengan mudah, petani dikriminalisasi,” katanya.
Dimas menambahkan, food estate merupakan proyek besar yang dipaksakan tanpa melihat secara detail kondisi wilayah dan realitas di masyarakat. ”Dengan mudah food estate dibentuk dalam sekejap, hanya karena alasan FAO yang menyatakan akan terjadi krisis pangan karena pandemi,” ucapnya.