Pengungsi Hazara dan Mona Lisa dari Afghanistan
Ia laki-laki Hazara yang dipaksa mengungsi sejak masih dalam kandungan. Ia lolos dari ancaman Taliban dan selamat dari jalur maut migrasi gelap. Yang hampir membunuhnya justru rasa sepi di pengungsian.
Bulan bersinar redup tengah malam pada 27 November 2015. Hassan Rahimi, yang saat itu berusia 20 tahun, dipandu dua penyelundup memasuki sebuah hutan di Semenanjung Malaysia.
Dalam rombongan itu ada tujuh pencari suaka asal Afghanistan, Pakistan, Somalia, dan Sudan. Di kerimbunan hutan yang gelap dan lembap, mereka menunggu saat yang tepat untuk menyelinap ke Pulau Sumatera.
Satu bulan sebelumnya, Rahimi membayar 7.000 dollar AS kepada penyelundup migran di Islamabad, Pakistan. Uang itu adalah hasil ia bekerja sebagai penyulam permadani selama bertahun-tahun di Quetta, kota di perbatasan antara Pakistan dan Afghanistan.
Orangtua Rahimi berasal dari Oruzgan, Afghanistan. Namun, pada 1995, mereka mengungsi ke Quetta karena diincar Taliban. Saat itu, Rahimi masih dalam kandungan ibunya.
”Kami adalah etnis Hazara yang dibantai Taliban. Sangat berbahaya bila kami tetap bertahan di Oruzgan,” kata Rahimi saat dihubungi, Jumat (27/8/2021).
Pada awal 1990-an, Taliban, yang artinya murid dalam bahasa Pasthun, lahir dari sekolah-sekolah keagamaan di utara Pakistan dekat Afghanistan. Milisi itu dengan cepat membangun kekuatan kemudian mulai menguasai kota-kota besar, seperti Qandahar pada 1994, Jalalabad pada 1994, Herat pada 1995, dan Kabul pada 1996.
Afghanistan dihuni beberapa etnis, di antaranya adalah Pasthun, Tajik, Uzbek, dan Hazara. Saat Taliban berkuasa, etnis minoritas Hazara yang menganut Syiah menjadi sasaran kekerasan.
Selain soal agama, orang Hazara juga dibenci karena memiliki kesamaan ciri fisik dengan orang Asia timur. Konon, etnis Hazara adalah keturunan dari tentara Jenghis Khan, Kaisar Mongol yang menginvasi Afghanistan pada abad ke-13.
Nilai-nilai yang diyakini etnis Hazara juga bertentangan dengan hukum Syariat yang diusung Taliban. Misalnya, perempuan Hazara bisa menikmati lebih banyak kebebasan dibandingkan dengan perempuan dari etnis lain di Afghanistan. Selain itu, orang Hazara terkenal piawai di bidang seni rupa, sastra, dan musik, yang mana itu dilarang Taliban.
Hal itu kemudian memicu kebencian dan akhirnya memuncak di Mazar-i Sharif pada 1998. Human Right Watch (HRW) memperkirakan sedikitnya 2.000 orang dibunuh Taliban di kota itu. Selain itu, HRW juga mendapat banyak laporan tentang pemerkosaan dan penculikan.
Jalur maut
Dini hari, sekitar pukul 03:00, penyelundup menyuruh Rahimi dan para pencari suaka lain beranjak dari hutan menuju laut. Sebuah perahu kayu dengan mesin tempel telah menunggu di bibir pantai.
Itu adalah pertama kali Rahimi menaiki kapal seumur hidup. ”Saya ketakutan. Perahu melaju sangat kencang dan kami basah kuyup karena dihantam ombak,” ujarnya.
Perahu kayu memang kerap digunakan penjahat untuk menyelundupkan manusia di perbatasan Indonesia dan Malaysia. Hal itu sangat berbahaya. Sudah banyak pekerja migran yang meninggal akibat perahu yang terbalik karena kelebihan muatan.
Kecelakaan paling parah terjadi pada 2 November 2016. Ketika itu, kapal pengangkut 93 pekerja migran Indonesia ilegal dan lima anak balita dari Johor Bahru tenggelam di perairan Batam. Sebanyak 54 orang meninggal dan enam orang hilang.
Di tengah ganasnya Selat Malaka, Rahimi memeluk erat ransel satu-satunya yang ia bawa dari Quetta. Ransel itu berisi beberapa helai baju dan foto-foto keluarga.
”Saya teringat keluarga. Setelah mengungsi ke Pakistan pun, etnis Hazara tetap diincar Taliban dan kelompok jihadis lain. Mereka ingin memusnahkan kami,” ucap Rahimi.
Setelah Amerika Serikat menginvansi Afghanistan pada 2001, banyak pemimpin Taliban dikabarkan bersembunyi di Quetta. Sejak 2008, kelompok-kelompok jihadis semakin marak menyerang penganut Syiah di Pakistan.
