Salah Satu Masyarakat Punan di Kaltara Resmi Memiliki Hutan Desa
Salah satu Suku Punan yang menetap di Kabupaten Malinau, Kaltara, resmi memiliki hutan desa. Hak kelola hutan desa ini turut mendukung pengelolaan hutan berkelanjutan di sekitar Sungai Malinau.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
BALIKPAPAN, KOMPAS — Salah satu kelompok suku Punan yang sudah menetap di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, resmi memiliki hutan desa. Mereka mendapatkan hak kelola hutan desa seluas 18.891 hektar di Desa Long Jalan, Kecamatan Malinau Selatan Hulu.
Hal itu tertuang dalam surat keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor SK.1548/MenLHK-PSKL/PKPS/PSL.0/3/2021. Ketua Pengelola Hutan Desa Long Jalan, Baya Unyat, mengatakan, dengan adanya hak kelola ini, masyarakat mendapat jaminan bahwa hutan desa bisa mereka kelola tanpa takut ancaman izin hutan di sekitar tempat mereka tinggal.
”Kami akan memanfaatkan (hutan desa) untuk mengambil gaharu, damar, rotan, madu, buah hutan, dan tanaman obat,” ujar Baya Unyat, Senin (6/9/2021).
Baya bercerita, Desa Long Jalan pada mulanya adalah wilayah jelajah salah satu kelompok Suku Punan yang hidup berpindah pada 1990-an. Leluhurnya itu kemudian memutuskan untuk menetap di sana karena tersedia kebutuhan hidup, seperti air dan sumber pangan.
Dengan demikian, kelompok ini merupakan salah satu masyarakat Punan yang sudah menetap di Kaltara. Beberapa kelompok Punan masih ditemukan hidup berpindah. Pada 2018, Kompas mengikuti survei Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Tim itu menemukan keberadaan Punan Batu yang masih hidup berpindah-pindah di goa-goa karst dan hutan di hulu Sungai Sajau, Kabupaten Bulungan.
Desa Long Jalan yang dihuni 33 keluarga ini berada di sekitar hulu Sungai Malinau. Untuk menuju ke sana, dari pusat pemerintahan di Kecamatan Malinau Kota, perlu menempuh 2 jam perjalanan darat menuju Tanggung Nanga. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang perahu ketinting selama 6 jam perjalanan menelusuri Sungai Malinau.
Kami akan memanfaatkan (hutan desa) untuk mengambil gaharu, damar, rotan, madu, buah hutan, dan tanaman obat. (Baya Unyat)
Kepala Desa Long Jalan, Jhara Ungket, mengatakan bahwa masyarakat di sana memenuhi kebutuhan hidup dari berladang, berburu, dan menangkap ikan di Sungai Malinau. Ia menyebutkan, wilayah di sekitar desanya ada yang sudah tercatat sebagai pencadangan hak pengusahaan hutan (HPH) dua perusahaan kayu.
”Kami khawatir masa depan anak cucu kami. Bagaimana mereka akan hidup kalau hutan hilang. Untuk itu, kami berupaya sekuat tenaga bagaimana hak pengelolaan hutan ini bisa diperoleh. Meski prosesnya panjang dan lama, kami rela mengikuti supaya kami memiliki kejelasan pengelolaan,” ujar Jhara.
Masyarakat Punan di Long Jalan didampingi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi untuk mengurus hutan desa ini. Legalitas hutan desa ini keluar setelah batas-batas desa ditetapkan. Pada 2020, Bupati Malinau mengeluarkan SK Nomor 8 yang mengesahkan batas Desa Long Jalan dengan desa sekitarnya, yakni Long Lake, Long Pada, dan Long Nyau.
Manager Program KKI Warsi Yulqari berharap SK hutan desa ini akan semakin memperkuat tata kelola hutan yang berkelanjutan. Selain itu, hutan desa masyarakat Long Jalan ini diharapkan bisa maksimal memberi manfaat ekonomi, sosial, dan ekologi.
Salah satunya, kata Yulqari, masyarakat bisa mengamankan gaharu yang menjadi penopang ekonomi utama masyarakat Long Jalan. Sebab, sebelumnya, banyak orang dari luar daerah datang dan mengambil gaharu di sekitar desa seluas 53,411 hektar itu. Sebelum memiliki SK Hutan Desa, warga tak bisa menunjukkan legalitas kepemilikan hutan tersebut.
”Inilah yang penting untuk didukung bersama. Dengan hutan desa ini, masyarakat bisa memanfaatkan hutan dengan baik berbasis kearifan lokal mereka sehingga hutan lestari dan masyarakat sejahtera,” ujar Yulqari.
Hutan desa adalah salah satu kategori program perhutanan sosial KLHK. Setelah mendapat legalisasi, hutan desa dikelola oleh warga desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa. Dengan adanya SK terbaru ini, KLHK mencatat, saat ini terdapat 501.468 hektar perhutanan sosial dengan jumlah 76 SK.
Dengan adanya hak kelola hutan desa itu, masyarakat Punan di Long Jalan turut menjaga kualitas Sungai Malinau dengan mengelola hutan di sekitar sungai dengan kearifan lokal. Sebab, di sekitar hulu dan badan Sungai Malinau setidaknya ada lima perusahaan pemegang izin usaha pertambangan.
Aktivitas pertambangan itu beberapa kali mencemari Sungai Malinau dan merugikan masyarakat di sekitar hilir. Jaringan Advokasi Tambang Kaltara mencatat, pencemaran pernah terjadi pada 2010, 2011, 2012, 2017, dan 2020.
Terakhir, 7 Februari 2021, warga di sekitar aliran Sungai Malinau menemukan ratusan ikan mati mengambang akibat jebolnya tanggul milik salah satu perusahaan tambang batu bara. Air sungai menjadi lebih keruh dari biasanya. Saat itu, Perusahaan Daerah Air Minum Apa’ Mening Malinau menghentikan layanan air ke warga karena salah satu sumber airnya adalah Sungai Malinau.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kaltara Obed Daniel LT mengatakan, DLH Malinau sudah memberi peringatan kepada PT KPUC, pemilik tanggul yang jebol. Perusahaan tambang batubara itu diminta untuk memperbaiki tanggul, menabur benih ikan, dan membuat sistem peringatan dini.