Ikhtiar Bali Mengangkat ”Kasta” Minuman Khasnya
Tuak, arak, dan brem merupakan tiga minuman beralkohol khas ”Pulau Dewata” yang di dalamnya terkandung budaya dan kearifan lokal Bali.
Pelancong yang pernah mengunjungi Pulau Dewata hampir pasti mengenal keberadaan tuak, arak, dan brem. Minuman beralkohol khas Bali itu tak lekang oleh zaman dan bahkan kini menjadi lebih berkelas.

Proses pembuatan arak Bali secara tradisional di Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, ketika didokumentasikan, Senin (9/8/2021). Warga memproduksi arak dari bahan nira kelapa.
Fred B Eiseman Jr dalam buku Bali, Sekala and Niskala (1995) mengulas mengenai masyarakat Bali, tradisi, dan keahliannya. Salah satu yang diangkat Eiseman adalah produk minuman beralkohol atau mikol khas Bali, meliputi tuak, arak, dan brem.
Tuak adalah minuman hasil fermentasi dari nira kelapa, nira lontar, atau nira enau. Adapun arak dihasilkan dari proses distilasi tuak. Sementara brem dihasilkan dari ”memasak” beras ketan dengan ragi.
Ketiganya mengandung alkohol dengan kadar berbeda. Kandungan alkohol arak mulai dari 15 persen, tuak sekitar 10 persen, dan brem 3-5 persen. Selain dikonsumsi, arak juga digunakan dalam ritual adat dan keagamaan bersama arak, yakni sebagai petabuhan atau persembahan suci kepada bhuta atau alam.
Bagi Ketut Derka (56), Perbekel (Kepala Desa) Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, Karangasem, tuak dan arak merupakan warisan turun-temurun yang tetap dipertahankan. Tidak hanya menyangkut mata pencarian warga Desa Tri Eka Buana, tuak dan arak juga berkaitan dengan ritual bernama jaga-jaga.
”Tradisi jaga-jaga ini diwariskan leluhur sebagai bentuk persembahan agar warga desa terhindar dari kekuatan negatif,” kata Derka ketika ditemui, Senin (9/8/2021).
Baca juga: Bea dan Cukai Siap Fasilitasi Legalisasi Arak Bali

Pemerintah Provinsi Bali memiliki Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan atau Destilasi Khas Bali. Pergub Bali No 1/2020 itu mengatur tentang pemanfaatan, penguatan, dan pelindungan minuman beralkohol khas Bali sebagai keberagaman budaya Bali. Pergub Bali No 1/2020 itu disosialisasikan di Denpasar, Rabu (5/2/2020).
Penjelasan serupa disampaikan Jero Mangku Juli (65), tetua Desa Tri Eka Buana. Tradisi jaga-jaga dilangsungkan setiap satu tahun pada Tilem Sasih Kesanga atau menjelang hari raya Nyepi. Warga desa menggiring sapi dari Pura Puseh melintasi wilayah desa sampai tiba di setra atau makam di desa. Dalam ritual itu, warga menggunakan arak dan tuak sebagai petabuhan yang dituangkan di atas sesajian yang disiapkan di area setra.
”Tradisi jaga-jaga tetap kami jalankan sampai sekarang. Ritual jaga-jaga ini diyakini sebagai upaya menetralisir kekuatan alam yang bersifat buruk sehingga desa mendapat kedamaian,” kata Jero Mangku Juli, yang juga kakak dari Perbekel Ketut Derka, awal Agustus lalu.
Usaha keluarga
Bagi sebagian warga Bali, memproduksi tuak, arak, dan brem merupakan usaha yang digeluti secara turun-temurun. Salah satunya Ida Bagus Rai Budarsa (56). Pria yang akrab dipanggil Gus Rai ini merupakan penerus perusahaan keluarga Fa Udiyana.
Tuak dan arak merupakan warisan turun-temurun yang tetap dipertahankan. Tidak hanya menyangkut mata pencarian warga Desa Tri Eka Buana, tuak dan arak juga berkaitan dengan ritual bernama jaga-jaga. (Ketut Derka)
Fa Udiyana didirikan orangtua Gus Rai, yakni Ida Bagus Oka Gotama, sekitar 1968. Perusahaan minuman beralkohol ini sudah berizin. Fa Udiyana memiliki merek dagang Dewi Sri dengan produk, di antaranya, brem dan arak Bali.

