Sangihe, Permata Nusa Utara yang Terusik Tambang
Masa depan kehidupan Kampung Bowone, dan bahkan mungkin Pulau Sangihe secara keseluruhan, berada di tangan warga.
Pulau Sangihe hanyalah setitik tinta di peta Indonesia. Namun, titik kecil itu adalah permata di Nusa Utara, sebuah daratan yang hijau subur di tengah birunya Laut Sulawesi. Tak satu pun warga Sangihe perlu merasa kekurangan, sebab tanah dan air pulau itu akan selalu memberi.
Gemercik air mengucur terdengar di kerapatan perkebunan rakyat Kampung Bowone, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. Alirannya melalui sebuah selang, lalu bermuara dalam sebuah bak persegi semipermanen dari kayu beralaskan terpal. Air itu tampak bening, murni, dan jernih tak berwarna.
”Sumbernya ada di Gunung Sahendarumang. Warga memanfaatkannya untuk segala kebutuhan,” kata Elbi Pieter (53), warga yang mendampingi kami berkeliling kampung, Sabtu (7/8/2021) siang.
Dengan memanfaatkan air bersih dari pegunungan itulah suami-istri Mohonis Meluwu (65) dan Melly Kuhanta (41) mengolah tumpukan cacahan batang rumbia menjadi sagu. Metode yang mereka gunakan cukup sederhana dengan alat seadanya.
Cacahan rumbia itu diletakkan pada pipa kayu besar berbentuk setengah tabung. Melly kemudian mengguyurnya dengan air bersih, lalu Mohonis menyaringnya dengan kain di mulut pipa. Bubuk sagu akan terpisah dari cacahan batang itu, lalu tumpah bersama air ke bak penampungan. Sagu yang mengendap di dasar bak dikumpulkan kemudian dikeringkan menjadi bubuk untuk dikonsumsi.
Menurut Elbi, warga juga tak perlu khawatir pohon sagu habis. Tunas-tunas pohon rumbia yang jatuh akan segera tumbuh lagi menjadi pohon baru di perkebunan rakyat, bahkan tanpa perawatan.
Kampung Bowone terletak di tenggara Pulau Sangihe, tepatnya di bukit pesisir Kecamatan Tabukan Selatan Tengah. Sebanyak 300-400 penduduknya hidup damai di atas tanah yang subur, diteduhi beragam jenis pohon, dari kelapa, pala, cengkeh, sampai sengon.
Baca juga : PT Tambang Mas Sangihe: Kami Tak Akan Rusak Alam
Di timur desa, membentang lautan biru yang memberikan segala jenis ikan, dari kerapu hingga tuna. Namun, karena lokasi kampung yang di atas bukit, warga Bowone lebih banyak menggarap kebun.
Meity Makagansa (28), ibu rumah tangga, mengatakan, warga juga menanam ubi jalar, sayuran, serta cabai. ”Sebagian hasil panen kami pakai sendiri, sebagian kami jual di pasar. Empat-lima ubi jalar harganya Rp 25.000, kalau cabai bisa Rp 100.000 per kilogram. Hasilnya kami pakai beli kebutuhan lain,” katanya.
Demikianlah kehidupan Kampung Bowone. Warga laki-laki dan perempuan bersama mengolah apa saja yang alam berikan secara cuma-cuma. Sangihe bahkan tak perlu menunggu beras dikirim dari Manado selama sagu, ubi, bahkan pisang goroho tumbuh liar di perkebunan rakyat.
Ibu rumah tangga seperti Meity dan Elbi-lah yang kemudian berperan paling besar mengolah segala hasil alam itu untuk konsumsi keluarga. Menurut Elbi, Tanah Kampung Bowone selalu menyediakan kebutuhan keluarga mereka secara turun-temurun, dari para buyutnya hingga dirinya yang kini telah memiliki cucu.
Tambang datang
Namun, kini warga Bowone terancam kehilangan tanah leluhur mereka. Tanpa sepengetahuan warga, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan Kampung Bowone serta Binebas di sisi utaranya sebagai lokasi pertambangan emas untuk perusahaan Kanada-Indonesia, PT Tambang Mas Sangihe (TMS).
Tak tanggung-tanggung, luas wilayah yang telah berizin usaha pertambangan khusus (IUPK) itu mencapai 42.000 hektar, 57 persen luas Pulau Sangihe. Wilayah itu mencakup hampir seluruh paruh selatan pulau. Kampung Bowone dan Binebas menjadi lokasi situs tambang emas pertama dengan luas 65,48 hektar.
CSR and External Superintendent PT TMS Robertus Priya Husada mengatakan, perusahaan tempatnya bekerja telah memegang kontrak karya di Sangihe sejak 1997. Meski sempat terhenti, eksplorasi potensi emas berlanjut lagi pada 2009.
Antara 2017-2020, PT TMS menyelesaikan penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) sehingga diperbolehkan mulai berproduksi sejak 29 Januari 2021. Perusahaan itu berhak mengeruk emas dari Sangihe selama 33 tahun hingga 2054. ”Kami telah melibatkan masyarakat serta pegiat lingkungan dalam penyusunan Amdal,” kata Robertus yang disapa Bob.
