Sejumlah Pakar Hukum Dukung Saiful Mahdi, Dosen yang Dijerat UU ITE
Dalam kasus Saiful Mahdi menunjukkan peradilan tidak melindungi kebebasan akademik. Di sisi lain dia menilai kampus tidak memperlihatkan kepemimpinan akademik yang bersifat kolegial dan egaliter.
Oleh
Zulkarnaini Masry
·2 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS — Sejumlah pakar hukum dari berbagai universitas menilai putusan hakim terhadap Saiful Mahdi, dosen Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, adalah preseden buruk bagi kebebasan dunia akademik. Dalam kasus ini, hukum diterjemahkan berlebihan karena semuanya bisa diselesaikan dengan diskusi.
Hal itu mengemuka dalam penyampaian eksaminasi terhadap putusan pengadilan terhadap Saiful Mahdi yang digelar daring, Rabu (1/9/2021). Para pakar hukum menyampaikan pandangan secara bergantian.
Dalam eksaminasi itu, mereka juga berharap Presiden Joko Widodo bisa memberikan amnesti kepada Saiful Mahdi. Pertimbangannya adalah melindungi kebebasan berpendapat di dunia akademik.
Sebelumnya, pengadilan menjatuhkan vonis bersalah kurungan tiga bulan terhadap Saiful Mahdi. Dia dinilai bersalah melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) saat menyampaikan kritik terhadap proses penerimaan pegawai di kampus yang dianggapnya sarat kecurangan. Kritik itu disampaikan dalam grup terbatas kampus.
Hal itu kemudian berujung pelaporan dekan fakultas teknik dengan alasan pencemaran nama baik. Kasusnya mulai disidang Desember 2019. Adapun vonis hakim dijatuhkan April 2020. Saiful Mahdi lantas mengajukan banding dan kasasi. Namun, gugatannya ditolak majelis hakim.
Dosen Ilmu Hukum di Universitas Syiah Kuala, Saleh Sjafei, menuturkan, putusan hakim terhadap Saiful Mahdi kurang memenuhi unsur keadilan, terutama bagi komunitas akademik. Saleh menilai majelis hakim hanya menerjemahkan hukum pada bentuknya tapi mengabaikan substansinya.
Dosen Hukum di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dhia Al Uyyun, menuturkan, seharusnya UU ITE tidak digunakan untuk hal remeh yang dapat diselesaikan dengan diskusi. Apalagi dunia akademik memiliki budaya kritis dan kritik sehingga dianggap wajar jika saling mengkritik.
Sementara Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Padjadjaran Susi Dwi Harijanti mengatakan, kasus Saiful Mahdi menunjukkan peradilan tidak melindungi kebebasan akademik. Di sisi lain, dia menilai kampus tidak memperlihatkan kepemimpinan akademik yang bersifat kolegial dan egaliter.
”UU ITE ditafsirkan berlebihan. Masalah Saiful Mahdi semestinya bisa diselesaikan secara egaliter di internal kampus,” kata Susi.