Polda Papua Barat Bujuk Pengungsi di Maybrat Kembali ke Rumah
Pihak kepolisian membujuk ratusan warga dari 18 kampung di Kabupaten Maybrat yang mengungsi ke hutan agar kembali ke rumah.
Oleh
FABIO MARIA LOPES COSTA
·4 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS — Kepolisian Daerah Papua Barat masih berupaya mengajak warga Distrik Aifat Selatan, Kabupaten Maybrat, Papua Barat, untuk kembali ke rumah dari pengungsian di hutan. Ratusan warga itu mengungsi demi menghindari operasi pengejaran terhadap para pelaku penyerangan Pos Koramil Kisor pada Kamis (2/9/2021) lalu.
Kepala Bidang Humas Polda Papua Barat Komisaris Besar Adam Erwindi, saat dihubungi dari Jayapura, Papua, Senin (6/9/2021), membenarkan informasi warga di Kampung Kisor dan sekitarnya mengungsi ke hutan. Jajaran Polda Papua Barat bersama aparat TNI setempat di Kisor masih berupaya meyakinkan warga agar tidak takut dengan upaya penegakan hukum atas para pelaku yang menyerang Pos Koramil Kisor.
”Kami belum mengetahui jumlah warga yang mengungsi ke hutan. Saat ini anggota kami masih berupaya memersuasi warga kembali ke rumah dan beraktivitas seperti biasanya,” kata Adam.
Diketahui, sejumlah orang yang diduga kelompok kelompok kriminal bersenjata (KKB) menyerang Pos Koramil Kisor di Distrik (Kecamatan) Aifat Selatan pada 2 September sekitar pukul 03.00 WIT. Para pelaku yang berjumlah sekitar 20 orang menyerang dengan menggunakan parang.
Empat anggota TNI gugur dalam insiden ini, yakni Komandan Pos Koramil Kisor Letnan Satu (Inf) Dirman, Sersan Dua Ambrosius Yudiman, Prajurit Kepala Muhammad Dirhamsyah, dan Prajurit Satu Zul Ansari Anwar. Selain itu, dua anggota lainnya luka berat, yakni Sersan Satu Juliano dan Prajurit Satu Ikbal.
Adam menyatakan, baru satu pelaku yang ditahan dalam kasus ini. Pelaku berinisial MY tersebut telah ditetapkan sebagai tersangka. Dari hasil pemeriksaan, MY dan para pelaku lainnya menyerang Pos Koramil Kisor dengan menggunakan senjata tajam dan batu.
MY dijerat dengan sejumlah pasal, termasuk Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. Ancaman hukumannya pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun.
”Total pelaku dalam kasus ini berjumlah 20 orang. Kami masih menyelidiki adanya indikasi keterlibatan MY dengan organisasi Komite Nasional Papua Barat (KNPB),” ungkap Adam.
Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari Yan Christian Warinussy mengungkapkan, sekitar 700 warga mengungsi ke hutan sejak tiga hari lalu. Mereka takut menjadi korban dalam operasi aparat keamanan setelah peristiwa penyerangan Pos Koramil Kisor.
”Warga yang mengungsi berasal dari sejumlah kampung di Distrik Aifat Selatan, antara lain, Kisor, Krus, Imson, Buohsa, Asiaf Saman, Fuog, Fuog Selatan, Sorry, Awet Maim, Roma, Tolak, Kaitana, Yeek, Same Rakator, Sanem, Tahsimara, Hira Iek, dan Tahmara,” papar Yan.
Ia menuturkan, para pengungsi tidak hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak dan anak balita. Kondisi para pengungsi sangat memprihatinkan karena harus bertahan di tengah hutan selama berhari-hari.
Saya bersama Gubernur Papua Barat dan Kapolda akan melindungi masyarakat dari ancaman teror seperti penyerangan Pos Koramil Kisor.
”Warga merasa sangat ketakutan menjadi korban dalam operasi ini. Kami berharap operasi penyisiran untuk mencari para pelaku tidak menyasar warga sipil yang tak bersalah,” ujar Yan.
Panglima Kodam XVIII/Kasuari Mayor Jenderal I Nyoman Cantiasa mengatakan, dirinya memberikan jaminan dalam upaya pengejaran para pelaku tetap mengedepankan keselamatan masyarakat. Sebab, keselamatan masyarakat ini adalah hukum yang tertinggi.
”Saya bersama Gubernur Papua Barat dan Kapolda akan melindungi masyarakat dari ancaman teror seperti penyerangan Pos Koramil Kisor. Kami akan memperkuat setiap pos dan bersinergi dengan pihak kepolisian sehingga masyarakat dapat bekerja dengan aman,” kata Cantiasa.
Tiga masalah
Anggota DPD RI asal Papua Barat, Filep Wamafma, berpendapat, aksi KKB yang belum terselesaikan hingga kini disebabkan tiga faktor utama. Ketiga faktor ini meliputi adanya kejadian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu, adanya perbedaan pemahaman ideologi, dan penanganan pengaduan masyarakat Papua terkait pelanggaran HAM.
”Kejadian pelanggaran HAM di masa lalu ketika Papua berintegrasi dengan Indonesia dan pada saat Orde Baru dengan daerah operasi militer di zaman Presiden Soeharto. Sampai saat ini belum ada keinginan pemerintah untuk menyelesaikan konflik tersebut,” ujar Filep.
Filep menuturkan, Papua Barat masih memiliki keterbatasan dalam sumber daya manusia, tetapi memiliki kekayaan sumber daya alam yang luar biasa. Seharusnya, dengan bekal kekayaan sumber daya alam ini, masyarakat dapat menikmati kesejahteraan.
”Papua Barat masih termasuk dalam provinsi termiskin di Indonesia hingga kini. Seharusnya pemerintah memberdayakan warga lokal Papua untuk bekerja di daerah masing-masing sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan,” katanya.