”Setiap hari, saat berangkat kerja, saya merasa tak yakin apakah bisa kembali ke rumah dengan selamat,” kata Rahimi mengenang hidupnya ketika di Pakistan.
Menjadi pengungsi
Setelah beberapa jam ”disiksa” Selat Malaka, perahu kayu para pencari suaka akhirnya sampai di Riau. Di sana, para penyelundup lain telah menunggu untuk membawa Rahimi dan kawan-kawannya dengan mobil ke kantor Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) di Jakarta.
Setelah mendapat status pencari suaka dari UNHCR, Rahimi lalu ditempatkan di Pekanbaru, Riau. Di sana, ia hidup dalam naungan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM). IOM memberi tempat tinggal dan membiayai hidup para pencari suaka.
Meski demikian, para pencari suaka tak diizinkan meninggalkan kota dan tak boleh bekerja. Hal itu membuat Rahimi tertekan. Pada tahun pertama di Pekanbaru, ia mengalami frustrasi berat, dan lebih banyak mengurung diri di kamar yang gelap.
”Saya sedih sekali setiap kali dipanggil pengungsi. Menjadi pengungsi bukan keinginan saya. Dulu, penyelundup bilang saya hanya akan berada paling lama tiga tahun di Indonesia, tetapi ini sudah 6 tahun dan tak ada kepastian,” ucapnya.
Laporan terbaru UNHCR pada Maret 2021 mencatat, sedikitnya ada 13.497 orang di Indonesia yang berstatus pengungsi dan pencari suaka. Mereka terdiri dari 73 persen orang dewasa dan 27 persen anak-anak di bawah usia 18 tahun.
Para pengungsi ini setidaknya tersebar di sepuluh titik besar, di antaranya Jakarta, Medan, Makassar, Tanjung Pinang, dan Pekanbaru. Sebanyak 56,18 persen pengungsi berasal dari Afghanistan dengan jumlah 7.583 orang.
Baca juga : Unjuk Rasa Pencari Suaka Asal Afghanistan di Jakarta
Mona Lisa
Pada akhir 2016, Rahimi belajar melukis untuk menyelamatkan diri dari tekanan mental. Melukis membantunya menyalurkan perasaan. Lewat lukisan, ia bercerita tentang derita dan trauma yang dialami pengungsi.
Sejak enam bulan lalu, untuk ”membunuh” sepi di pengungsian, Rahimi juga mengunggah beberapa video tentang aktivitas melukisnya ke Youtube. ”Saya harus melakukan sesuatu. Bila diam saja, penyakit jiwa akan ’membunuh’ saya,” katanya.
Pada 25 April 2021, BBC Indonesia memberitakan, dalam tiga tahun terakhir setidaknya ada 13 pencari suaka Afghanistan yang bunuh diri di Indonesia. Kekhawatiran akan masa depan adalah masalah utama yang membuat mereka bunuh diri.
Ketua perkumpulan untuk perlindungan hak pengungsi, SUAKA, Rizka Argadianti mengatakan, pemerintah pusat dan daerah di Indonesia perlu memberikan akses seluas-luasnya bagi masyarakat yang ingin memberikan pelayanan kepada para pencari suaka. Ini bisa jadi salah satu jalan untuk meningkatkan layanan kesehatan mental kepada pengungsi, sekaligus membantu mereka agar bisa berbaur dengan masyarakat lokal.
Baca juga : Mengabaikan Pengungsi, Mengabaikan Kemanusiaan
Dari ratusan lukisan yang telah ia gambar, sosok perempuan bermata hijau adalah yang paling berkesan. ”Perempuan itu kami kenal sebagai Mona Lisa dari Afghanistan. Sorot matanya sungguh indah dan ajaib,” ucapnya.
Perempuan yang ia maksud adalah Sharbat Gula. Fotografer Steve McCurry memotret dia pada 1984. Foto itu kemudian menjadi sampul majalah National Geography edisi Juni 1985.
Sharbat Gula adalah perempuan dari etnis Pasthun, etnis para milisi Taliban. Sementara Rahimi dari etnis Hazara yang diburu dan dibantai Taliban.
”Sharbat Gula adalah pengungsi dan korban perang seperti saya. Saya tak menyimpan dendam kepada etnis Pasthun yang membunuh orang Hazara. Seni tidak mengenal kebencian, dan saya pun hanya ingin kedamaian,” kata Rahimi.
Rahimi menggantungkan lukisan Sharbat Gula di dinding kamarnya. Mata Sharbat Gula yang hijau dan sorotnya tajam menjadi pelita bagi Rahimi menghadapi masa-masa berat di pengungsian.
”Satu-satunya yang saya harapkan adalah kebebasan. Saya terlahir sebagai pengungsi, dan saya tak ingin sampai mati tetap menjadi pengungsi,” ucapnya.