Rudiat Menggerakkan Tahu Buku ke Pelosok Kampung di Bandung
Rudiat menyebarkan semangat literasi di Kabupaten Bandung bersama tahu dagangannya. Mantan buruh pabrik ini kini menjadi inspirasi warga kampung di pelosok Bandung lebih berdaya lepas dari kemiskinan.
Rudiat (43) mencoba meningkatkan taraf hidup orang-orang kurang beruntung dengan membaca buku lebih dari dua dekade. Sembari berjualan tahu, dia menularkan semangat literasi untuk membuka wawasan masyarakat di pelosok Bandung.
Minggu (8/8/2021) pagi, semangat itu kembali diguratkan Rudiat di depan rumahnya di Kampung Pasirhuni, Desa Pasirhuni, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung. Berkejaran dengan matahari yang mulai meninggi, ia cepat menata wadah penyimpanan besi di jok belakang sepeda motornya.
Bentuk wadah sederhana, terdiri dari tiga kotak modifikasi berkelir hitam. Dua kotak di samping kanan-kiri untuk menyimpan tahu. Dalam sehari, ia bisa membawa tahu buatannya hingga 50 kilogram. Tahu dengan rasa bervariasi dijual Rp 10.000 per bungkus.
Adapun kotak lebih besar, di tengah, diisi beragam buku bacaan miliknya. Ada buku tips beternak lele dan bebek hingga buku anak-anak yang kaya warna dan gambar.
Rudiat berjualan tidak hanya di sekitar Desa Pasirhuni. Setiap hari, ia bisa menempuh puluhan kilometer. Misalnya, ada pelanggannya di tengah perkebunan teh Pangalengan, berjarak 20 kilometer lebih dari Cimaung.
”Berjualan tahu memang untuk menyambung hidup, tetapi berbagi ilmu dengan membawa buku lebih dari itu. Ada tahu, ada buku. Ingin pintar baca buku. Mau sehat beli tahu,” ujar Rudiat yang sering melewati jalan rusak untuk berjualan tahu.
Tahun 2008, Rudiat membuka usaha sendiri. Pengalamannya membuat tahu sepuluh tahun lalu diandalkan jadi penopang utamanya. ”Dengan usaha sendiri, saya dan istri bisa fokus berkegiatan literasi dengan taman bacaan dan pustaka keliling,” ujar Rudiat. Tahu Buku, begitu Rudiat menamakan gerakan literasinya.
Salah satu tempat memulai gerakan literasi tidak jauh dari hidupnya. Dia memilih kampung halamannya di Ciawitali. Meski hanya berjarak 30 kilometer dari ibu kota Jabar, Kota Bandung, Kampung Ciawitali belum sejahtera, setidaknya di mata Rudiat.
Sebagian besar penduduknya hidup miskin dengan bekerja sebagai buruh tani dan bangunan. Rudiat merasa, salah satu penyebab banyak warga masih hidup dalam kemiskinan karena rendahnya minat literasi.
Baca juga : Ntis Sutisna dan Makmur, Dua Sahabat Pemelihara Literasi di Kota Kembang
”Sebagian anak mudanya tidak melanjutkan sekolah karena merasa tidak berguna untuk mencari duit. Makanya, waktu itu banyak yang menjadi pengangguran, suka berjudi, hingga dekat dengan dunia kriminal lainnya,” ujarnya.
Sayangnya, jalannya tidak mulus. Mulai mengajak warga untuk membaca buku sejak tahun 2010, usaha dia bertepuk sebelah tangan. Warga kampung tidak percaya buku bisa membuat hidup lebih baik. Pikiran mereka instan. Uang hanya bisa didapatkan bila bekerja, tidak dengan membaca buku.
Mengajak anak-anak
Rudiat tidak ingin menyerah. Salah satu strateginya, mengajak anak-anak membaca cerita bergambar dan buku pengetahuan. ”Saya mencoba membiasakan anak-anak membaca. Setelah mereka terbiasa membaca, saya bawakan buku yang lebih bervariasi,” katanya.
Perlahan usahanya berhasil. Dari hanya anak-anak yang tertarik, sebagian orangtua pun menaruh perhatian serupa. Salah satunya adalah Encih (52), pengusaha jahit di Kampung Ciawitali. Encih bahkan mengizinkan dia menyimpan buku bacaan di rumah Encih. Di saat ibu-ibu pekerja menjahit pesanan, anak-anak mereka menghabiskan waktu dengan membaca buku.
”Ternyata setiap hari makin banyak yang baca. Bukan hanya anak-anak, melainkan juga orangtuanya. Saya makin banyak bawa buku ke sana,” katanya.
Kebiasaan banyak warga membaca buku baru ternyata melapangkan banyak hal. Mereka semakin haus ilmu dan ingin belajar banyak hal dari bahan-bahan yang telah dibaca. Permintaan warga agar Rudiat memberikan pelatihan langsung tentang beternak lele hingga menjahit dikabulkan.
Dian (33), pemuda Kampung Ciawitali, merasakan perubahan setelah mengenal Rudiat dan buku. Dari awalnya kerja serabutan, dia dan beberapa pemuda lainnya bekerja sebagai pembuat ramset atau alat penyangga paku beton. Mereka mengerjakan borongan dari salah satu perusahaan bahan bangunan di Kabupaten Bandung.
