Manajemen PT Tambang Mas Sangihe membantah aktivitas tambangnya, yang hingga kini belum dimulai, akan merusak alam Pulau Sangihe. Kerusakan alam justru disebabkan tambang ilegal.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Manajemen PT Tambang Mas Sangihe membantah aktivitas tambangnya, yang hingga kini belum dimulai, akan merusak alam Pulau Sangihe. Pada saat yang sama, perusahaan itu menuduh kerusakan alam sudah terjadi akibat aktivitas ilegal pertambangan emas rakyat.
Dalam keterangan resmi yang diterima Kompas, Minggu (20/6/2021), Baru Gold Corporation, perusahaan induk yang membawahkan PT Tambang Mas Sangihe (TMS), menyatakan telah menerima tuduhan seperti merusak hutan di Gunung Sahendarumang dan merusak habitat burung endemik, seperti seriwang sangihe. Mereka juga menerima tuduhan telah mencemari laut. PT TMS menyebut tuduhan tersebut palsu dan tidak berbasis pada fakta.
”Perusahaan kami menyangkal tuduhan tak berdasar ini sekeras mungkin. Kami selalu dan akan selalu beroperasi sesuai hukum dan aturan, secara transparan sambil menghormati warga lokal dan lingkungan,” demikian pernyataan resmi itu.
Terrence Kirk Filbert, Chief Executive Officer dan Direktur Baru Gold, menyebut tuduhan itu sebagai upaya sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk mengintimidasi dan menghambat proyek tambang emas di Sangihe. Untuk sementara, perlawanan terhadap kehadiran PT TMS datang dari gerakan Save Sangihe Island.
Perlawanan itu muncul sejak Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan kontrak karya di lahan seluas 42.000 hektar di selatan Pulau Sangihe bagi PT TMS selama 33 tahun. Wilayah itu lebih dari setengah luas Pulau Sangihe yang hanya 73.698 hektar, dan dikhawatirkan merusak kawasan Hutan Gunung Sahendarumang, hulu bagi 70 sungai sumber air bersih.
Terrence menyatakan, perusahaannya telah mengantongi dukungan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten, hingga masyarakat. Itu dibuktikan dari penerbitan analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dan izin lingkungan di lahan 65,48 hektar dari Pemprov Sulut demi memitigasi gangguan terhadap flora dan fauna endemik.
”Kami sudah dan akan melakukan semua (kegiatan operasional) sesuai aturan demi kesuksesan dan keamanan kerja sama dengan pemerintah Indonesia dan warga Sangihe,” kata Terrence. Operasi diperkirakan baru mulai tiga tahun lagi setelah proses pembebasan lahan tuntas.
Dalam pernyataan itu pula, Baru Gold dan PT TMS menyebut pertambangan emas tanpa izin (PETI) sedang marak di wilayah kontrak karya mereka. Para penambang ilegal disebut mencemari lingkungan dengan membuang limbah merkuri ke laut dan sungai, serta merusak hutan bakau dan terumbu karang.
Para penambang ini, sebut mereka, bukan warga Sangihe. Mereka punya riwayat mengintimidasi warga, memberikan upah rendah, dan tidak membayar pajak. Manajer Tambang PT TMS, Bob Priyo Husodo, menyebut para penambang ilegal berada di balik Jull Takaliuang, salah satu aktivis Save Sangihe Island.
Jull Takaliuang bersikukuh masyarakat tidak dilibatkan dalam pembuatan AMDAL untuk lokasi awal 65,48 hektar itu. Padahal, wilayah kontrak karya nantinya akan berdampak bagi lebih kurang 58.000 penduduk di 80 kampung di tujuh kecamatan.
”Penolakan sangat masif di semua kampung, bukan hanya masyarakat, tetapi juga kepala desa,” katanya.
Elbi Piter, warga Kampung Bowone, merasa tak pernah diajak beraudiensi soal AMDAL. Ia justru kaget ketika perwakilan PT TMS datang untuk menyosialisasikan adanya izin usaha tambang di kampungnya.
”Masyarakat yang mana? Mereka tidak menjawab,” ujarnya.
Yang lebih mengagetkan baginya adalah penawaran pembebasan lahan. ”Mereka mematok harga tanah Rp 50 juta per hektar. Itu sama dengan Rp 5.000 per meter persegi. Masih lebih mahal kangkung satu ikat di pasar, Rp 6.000,” ujar Elbi. Hal ini disangkal oleh PT TMS.
Sikap Save Sangihe Island yang menolak tambang dipusatkan pada risiko bencana alam yang senantiasa mengancam Sangihe. Jull mengatakan, Sangihe sangat rentan gempa bumi dan tsunami karena terletak di atas Lempeng Eurasia dan Pasifik, serta Lempeng Sangihe dan Laut Maluku yang lebih kecil.
Pulau Sangihe juga memiliki beberapa gunung api aktif di bawah laut, seperti Banuawuhu dan Mahangetang. ”Sekarang di tengah jalan aspal, mudah dilihat berbagai retakan. Bagaimana nanti kalau ada tambang open pit yang juga pasti menggunakan metode blasting (ledakan)?” kata Jull.
PT TMS nantinya akan mengekstraksi emas dari batuan menggunakan sistem sianida. Limbah batuan akan ditempatkan di lokasi waste dump seluas 12 hektar di utara lubang tambang. Menurut Jull, pencemaran lingkungan oleh limbah adalah satu hal yang tak akan terhindarkan. Mata pencarian warga sebagai nelayan dan petani, serta sumber air bersih, jadi taruhan.
Soal tambang rakyat ilegal, Jull mengatakan, penertibannya adalah tugas pemerintah. ”Ini kan, kewajiban pemerintah untuk mengaturnya, perlu tindakan aparat keamanan. Kenapa tiba-tiba Save Sangihe Island harus bertanggung jawab untuk semua? Kami hanya fokus mengusir PT TMS dari Sangihe,” ujar Jull.
Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah sepakat dengan Jull. Namun, bukan berarti rakyat bisa dibiarkan menambang secara ilegal. Wilayah pertambangan rakyat tetap tidak boleh ada di Sangihe yang tergolong pulau kecil.
”Kita perlu pelajari dulu sejarahnya, apa tambang rakyat ini berasal dari tradisi masyarakat atau bukan. Saya menduga ini ada sejak kehadiran perusahaan tambang untuk eksplorasi pada 1980-an. Karena itu perlu pendekatan persuasif untuk mengajak masyarakat bertransisi ke mata pencarian yang tidak merusak alam,” katanya.