Akibat pencemaran dan kerusakan Sungai Batanghari, berbagai segi kehidupan masyarakat terganggu. Kebutuhan air bersih sulit teprenuhi. Transportasi sungai juga terganggu akibat sedimentasi parah.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·4 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Kerusakan daerah aliran sungai Batanghari di Jambi telah menyebabkan kerentanan lingkungan yang menyebar di hulu hingga hilir. Butuh kebijakan tata ruang yang lebih berpihak demi menyelamatkan kehidupan masyarakat di sekitar perairan itu.
Ketua Forum Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Provinsi Jambi Tagor Mulia mengatakan, masyarakat terdampak langsung oleh kerusakan DAS di hulu Batanghari. Penyebabnya adalah alih fungsi hutan untuk monokultur serta maraknya tambang.
Ia mencontohkan, dam Lubuk Nagodang di Kabupaten Kerinci belakangan ini didapati surut. Setelah dicek, dam dipenuhi sedimentasi dan koral. Lalu, setelah ditelusuri, ternyata marak aktivitas galian pasir di bagian hulu dam. Ia temukan pula sejumlah sungai di Kerinci yang kini airnya surut drastis di musim kemarau dan cepat meluap saat penghujan.
”Pencemaran akibat tambang ini menyebabkan permasalahan pada DAS karena selalu menciptakan erosi dan menimbulkan sedimentasi,” ujarnya di Jambi, Senin (6/9/2021). Apalagi, tambah Tagor, untuk memulihkan areal-areal bekas tambang sangat sulit dan berbiaya besar.
Akibat parahnya sedimentasi, transportasi di sungai juga terganggu. Kapal-kapal tak bisa lagi membawa berbagai hasil komoditas dari hulu ke hilir lewat Sungai Batanghari. ”Semuanya kini harus lewat darat, yang berarti ongkos transportasinya makin mahal,” katanya lagi.
Sungai Batanghari yang panjangnya 800 kilometer itu memiliki peranan penting bagi sebagian besar masyarakat Jambi dan Sumatera Barat. DAS Batanghari juga merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia. Mencakup luas areal tangkapan air dengan luas 4.9 juta hektar.
Di Jambi, aliran sungai itu melintasi enam kabupaten, yakni Bungo, Tebo, Kabupaten Batanghari, Muaro Jambi, Tanjung Jabung Timur, dan Kota Jambi. Adapun di Sumbar, Batanghari melintasi Solok Selatan dan Dharmasraya. Batanghari juga merupakan tempat bermuaranya sungai-sungai besar lainnya, seperti Batang Sangir, Batang Merangin, Batang Tebo, Batang Bungo, dan Batang Tembesi.
Pencemaran akibat tambang ini menyebabkan permasalahan pada DAS karena selalu menciptakan erosi dan menimbulkan sedimentasi.
Menurut Tagor, pemulihan sungai sangat bergantung pada pemulihan DAS. Upaya ini memerlukan keterlibatan bersama para pihak untuk berintegrasi. Saat ini telah dikukuhkan tujuh forum DAS di Jambi. Masih berproses dua forum DAS lainnya, yakni di Muaro Jambi dan Batanghari.
Dalam webinar virtual bertajuk ”Perairan Berkelanjutan Cermin Kehidupan” yang diselenggarakan Universitas Sulthan Thaha Saifuddin Jambi, pekan lalu, Kepala Pusat Kajian Demografi, Etnografi, dan Transformasi Sosial Ahmad Syukron Prasaja memaparkan hasil survei terbarunya. Studi itu tentang persepsi dan partisipasi masyarakat di sekitar Batanghari.
Hasil riset mendapati mayoritas warga mengetahui pencemaran Sungai Batanghari disebabkan limbah dan maraknya aktivitas tambang. Di sisi lain, warga juga mengetahui bahwa air dari sungai itu berperanan penting. Merupakan sumber air baku untuk memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat. Sebagian besar PDAM di wilayah Jambi sejak lama memanfaatkan air dari Sungai Batanghari sebagai sumber air baku mereka.
Survei juga mendapati masih rendahnya peranan pemerintah ataupun tokoh masyarakat memberikan sosialisasi akan pentingnya konservasi DAS. Ia pun mengimbau agar kedua pihak mengambil peran terkait dengan lebih optimal.
Dosen Geografi Universitas Gadjah Mada, Luthfi Muta’ali, mengatakan sangat penting untuk memastikan adanya kebijakan tata ruang daerah yang berpihak pada keseimbangan ekosistem DAS. Selama ini, kebijakan tata ruang di daerah menjadi celah terjadinya alih fungsi lahan. Itulah yang menjadi pintu masuk kerusakan lingkungan.
”Hingga saat ini tata ruang hampir di seluruh daerah di Indonesia masih abu-abu sehingga dapat dengan mudah dipermainkan,” katanya. Persoalan lainnya, penentuan DAS sering kali minus batas wilayah ataupun ekologinya. Kewenangannya pun belum jelas batasannya.
Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi Rudi Syaf menceritakan peran serta masyarakat lokal ternyata efektif menjaga hutan sekitar DAS Batanghari dari alih fungsi. Ia pun mencontohkan konservasi di lanskap Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba) yang merupakan hulu Batanghari. Upaya yang dilakukan masyarakat setempat berhasil menekan laju deforestasi hingga nol dalam dua tahun terakhir.
Bahkan, masyarakat telah memetik langsung manfaatnya. Air bersih dimanfaatkan untuk energi listrik melalui pembangkit listrik mikro hidro (PLMH). Manfaat lainnya lewat dana insentif jaga karbon alias zero carbon sebesar Rp 1 miliar per tahun. Dana itu yang diberikan salah satu pendonor asal Swedia telah dimanfaatkan masyarakat setempat yang berjumlah 1.259 keluarga. Mereka menerima bantuan bahan pangan. Selain itu diadakan pula sunatan massal.