Menyigi Ulang Filosofi ”Alam Takambang Jadi Guru”
Karya-karya yang dipamerkan Edy, seolah mengingatkan, alam takambang jadi guru patut direnungkan ulang. Masihkah kita belajar dari alam? Atau menunggu alam dengan caranya sendiri memberikan pelajaran kepada kita.
Ranah Minangkabau dikenal punya alam indah. Keindahan itu hadir tidak hanya dari lanskap alami, seperti pegunungan, perbukitan, hutan, lembah, dan sungai, tetapi juga dari garapan nenek moyang, antara lain areal persawahan, perladangan, dan permukiman. Perpaduan anugerah alam dan goresan tangan manusia itu menghadirkan panorama yang menawan.
Alam Minangkabau yang indah itul coba diabadikan dan disajikan oleh fotografer cum budayawan Eddy Utama dalam pameran etnofotografi ”Minangkabau Cultural Lanscape” pada 28 Agustus hingga 7 September 2021. Ada sekitar 75 foto berbagai ukuran yang dipajang di galeri Taman Budaya Sumatera Barat, Padang.
Pameran dibuka di Taman Budaya Sumbar, Padang, Sabtu (28/8/2021) sore. Pertunjukan happening art ”Manggaro”, yaitu tarian tunggal oleh Susasrita Lora Vianti yang diiringi pertunjukan musikal barabab oleh Hasanawi. Pertunjukan ”Manggaro” atau menghalau burung di sawah itu memperkuat tema pameran yang banyak menampilkan foto panorama dataran tinggi Minangkabau yang agraris.
Foto tahun 2009 di Gunuang Rajo, Batipuh, Tanah Datar, menggambarkan puluhan petak sawah terbentang berjenjang-jenjang. Tanaman padi mulai dari yang baru disiangi, baru berbuah, menguning, hingga usai di panen, menciptakan gradasi warna eksotis. Separuh bagian dari foto, di bawah persawahan, tumbuh menjulang pepohonan hijau dan kelapa. Sungai jernih berbatu di antara pohon kelapa melengkapi keindahan.
Dalam foto lainnya, tahun 2021 di Padang Tarok, Baso, Agam, areal persawahan terbentang di bawah lembah nan curam. Sebagian besar sawah dipenuhi hijaunya padi yang baru ditanam. Di sejumlah sudut berdiri rumah beratap gonjong. Pohon kelapa dan pinang berdiri bertumpak-tumpak. Di pinggiran lembah, tumbuh subur pepohonan hutan.
Selain itu, karya Edy juga menampilkan lanskap perkampungan adat Minangkabau. Dalam sebuah foto tahun 1997 di Batipuah, puluhan rumah, umumnya bergonjong dan berbahan kayu, berdiri di sebuah dataran. Perkampungan di pinggir areal persawahan itu asri dengan selingan pepohonan di beberapa sudut rumah.
Karya lainnya, selain menampilkan keindahan panorama Tabiang Takuruang, Gunung Marapi, air terjun, hutan, dan sebagainya, juga menampilkan aktivitas manusia membajak sawah, menjunjung karung, bermain pacu jawi, hingga tradisi pesta panen bakaua adat. Beberapa panorama kawasan pesisir disajikan pula sebagai selingan sekaligus pembanding.
Foto-foto bertema lanskap budaya Minangkabau yang Edy pamerkan itu adalah buah tangan dari upayanya menjelajah nagari-nagari di Sumbar, terutama di kawasan dataran tinggi. Melalui foto-foto itu, ia hendak menyajikan hasil karya nenek moyang masyarakat Minangkabau dalam meneroka dan mengelola alam berabad-abad silam. Warisan itulah yang dinamakan lanskap budaya.
Saya sangat sedih. Lembah Harau yang dulu saya bayangkan sebagai salah satu geopark yang sangat penting, itu sudah hilang. Itu betul-betul rusak.
Pusat alam atau perkampungan tradisional Minangkabau tempo dulu berada di dataran tinggi, terutama di Luhak Nan Tigo (Tanah Datar, Agam, dan Limapuluh Kota). Daerah yang berpalung-palung, lembah-lembah sempit, dan kecuraman ekstrem itu, tidaklah mudah untuk digarap. Walakin, itu mampu digarap para pendahulu. Filosofi alam takambang jadi guru (belajar dari alam yang terbentang) menjadi pegangan.
”Dari beberapa produk yang tertinggal, terlihat kemampuan, kekuatan, dan kearifan, serta pengetahuan mereka meneroka dan mengelolanya, dengan cara yang tidak bertentangan dengan alam. Ada sinkronisasi, ada keharmonisan,” kata Edy.
Warisan itu dapat dilihat dari kawasan permukiman tradisional Minangkabau. Edy mengatakan, di sekitar permukiman selalu ada hutan, sawah, ladang, dan perumahan. Dalam penggarapannya, semuanya sudah ada hitung-hitungannya sehingga tata ruang lingkungan terjaga dengan indah.
Dilihat secara kasatmata, kawasan tersebut punya potensi bahaya, seperti bencana longsor. Namun, itu tidak terjadi dalam ratusan tahun karena sudah diperhitungkan. Beda halnya dengan kawasan baru yang terkadang mengabaikan karakteristik alam sehingga rawan terhadap bencana.
Yonariza, guru besar di Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Universitas Andalas, mengatakan, dilihat dari proses evolusi, lanskap Minangkabau sudah mencapai ke tahap finalnya dan itu yang sudah dipertahankan sejak berabad-abad yang lalu. ”Ini dikenal dengan lanskap berkelanjutan,” kata Yonariza, dalam tulisan pengantar pameran Edy.