Baca juga : Tambang Emas di Sangihe, Semua yang Perlu Kita Ketahui
Kendati begitu, tak satu pun warga Bowone merasa pernah diajak berunding soal Amdal. Usut punya usut, hanya perwakilan dari perangkat kampung yang diundang menghadiri sidang komisi Amdal terakhir pada 2020 lalu.
Kini, PT TMS sedang berupaya membeli lahan dari masyarakat hingga tiga tahun ke depan. Bob mengatakan, ada 290 petak kebun dengan total luas 100 hektar yang ditargetnya. ”Ada tanah tidak produktif, ada juga yang ditumbuhi cengkeh, kelapa, dan pala. (Pohon-pohon) itu juga nanti akan kami hitung (nilainya),” ujarnya.
Namun, bagi Elbi, membiarkan PT TMS masuk ke kampung berarti kehilangan alam yang selama ini memberikan kehidupan bagi warga. Elbi mengatakan, hal pertama dan terutama yang akan hilang adalah air bersih akibat pencemaran. PT TMS pun menyerap 1 juta liter air dari sungai yang berhulu di Pegunungan Sahendarumang.
”Di sini kebanyakan ibu rumah tangga. Semua kebutuhan cuci, masak, makan, dan minum itu, kan, pakai air. Kalau tercemar, tidak bisa dipakai. Padahal, air itu kebutuhan dasar manusia, tidak bisa diganti dengan apa pun. Ke depan, masyarakat Bowone pasti kesulitan air bersih,” kata Elbi.
Aderce Makawata (36) juga khawatir masyarakat tak akan dapat memenuhi kebutuhan pangannya. Apalagi, pengurus kampung baru saja merencanakan pengadaan mesin pengolahan sagu yang bergantung pada air bersih. Di samping itu, warga akan kehilangan mata pencarian sebagai petani jika kebunnya dibeli PT TMS.
Samsared Barahama (44), juru bicara Save Sangihe Island (SSI), koalisi masyarakat penolak tambang skala besar PT TMS, juga khawatir terjadi eksodus besar-besaran dari Kampung Bowone. Meski tak digusur, masyarakat akan pergi dengan sendirinya ketika tidak punya kebun serta dampak lainnya, seperti getaran akibat ledakan pembuka lubang tambang.
Samsared yakin PT TMS tidak akan berhenti mengekspansi wilayahnya. Skala kerusakan alam pun bisa jadi lebih besar, bahkan hingga ke wilayah Gunung Sahendarumang. Padahal, gunung itu adalah sumber air bagi 58.000 warga di 80 kampung di selatan Pulau Sangihe. Hutan di gunung itu juga menjadi habitat satwa endemik khas Sangihe, seperti seriwang sangihe (Eutrichomiyas rowleyi).
Jika tambang meluas, lanjut Samsared, tanah di selatan pulau akan rawan tercemar limbah yang mengandung bahan kimia, seperti sianida. Apalagi, pulau yang terletak di atas Lempeng Sangihe dan memiliki lebih dari tiga gunung api aktif itu sangat rawan gempa.
Karena ruang hidupnya terancam, Elbi bersama enam warga di kampung-kampung lingkar tambang menggugat IUPK PT TMS di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Pusat. Sementara itu, 53 ibu rumah tangga di Bowone menggugat izin lingkungan PT TMS di PTUN Manado. ”Berikan kami kesempatan untuk memperjuangkan masa depan anak-anak kami,” kata Elbi.
Pemerintah akan mengevaluasi luas wilayah KK PT TMS.
Melalui pernyataan yang dirilis pada 12 Juni 2021, Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM menyampaikan sejumlah poin terkait permintaan untuk membatalkan izin PT TMS. Di antaranya, luas wilayah PT TMS yang prospektif untuk ditambang adalah 4.500 hektar atau kurang dari 11 persen dari total luas wilayah kontrak karya (KK) PT TMS.
Selain itu, pemerintah akan mengevaluasi luas wilayah KK PT TMS. Berdasarkan evaluasi itu, pemerintah dapat meminta PT TMS untuk menciutkan wilayah KK yang tidak digunakan atau tidak prospektif.
Pemerintah pun akan terus melakukan pengawasan ketat di lapangan untuk memastikan kegiatan pertambangan PT TMS dilakukan sesuai aturan sehingga tidak menimbulkan kerusakan lingkungan hidup dan membahayakan masyarakat.
Di lain pihak, Bob menyatakan, segala dampak lingkungan yang akan diakibatkan tambang bisa diatasi dengan teknologi. Ia menegaskan, PT TMS selalu dan akan selalu menaati hukum yang berlaku. Masyarakat pun tidak akan ditinggalkan dalam pengembangan tambang.
”Biarlah (gugatan) itu diuji di PTUN. Soal hasilnya bagaimana, kita tidak bisa berandai-andai. Yang pasti, selama gugatan berjalan, kami akan terus mempersiapkan (infrasturktur tambang),” kata Bob.
Masa depan kehidupan Kampung Bowone, dan bahkan mungkin Pulau Sangihe secara keseluruhan, berada di tangan Elbi dan warga lainnya. Semua demi menyelamatkan sang permata di Nusa Utara yang selalu memberi lintas generasi.