”Kang Rudiat membuka pikiran kami. Kebiasaan membaca membuat kami tahu banyak hal, termasuk keahlian saat ini. Dulu pemuda-pemuda di kampung sini dianggap sebelah mata. Sekarang kami malah mengajak pemuda daerah lain untuk ikut berdaya di sini,” ujarnya.
Tidak hanya di Kampung Ciawitali, karya Rudiat menyebar ke berbagai tempat yang ia datangi berjualan tahu di pelosok Kabupaten Bandung. ”Setiap keluar rumah, jualan atau pelatihan, kalau ada yang mau meminjam buku, saya pinjamkan. Kalau kembali atau tidak, tidak jadi soal. Yang penting, mereka membaca,” ujar Rudiat.
Semangat literasi
Kegiatan ini pun mengundang perhatian dari berbagai kalangan. Para donatur berdatangan menyumbangkan buku. Untuk memuluskan niat baik para donatur, Rudiat lantas mendirikan Yayasan Rumah Kreatif Sehati pada tahun 2015.
Karyanya didengar juga oleh Istana Negara Republik Indonesia. Rudiat diundang, bersama 38 pegiat literasi, ke Istana. Dia bertemu Presiden Joko Widodo dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2017.
”Dulu tidak terbayang bisa bertemu presiden. Mau mikir makan saja susah,” ujarnya tertawa.
Mencintai buku
Pertemuan Rudiat dengan buku terjadi tahun 1997 di pasar buku bekas Jalan Dewi Sartika, Kota Bandung. Matanya tertumbuk pada buku seni rupa lusuh yang dipajang salah satu pelapak. Seperti bertemu jodoh, ia merasa ada hal penting dalam buku itu. Dari tidak suka, ia mulai merasakan cinta.
”Saya sebenarnya tidak suka membaca. Namun, setelah memaksakan membacanya, saya jadi banyak tahu. Ada banyak teknik menggambar yang membuat kerajinan saya jadi tambah bagus. Pembeli tambah banyak,” ujar Rudiat yang kala itu bekerja membuat beragam kerajinan daur ulang.
Baca juga : Yaya Risbaya Menanam Kebaikan dalam Lagu Anak
Sejak itu, ia ketagihan membaca buku tanpa memandang ragam genre dalam beragam kesempatan. Dia bahkan terbiasa membeli satu buku setiap 1-2 bulan sekali. Uniknya, beberapa kawan justru ketularan kebiasaan barunya itu. Tidak sedikit yang ingin meminjam dan ikut baca.
”Karena banyak dipinjam dan tidak dikembalikan, lebih dari 100 buku yang hilang. Tapi tidak apa-apa asalkan yang mengambil menggunakan buku ini dengan baik dan mendapatkan ilmu,” tuturnya tersenyum.
Bukan tanpa alasan Rudiat berkenalan dengan literasi di umur yang tidak lagi muda. Masa kecilnya jauh dari buku. Karena masalah biaya, ia belajar sembari berjualan gorengan dari sekolah hingga ke para petani di sawah.
Itu pun tidak lama. Rudiat putus sekolah di kelas IV SD atau saat berumur 10 tahun. Selain karena lelah melakoni keduanya, ia korban perundungan rekan-rekannya. Sekolah sembari berjualan gorengan sepertinya dianggap aib oleh para pelakunya.
”Dagangan saya sampai dibuang. Saya didorong sampai jatuh. Kisahnya memang seperti sinetron. Saya sungguh mengalami masa-masa itu,” kata Rudiat.
Putus sekolah di usia belia, Rudiat disibukkan mencari cara bertahan hidup. Ragam pekerjaan ia lakukan, mulai dari menjahit hingga membuat kerajinan berbahan bekas. Meski tidak lulus sekolah, daya kreatifnya terasah karena terdesak keadaan mengisi perut. Beragam pekerjaan dikerjakan sekaligus dengan harapan mendapat penghasilan berlipat.
Pada 1996, di sela membuat kerajinan daur ulang, Rudiat berusaha menambah penghasilan dengan menjadi buruh pembuat tahu di Kampung Pasirhuni hingga tahun 2002. Dia lalu bekerja di pabrik konfeksi di Soreang, Kabupaten Bandung. Di tengah semua kesibukan itu, ia tak lupa membaca dan menularkan hobinya itu kepada rekan-rekan kerjanya.
Saat ini Rudiat punya koleksi lebih dari 6.000 buku. Kegiatan berjualan tahu sambil membawa buku pun terus digeluti untuk menyebar semangat literasi, di samping menghidupi keluarganya. Pandemi Covid-19 tidak menghalanginya berbagi ilmu.
”Saya akan terus menyebarkan virus literasi ini karena saya sadar, hidup bisa berubah dengan membaca buku. Saya tidak ingin berhasil sendiri,” ujarnya.
Rudiat berhasil membuktikan kepada orang-orang di sekitarnya, membaca mampu meningkatkan derajat hidup. Setiap lembaran buku tidak hanya menambah ilmu, tetapi juga meningkatkan pola pikir untuk menjadi lebih mandiri dan berdaya.
Rudiat
Lahir: Bandung, 5 Maret 1978
Istri: Ratna Suminar (40)
Anak: 3
Kegiatan: Pendiri Yayasan Rumah Kreatif Sehati