Menyigi ulang
Dalam pameran kali ini, Edy tidak menampilkan foto-fotonya dalam kanvas besar. Foto-foto dicetak paling besar 40 cm x 50 cm dan paling kecil 8 cm x 10 cm. Salah satu alasan memilih format yang relatif kecil agar pengunjung melihat lebih dekat dan lebih detail foto-foto itu. Secara simbolik, ini menjadi semacam imbauan agar semua orang kembali mendekatkan diri ke alam sebagaimana yang dilakukan nenek moyang.
Alih-alih ukuran foto yang relatif kecil, ketidaknyamanan dalam pameran justru karena tidak adanya teks keterangan foto. Ini menyulitkan penikmat untuk mendeteksi lokasi, tanggal pemotretan, dan kegiatan masyarakat, yang tidak familiar. Di foto, hanya dituliskan nama Edy Utama dan tahun pengambilan foto.
Edy mengakui, teks keterangan foto memang tidak dibuat. Beberapa tempat memang belum banyak diketahui orang. Itu menjadi pertimbangannya dalam meniadakan teks foto. Pria kelahiran Lubuk Sikaping, Pasaman, tahun 1959 ini, khawatir lokasi yang belum banyak dijamah itu viral dan rusak akibat eksploitasi berlebihan sebagaimana yang telah terjadi di tempat lain.
Pameran ini juga menjadi ajang untuk menyigi ulang filosofi alam takambang jadi guru yang dibanggakan dan sering diucapkan masyarakat Minangkabau. Edy melihat, sejauh ini, ada kecenderungan nila-nilai luhur itu ditinggalkan. Dari lanskap budaya yang tersisa dan ditampilkan ini, diharapkan dapat dipetik pelajaran tentang kearifan orang-orang terdahulu dalam meneroka dan mengelola alam.
Secara umum, kawasan yang terekam dalam kamera Edy sejak 1990-an memang masih relatif terjaga, seperti areal persawahan yang berjenjang-jenjang. Sebab, sejumlah lokasi berada di kawasan ekstrem dan sulit diubah. Walakin, beberapa lanskap budaya lainnya sudah mulai mengalami perubahan.
Perkampungan adat Minangkabau dalam foto tahun 1997 di Batipuah, sudah mengalami perubahan signifikan. Permukiman di kaki Gunung Marapi itu, yang awalnya didominasi bangunan bergonjong dan berbahayan kayu, yang ramah lingkungan, mulai tergantikan oleh rumah-rumah modern berbahan bata dan semen. Itu tergambar dalam foto objek yang sama tahun 2021.
Baca juga: Pusat Kebudayaan Minangkabau Diluncurkan
Perubahan lainnya adalah adanya kontras antara bangunan rumah adat dan rumah ibadah. Secara arsitektur, kata Edy, tidak ada yang baru dari bangunan rumah gadang, umumnya atapnya hitam-hitam dan hampir rubuh. Sebaliknya, bangunan masjid megah dengan warna yang menonjol dan satu kampung bisa lebih dari satu dan berdekatan.
Edy memaparkan, pada zaman saisuak (dulu) masjid ataupun surau menjadi satu-kesatuan dalam suatu permukiman. Antara rumah adat dan rumah ibadah tidak ada yang saling menonjol dalam lanskap itu. Sekarang, justru rumah ibadah seolah terpisah, menjadi semacam mercu suar.
”Apakah ini menandakan orang Minang memang lebih mementingkan membangun agama secara fisik dan membiarkan kebudayaan mereka ambruk? Saya tidak berani menjawab,” kata Edy.
Konversi lahan
Perubahan signifikan juga terjadi pada Lembah Harau di Limapuluh Kota. Perubahan inilah yang membuat Edy tak memajang satu pun foto ikon paling fenomenal di Sumbar itu. Ini bentuk protes meskipun sebagai fotografer ia mengaku tidak punya hak untuk protes.
Selama 2021, berkali-kali Edy ke Lembah Harau, mencoba mencari sudut pandang foto yang masih bisa diisolasi menjadi sebuah lanskap yang relatif otentik. Namun, ia tak pernah lagi menemukannya. Dewasa ini, banyak muncul homestay, warung, tiruan bangunan Eropa yang Instagramable, dan sejenisnya, yang menurutnya tanpa perencanaan desain.
”Saya sangat sedih. Lembah Harau yang dulu saya bayangkan sebagai salah satu geopark yang sangat penting, itu sudah hilang, menjadi obyek wisata yang tidak memikirkan otentisitasnya. Itu betul-betul rusak,” ungkapnya.
Baca juga: Menyibak Bayang-bayang Kepunahan Silek
Perubahan tersebut juga disadari Profesor Yonariza, yang melihat lanskap budaya Minangkabau, seperti hamparan sawah, mengalami ancaman konversi lahan. BPS mencatat, luas lahan sawah di Sumbar pada 2019 adalah 194.282 hektar, susut sekitar 14.000 hektar selama sepuluh tahun terakhir. Lanskap itu bisa hilang bila tak diberikan semacam sentuhan.
Karya-karya yang dipamerkan Edy, seolah mengingatkan, alam takambang jadi guru patut direnungkan ulang. Masihkah kita belajar dari alam? Atau menunggu alam dengan caranya sendiri memberikan pelajaran kepada kita.