Dosen Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Saiful Mahdi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik melalui media sosial.
Oleh
ZULKARNAINI
·4 menit baca
BANDA ACEH, KOMPAS – Dosen Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala Banda Aceh Saiful Mahdi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencemaran nama baik. Kuasa hukum tersangka meminta Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi memediasi proses perdamaian.
Saiful Mahdi ditetapkan sebagai tersangka setelah diduga melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau ITE. Saiful dilaporkan ke polisi oleh Dekan Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala Taufik Saidi atas pesan elektronik yang dikirimkan ke grup Whatsapp “UNSYIAH KITA”. Dalam pesan itu, Saiful mengkritisi penerimaan calon pegawai negeri sipil di Fakultas Teknik pada akhir 2018.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Banda Aceh sekaligus tim kuasa hukum tersangka, Syahrul, dalam konferensi pers, Kamis (5/9/2019) menuturkan, pihaknya telah mengirimkan surat ke Jakarta meminta Kemenristekdikti turun ke Unsyiah untuk memediasi perdamaian. Menurut Syahrul, kasus-kasus di lingkungan kampus seharusnya diselesaikan di kampus, tanpa harus dibawa ke ranah hukum.
Saling kritik merupakan budaya yang wajar di dunia kampus. Jika kritik semacam itu diseret ke ranah hukum, akan menjadi preseden buruk dalam membangun debat-debat kritis di kampus.
“Upaya penyelesaian di kampus (Senat Unsyiah) sepertinya telah berakhir. Oleh karena itu kami mendorong Kemenristekdikti agar terlibat dalam kasus ini,” kata Syahrul.
Syahrul menuturkan, sebagai lembaga akademis, persoalan kampus semestinya dapat diselesaikan dengan bijaksana oleh pihak rektorat. Syahrul mengatakan, saling kritik merupakan budaya yang wajar di dunia kampus. Jika kritik semacam itu diseret ke ranah hukum, akan menjadi preseden buruk dalam membangun debat-debat kritis di kampus.
“Saya rasa Unsyiah memiliki mekanisme penyelesaian persoalan internal. Jika tidak punya, kami meminta Kemenristekdikti untuk memfasilitasi perdamaian,” ujar Syahrul.
Kronologi
Saiful Mahdi dilaporkan ke polisi dengan tuduhan mencemarkan nama baik melalui media sosial. Dia disangkakan melanggar Pasal 27 Ayat 3 UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman kurungan maksimal enam tahun penjara.
Pada Maret 2019, Saiful Mahdi mengirimkan pesan dalam grup Whatsapp “UNSYIAH KITA”. Isi pesan itu “Innalillahiwainnailaihi rajiun. Dapat kabar duka matinya akal sehat dalam jajaran pimpinan FT Unsyiah saat tes PNS kemarin. Bukti determinisme teknik itu sangat mudah dikorup? Gong XiFatCai!!! Kenapa ada fakultas yang pernah berjaya kemudian memble? Kenapa ada fakultas baru begitu membanggakan? Karena meritokrasi berlaku sejak rekrutmenannya pada medioker atau yang terjerat “hutang” yang takut meritokrasi.”.
Grup Whatsapp “UNSYIAH KITA” beranggotakan dosen-dosen dan civitas akademika Unsyiah. Pesan yang dikirimkan Saiful Mahdi pun berubah menjadi polemik. Sejumlah pihak memberi respons berbeda.
Menanggapi persoalan itu, Rektor Universitas Syiah Kuala, Samsul Rizal, juga mengirimkan surat teguran kepada Saiful Mahdi perihal Teguran Pelanggaran Etika Akademik tertanggal 6 Mei 2019. Dalam suratnya Nomor T/302/UN11.1/TP.02.02/2019 tanggal 22 April 2019, rektor meminta Saiful Mahdi menyampaikan permohonan maaf kepada Dekan Fakultas Teknik. Saiful diberikan waktu dalam 1 x 24 jam sejak surat itu diterima.
Namun, Saiful menolak meminta maaf. Pada 15 Mei 2019, Saiful membalas surat rektor dia keberatan dengan teguran dari Rektor Samsul Rizal. Saiful mengatakan tidak pernah menjalani sidang etik di Senat Universitas Syiah Kuala. Surat keberatakan itu ditujukan ke Samsul Rizal dengan tembusan kepada Menristekdikti.
Pada awal Juli 2019, Saiful Mahdi dilaporkan ke Polisi Resor Kota Banda Aceh. Setelah dua kali diperiksa sebagai saksi, pada 30 Agustus, Saiful Mahdi ditetapkan sebagai tersangka. Pada 2 September 2019, Saiful Mahdi diperiksa sebagai tersangka. Dia tidak ditahan karena dianggap kooperatif.
Saiful mengatakan tidak pernah menjalani sidang etik di Senat Universitas Syiah Kuala. Surat keberatakan itu ditujukan ke Samsul Rizal dengan tembusan kepada Menristekdikti.
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh Hendra Saputra menilai, kritik dalam konteks akademik bukan kriminal. Hendra mengatakan, kasus ini menjadi preseden buruk terhadap kebebasan menyampaikan pendapat terutama di dunia kampus.
“Nanti jika ada kaum akademis yang menyampaikan kritikan tidak tertutup kemungkinan kena pasal penghinaan. Kasus ini akan mematikan daya kritis,” kata Hendra.
Hendra menambahkan, dalam kasus ini, Kontras dan LBH Banda Aceh mendampingi Saiful Mahdi. Menurut dia, Saiful Mahdi membuka diri untuk meminta maaf, tetapi dengan catatan tidak ada syarat dan ancaman dari rektorat.
“Jika tidak mau meminta maaf, Saiful Mahdi diancam sanksi tidak mendapatkan jam mengajar, pemotongan gaji, dan penundaan kenaikan pangkat. Saiful mau saling memaafkan, tapi tanpa ada ancaman apapun,” ujar Hendra.
Hendra mengatakan, kampus perlu menyediakan ruang untuk menyelesaikan kasus-kasus internal seperti itu agar tidak menjadi ancaman bagi kebebasan berpendapat. “Jangan sampai debat-debat di kampus berakhir di polisi,” kata Hendra.
Rektor Universitas Syiah Kuala Samsul Rizal pada Senin, (2/9) seusai perayaan Milad Unsyiah ke-58 kepada wartawan mengatakan, hasil penilaian senat, Saiful Mahdi telah melanggar etik sehingga dia diminta untuk menyampaikan permohonan maaf.
Menurut Samsul, pesan Saiful di grup Whatsapp bukan kritik akademik, tetapi berisi fitnah. Oleh sebab itu, Samsul menyerahkan proses hukum kepada polisi. “Unsyiah tidak membatasi kebebasan berpendapat, namun jangan memfitnah dan menyebar hoaks,” kata Samsul.