Banjir menjadi musibah berulang di Kalbar. Perubahan iklim dan kerusakan lingkungan diduga punya andil dalam terjadinya musibah itu.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·4 menit baca
PONTIANAK, KOMPAS — Banjir menggenangi ratusan rumah di Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Banjir ini merupakan kejadian ke sekian kali di provinsi itu.
Tiga hari terakhir banjir melanda Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang. Camat Nanga Tayap Monri, Senin (6/9/2021), menuturkan, 2.423 keluarga terdampak banjir di sembilan desa. Jumlah rumah terendam 492 rumah. Jalur lintas Kalimantan pun terputus.
Akibat banjir, toko-toko di ibu kota Kecamatan Nanga Tayap sebagian besar tutup. Akses ke desa-desa lainnya, misalnya akses menuju Sungai Kelik, lumpuh total, tidak bisa dilintasi kendaraan karena digenangi banjir. ”Ketinggian banjir ada juga yang 80 cm. Banjir yang terjadi kemungkinan kiriman,” ujar Monri.
Pemerintah kecamatan sudah membuat posko pengungsi. Ada 21 keluarga yang mengungsi di gedung taman kanak-kanak dan di tenda yang disiapkan di lapangan sepak bola. Ada juga sebagian warga memilih mengungsi ke tempat keluarga mereka yang berada di dataran tinggi.
”Pemerintah kecamatan juga telah menggalang bantuan berupa sembako bagi pengungsi, salah satunya menggalang bantuan dari perusahaan,” ujar Monri.
Banjir juga menggenangi jalan lintas Kalbar di Nanga Tayap. Ketinggian banjir mencapai 70 cm di jalur itu. Akibatnya, kendaraan sulit melintas. Tidak sedikit kendaraan mogok setelah nekat melintasi banjir. Ada juga travel yang memilih jalur alternatif. Namun, kondisi jalur alternatif juga tak begitu baik pada musim hujan.
Yustinus (34), warga Nanga Tayap, menuturkan, banjir di Nanga Tayap sebelumnya memang pernah terjadi. Namun, ini adalah banjir terbesar dalam kurun waktu beberapa dekade terakhir. Pada kejadian banjir sebelumnya bisa dikatakan tidak ada pengungsi dan debit air tak begitu besar.
Banjir juga melanda sejumlah daerah di Kabupaten Melawi, sekitar 300 kilometer dari Pontianak, ibu kota Kalbar. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Kalbar yang dikemukakan Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Provinsi Kalbar Novel Umar, banjir di Melawi menggenangi enam desa di Kecamatan Nanga Pinoh dan Kecamatan Pinoh Utara.
Banjir terjadi sejak Kamis (2/9/2021). Ribuan keluarga terdampak banjir akibat curah hujan tinggi beberapa hari lalu. Hingga Senin (6/9/2021) banjir masih terjadi di Melawi. Pemangku kebijakan setempat terus melakukan pendataan.
Kepala BPBD Kabupaten Melawi Syafarudin menuturkan, sejauh ini baru dua kecamatan melaporkan kejadian banjir. Sejumlah 1.184 keluarga terdampak banjir di enam desa di dua kecamatan tersebut.
Debi (26), warga Melawi, menuturkan, banjir di Melawi ada yang setinggi 1 meter, terutama di bantaran sungai. Menurut dia, banjir di daerah tersebut tahun ini sudah terjadi dua kali. ”Warga yang rumahnya dekat dengan bantaran sungai ada yang mengungsi ke rumah kerabat,” ujarnya.
Catatan Kompas, banjir di Kalbar pada 2021 sudah terjadi beberapa kali. Pada Januari banjir bandang menerjang Kabupaten Bengkayang sehingga jalan negara di perbatasan ada yang putus. Puluhan rumah rusak dan ribuan jiwa terdampak.
Banjir kala itu juga terjadi di Kabupaten Landak. Bulan Juli banjir terjadi di Kabupaten Kapuas Hulu. Ketinggian banjir bahkan berkisar 2 meter-7 meter.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalbar Nikodemus Ale menuturkan, peristiwa banjir menunjukkan perubahan iklim itu sudah terjadi akibat degradasi lingkungan. Masyarakat sudah berada dalam situasi perubahan iklim itu sendiri.
Dalam 5-10 tahun terakhir makin jelas adanya perubahan situasi. Banjir yang semula hanya setahun sekali dan luasannya hanya beberapa lokasi, lima tahun terakhir sering kali terjadi, bahkan selalu berulang setiap tahun. Kejadian banjir juga makin meluas. ”Yang dirasakan lima tahun terakhir sebetulnya dampak perubahan iklim,” ungkapnya.
Daerah konservasi saja masih terjadi banjir, bagaimana daerah yang bukan konservasi.
Nikodemus Ale mengatakan, dunia sedang menghadapi perubahan iklim. Terkait dengan itu, ada komitmen pemerintah, salah satunya menjadikan Kabupaten Kapuas Hulu menjadi kabupaten konservasi dengan tujuan menahan laju pembukaan tutupan hutan dan lahan. Ternyata komitmen itu, tambahnya, tidak begitu mampu dilakukan pemerintah.
Sebagai kabupaten konservasi, lanjut Ale, seharusnya Malawi dan Ketapang mampu mengamankan wilayahnya dengan tutupan-tutupan hutan. Namun, desakan investasi berbasis hutan dan lahan tidak mampu dibendung. Akibatnya, bencana-bencana ekologis juga kerap terjadi di daerah itu yang terjadi beberapa kali dalam lima tahun terakhir.
”Daerah konservasi saja masih terjadi banjir, bagaimana daerah yang bukan konservasi,” ujar Nikodemus.
Hal yang perlu dilakukan pemerintah di tingkat daerah adalah meninjau ulang tata kelola perizinan. Selain itu, pemerintah harus memitigasi dan mempersiapkan banyak hal, salah satunya kesiagaan masyarakat menghadapi dampak perubahan iklim.
Catatan Kompas pada 2018 yang diungkapkan Ketua Badan Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Kalbar, yang saat itu dijabat Stefanus Masiun, luas Kalbar 14,7 juta hektar. Sebanyak 11,7 juta hektar sudah terbebani berbagai izin: sawit 4,5 juta hektar, tambang 2,7 juta hektar, hak penguasaan hutan 1,3 juta hektar, dan hutan tanaman industri 3,2 juta hektar.