Tersisihkan, Bahasa Retta asal Alor Semakin Rawan Punah
Pemerintah hendak merevitalisasi bahasa daerah Retta asal Alor Barat Laut, Nusa Tenggara Timur. Retta adalah bagian dari 31 bahasa daerah di Alor.
Oleh
KORNELIS KEWA AMA
·2 menit baca
KALABAHI, KOMPAS — Eksistensi bahasa daerah Retta asal Alor Barat Laut, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur, semakin terancam punah. Selain tidak populer dalam keseharian anak muda, ritual budaya menggunakan bahasa Retta juga tidak lagi diselenggarakan para tetua adat.
Di Kecamatan Alor Barat Laut, setidaknya ada tiga bahasa daerah yang sempat marak digunakan warga. Selain Retta, ada juga bahasa Alor dan Adang. Semuanya, kata budayawan Alor Semuel Atta, Minggu (5/9/2021), menjadi bagian dari 31 bahasa daerah di Alor.
Khusus Retta, bahasa ini digunakan di Desa Ternate Selatan, Kepang Biakabang, Ambadul, dan Desa Kepang Boka Sele di Pulau Ternate. Retta juga digunakan di Desa Pura Selatan di Pulau Pura.
Akan tetapi, nasib Retta kini di ujung tanduk. Sejak lima tahun, Retta mulai terancam punah. Sedikitnya 600 rumah tangga di Pulau Ternate dan Pulau Pura sudah jarang menuturkannya. Untuk pergaulan, warga memilih bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia juga dipilih untuk memudahkan penyampaian materi pelajaran bagi siswa PAUD dan SD.
”Bahasa daerah dianggap udik, terbelakang, dan tidak bermanfaat bagi masa depan,” katanya.
Unsur budaya, sebagai garda terdepan menjaga bahasa daerah, juga tidak kokoh lagi. Ritual yang mengutamakan bahasa Retta tidak lagi diselenggarakan para tetua adat. Selain itu, kesenian daerah, seperti lagu, tarian, dan pantun daerah, pun jarang dibawakan.
Salah satu momen menjaga eksistensi bahasa Retta kini saat pelaksanaan hari pasar di Alor Barat. Bahasa Retta masih digunakan dalam proses jual beli masyarakat berusia 40 tahun ke atas. (Semuel Atta)
”Salah satu momen menjaga eksistensi bahasa Retta kini saat pelaksanaan hari pasar di Alor Barat. Bahasa Retta masih digunakan dalam proses jual beli masyarakat berusia 40 tahun ke atas,” katanya.
Staf Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Moses Ferdinandus, mengatakan, dalam kajian lapangan, faktor keyakinan warga juga ikut memengaruhi laju kepunahan bahasa daerah itu.
Dia mengatakan, ada agama yang melarang penduduk lokal menyelenggarakan seremonial adat. Alasannya, tradisi-tradisi lokal itu dianggap sebagai kepercayaan terhadap takhayul.
Ke depan, Moses mengatakan, revitalisasi bahasa Retta akan segera dilakukan. Sejumlah kegiatan budaya lokal akan dilakukan. ”Ada pentas lagu-lagu daerah, puisi dan sajak berbahasa Retta, pantun, dan cara berdialog dalam bahasa Retta,” kata Moses.
Keseriusan program ini diteguhkan lewat penandatanganan kesepahamam antara Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Alor pada Minggu. Kepala Disdikbud Alor Albert Ouwpoli mengatakan, bahasa Retta akan dipelihara lewat pergelaran seni dan budaya lokal.
”Retta juga akan masuk dalam muatan lokal pendidikan di SD dan SMP di daerah penuturnya. Kami juga akan memperjuangkan agar akan ada penulisan kamus bahasa Retta,” katanya.