Menjaga dan Menyebarkan Kelezatan Kue Sultan Palembang
Di tengah gempuran kuliner kekinian, warga Palembang, Sumatera Selatan, tetap menjaga dan memperkenalkan kue khas Palembang ke sejumlah daerah. Kue-kue itu tetap mendapat tempat di lidah warga.
Di tengah gempuran aneka kue kekinian, kue tradisional khas Palembang, Sumatera Selatan, yang kelezatannya terkenal sejak zaman Kasultanan Palembang Darussalam tetap eksis. Di masa pandemi, para pedagangnya pun mengaku animo warga tidak terpengaruh. Beragam inovasi dilakukan untuk memperkenalkan aneka kue ke seluruh negeri.
Husna (57) tengah sibuk menata dagangannya berupa aneka kue khas Palembang yang ia jajakan di depan rumahnya di kawasan 13 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu II, Palembang, Kamis (17/9/2021) pagi. Aneka kue yang digelar di meja kayu itu tampak menarik beraneka warna.
Para pelanggan yang sebagian besar adalah warga sekitar dan pengguna jalan tampak tertarik mencicipi kue khas Palembang yang ia tawarkan, seperti kue lapis maksuba, engkak ketan, dan kojo. Ketiganya merupakan jenis kue lapis yang berbahan dasar telur, gula, dan susu dan dimasak dengan cara dipanggang.
Selain itu, ada srikaya berbahan dasar santan, telur, dan gula pasir; bongkol berbahan dasar kacang merah, kelapa parut, dan dibungkus daun pandan; jongkong terbuat dari tepung beras dan gula merah; serta beragam kue yang lain.
Setidaknya ada 20 jenis kue yang ia jajakan hari itu. Selain kue, ia juga menjajakan menu sarapan khas Palembang, seperti laksan dan burgo. Laksan terbuat dari sagu dan ikan. Sementara burgo terbuat dari tepung beras berkuah santan.
Sudah 20 tahun Husna berjualan kue khas Palembang. Kegiatan itu menjadi mata pencariannya sejak dulu karena peminatnya yang tidak pernah berkurang, bahkan di masa pandemi.
Dalam sehari, dia bisa menjual ratusan kue khas Palembang dengan omzet Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per hari. Kebanyakan kue yang dia jual merupakan titipan dari pembuat kue yang ada di sekitar tempat tinggalnya.
Ya, kawasan 13 Ulu memang merupakan salah satu sentra penjualan kue khas Palembang. Bahkan, beberapa kue yang tidak ditemukan di tempat lain ada di lapak sederhana miliknya. Sebut saja, kue paye, mentu bugis, gelombong, dan gunjing.
Baca juga : Pengusaha Kuliner Palembang Berupaya Negosiasikan Kebijakan Ikan Belida
Husna sengaja menjual beragam jenis kue khas Palembang agar keberadaannya tidak punah. Dia yakin kue khas Palembang tidak kalah pamor dengan kue kekinian. ”Kue khas Palembang tidak akan pernah kehilangan penggemar,” ucapnya yakin.
Sebenarnya tidak sulit membuat kue khas Palembang karena bahan dasar yang digunakan masing-masing tidak jauh berbeda, yakni telur, tepung terigu atau tepung beras, singkong, kelapa, dan gula/gula merah. Ini membuat semua kue khas Palembang cenderung berasa gurih dan manis.
Kue khas Palembang tidak akan pernah kehilangan penggemar. (Husna)
Gelombong, misalnya, terbuat dari singkong yang diparut kemudian diberi gula merah dan ditaburi kelapa parut di atasnya. Adapun jongkong terbuat dari tepung beras, tepung sagu yang diberi perasa dan pewarna pandan, serta gula merah sebagai pemanis.
Dulunya, kue khas Palembang hanya dibuat ketika hari besar seperti saat perayaan syukuran atau hari raya lebaran. ”Itulah sebabnya zaman dulu kebanyakan kue Palembang dibeli dengan satuan loyang. Namun, sekarang sudah bisa dinikmati (per iris) untuk sarapan pagi. Selain harganya murah, pelanggan juga dapat menikmatinya setiap hari,” katanya.
Sherly yang juga menjual kue khas Palembang di kawasan Lemabang Palembang mengatakan, meskipun ia menjual kue khas Palembang bersama aneka jenis kue yang lebih modern, seperti bolu, cakwe, dan kue lapi, kue khas Palembang tetap menjadi incaran.
Baca juga : Telok Abang Lambang Perjuangan
Biasanya para peminat kue khas Palembang adal ah mereka yang ingin merasakan nostalgia masa lalu atau yang ingin merasakan kue tradisional yang sudah jarang ditemukan.