Brem Bali merek Dewi Sri yang diproduksi Fa Udiyana, Sanur, Kota Denpasar.
Gus Rai tetap menjaga keberlanjutan usaha keluarga itu sembari mengembangkan produk dengan membuat wine bermerek Hatten Wines. Gus Rai membangun industri wine dengan memaksimalkan pemanfaatan bahan baku berupa anggur yang ditanam di Bali.
”Kini sudah ada sekitar 10 jenis anggur yang digunakan sebagai bahan baku di pabrik kami,” kata Gus Rai, pemilik Hatten Wines yang juga penerus perusahaan keluarga, Fa Udiyana, yang memproduksi arak dan brem Bali dengan merek Dewi Sri.
Baca juga: Arak Bali Pun Jadi ”Hand Sanitizer”
Langkah memproduksi wine itu sekaligus mengisi ceruk pasar minuman beralkohol di Bali. Sebagai destinasi wisata internasional, menurut Gus Rai, Bali memiliki kebutuhan besar akan minuman beralkohol. Produk wine yang dihasilkan Hatten Wines, misalnya, banyak diserap untuk kepentingan pariwisata. Begitu pula produk brem bali yang pernah mendapatkan pasar cukup besar semasa 1970 sampai 1980.
”Brem Bali saat itu menjadi oleh-oleh khas Bali. Bapak Joop Ave saat itu sering menggunakan minuman brem sebagai koktail saat mengadakan jamuan,” ujar Gus Rai, Jumat (6/8/2021).
Jero Mangku Juli juga memproduksi arak sebagai usaha turun-temurun yang diwarisi dari orangtuanya. Meski sudah berumur, ia masih sanggup memanjat pohon kelapa setinggi 20 meter untuk menyadap nira kelapa.
Regulasi

Proses pembuatan arak Bali secara tradisional di Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem, Senin (9/8/2021).
Kegairahan kembali membuat minuman beralkohol secara home industry, terutama arak, tidak lepas dari adanya Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan/atau Distilasi Khas Bali yang diumumkan Gubernur Bali Wayan Koster pada Rabu (5/2/2020). Regulasi itu dimaksudkan untuk memanfaatkan minuman hasil fermentasi dan distilasi khas Bali yang dihasilkan krama atau warga Bali secara turun-temurun menjadi sumber ekonomi yang akan meningkatkan kesejahteraan krama (warga) Bali.
Baca juga: Brem, Tuak, dan Arak Bali Diatur Pergub
Pengelola Koperasi Konsumen Arak Semeton Bali, I Made Oka Wijaya (42), mengatakan, tidak sedikit orang memproduksi arak atau minuman hasil fermentasi dan distilasi lainnya setelah terbitnya Pergub Bali tersebut. Pergub itu diasumsikan sebagai regulasi yang melegalkan penjualan minuman beralkohol produksi lokal.
Mereka kemudian bergabung menjadi anggota koperasi lantaran berkeinginan dipermudah mengurus izin penjualan ”mikol”, termasuk minuman olahan mengandung alkohol. Namun, setelah bergabung dengan koperasi dan memperoleh edukasi, anggota koperasi memahami bahwa regulasi itu juga menetapkan aturan main tata niaga minuman hasil fermentasi dan distilasi secara ketat.
Made Oka mengungkapkan, sekitar 96 persen dari 720-an anggota koperasinya adalah pekerja sektor pariwisata yang sedang menganggur atau dirumahkan karena tempat mereka bekerja sedang tidak beroperasi akibat terdampak pandemi Covid-19. Untuk mendukung anggotanya, koperasi mereka juga bekerja sama dengan investor dalam mengembangkan produk minuman beralkohol hasil distilasi sesuai regulasi pemerintah. Selain itu, koperasi juga mengembangkan usaha simpan pinjam, pengantaran barang, serta penyelenggaraan acara dan desain grafis di koperasi.
Adapun Derka mengungkapkan, mereka di Desa Tri Eka Buana juga membentuk koperasi sebagai wadah usaha yang menampung arak produksi petani setempat dan menjualnya sebagai bahan baku arak yang diproduksi pabrik berlisensi. Koperasi yang dibentuk bernama Koperasi Bersama Sejahtera Padat, yang merupakan singkatan dari petani arak Desa Tri Eka Buana, dengan anggota sekitar 40 petani arak.
Semangat dan kegairahan petani arak difasilitasi pemerintah, termasuk pula Pemerintah Provinsi Bali. Kepala Bidang Kelembagaan di Dinas Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah Provinsi Bali Ketut Meniarta mengatakan, pemerintah melalui dinas terkait, termasuk Dinas Koperasi dan UKM Provinsi Bali, berupaya agar petani arak di Bali menghasilkan arak berkualitas mulai dari bahan bakunya.
Namun, menurut Meniarta, upaya yang sedang digencarkan pemerintah untuk menaikkan kualitas dan mengangkat derajat arak Bali juga terimbas situasi pandemi Covid-19. ”Banyak restoran dan hotel yang sedang tidak beroperasi akibat pandemi Covid-19,” kata Meniarta.
Kendala lainnya adalah tingginya tarif cukai untuk minuman beralkohol. Dampaknya, harga jual arak Bali menjadi lebih mahal.
Meski tak mudah, ikhtiar untuk mengangkat ”kasta” tuak, arak, dan brem Bali terus dilakukan. Lebih dari sekadar produk minuman beralkohol, di dalamnya terkandung budaya dan kearifan lokal Bali.