Inovasi
Kue-kue tradisi itu juga memunculkan kue modifikasi. Ketua Asosiasi Pengusaha Kue dan Kuliner (Aspenku) Sumatera Selatan Yus Elisa, misalnya, membuat sejumlah inovasi pada kue khas Palembang. Ia mengombinasikan beragam kue khas Palembang menjadi kue yang lebih baru.
Dia membuat kue makjola, yakni campuran antara kue maksuba, kojo, dan lapis atau kue masbro (maksuba brownies). Menurut Elisa, di zaman yang terus berkembang, pengusaha kue harus terus berinovasi. Tujuannya agar kue Palembang tidak tergerus oleh produk kuliner serupa yang lebih baru.
Itulah sebabnya, sejak dua tahun yang lalu dia telah menghimpun seluruh pengusaha kue untuk bergabung di satu wadah bersama untuk menggapai visi yang sama, yakni memperkenalkan kue khas Palembang ke seluruh daerah di Indonesia, bahkan mancanegara.
Tidak hanya dari segi resep, pengembangan juga dia lakukan dari sisi pemasaran yang tidak hanya menjual secara luring tetapi juga lewat daring. Alhasil, pesanan kue khas Palembang terus meningkat.
Mendekati hari raya, perempuan yang akrab disapa Bunda Rayya ini bisa mendapatkan pesanan hingga 2.000 loyang kue khas Palembang dari berbagai daerah di Indonesia.
Tingginya angka pemesanan ini membuktikan peminat kue khas Palembang tidak hanya ada di wilayah Sumatera Selatan saja tetap juga ke daerah lain terutama di Jawa. Hal ini dia ketahui dari banyak pelanggan yang memesan kue khas Palembang dari Jabodetabek.
Kuliner di Palembang juga mempunyai kemiripan dengan kuliner yang ada di Jawa. (Ali Hanafiah)
Budayawan Palembang Ali Hanafiah menuturkan segala macam kuliner yang ada di Palembang awalnya hanya ada di lingkungan Keraton Kesultanan Palembang Darussalam. Karena itu, kue khas Palembang sering disebut kue para raja-raja.
Kekayaan kuliner itu dibawa oleh para priyayi dari Kesultanan Demak yang menjadi pemimpin di Palembang. Itulah sebabnya kuliner di Palembang juga mempunyai kemiripan dengan kuliner yang ada di Jawa.
Bahkan, lanjut Ali, perkembangan kuliner di Palembang pada masa kesultanan terbilang sangat modern di masanya. Misalnya saja, pada masa itu, keraton Palembang sudah mengenal fla sebagai toping untuk pastel kukus. ”Hanya saja, karena memang penggunaannya terbatas di lingkungan keraton dan disantap pada momen tertentu, kemajuan itu tidak terlihat,” kata Ali.
Namun, sejak kesultanan dibubarkan Belanda pada 1823, beragam kebudayaan termasuk kuliner yang mulanya hanya terkungkung di lingkungan keraton, perlahan tapi pasti mengalir ke masyarakat. ”Apalagi saat itu keluarga kesultanan sedang mengalami krisis. Mau tidak mau mereka harus membaur pada masyarakat,” ujarnya.
Selain itu ada perubahan yang terjadi, misalnya cita rasa yang harus disesuaikan dengan selera masyarakat biasa. ”Cita rasa kuliner harus disesuaikan dengan selera pasar saat itu bahkan sampai harus melepaskan pakem yang ada,” kata Ali.
Ali mengatakan, Palembang kini dihadapkan pada era globalisasi, di mana tsunami budaya, termasuk kuliner tidak bisa dibendung lagi. Jika tidak diantisipasi, bukan tidak mungkin kekayaan kuliner, seperti kue khas Palembang, akan kalah pamor dibanding kuliner kekinian.
Ali mencontohkan bluder, sejenis muffin khas Palembang, sekarang sudah kalah pamor dengan hamburger. ”Jika tidak ada inovasi, bukan tidak mungkin bluder akan hilang. Sudah ada beberapa bukti kuliner Palembang yang bilang tersapu zaman, seperti ketolo (makanan yang terbuat dari tepung beras yang bentuknya seperti pempek keriting), naam ubi, dan apem banyu.
Wali Kota Palembang Harnojoyo pada ulang tahun Aspenku menuturkan, jika ditelusuri, setidaknya ada 200 jenis kue khas Palembang, tetapi yang dikenal hanya segelintir. Karena itu, dia berharap para pengusaha dapat berinovasi dalam mengembangkan produk yang dijual.
”Pengembangan boleh dilakukan, tetapi jangan sampai menghilangkan keunikan rasa dan kekhasannya,” pinta Harnojoyo. Beragam upaya juga akan dilakukan pemerintah untuk melestarikan kuliner Palembang, salah satunya dengan membantu permodalan, terutama bagi pelaku usaha mikro kecil menengah. Dengan demikian, kuliner Palembang dapat lebih dikenal banyak orang.