Reforma Agraria Tak Mudah Diselesaikan secara Parsial...
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menyatakan, reforma agraria tak mudah diselesaikan secara parsial. Dibutuhkan kerja sama proaktif dari semua kementerian dan lembaga untuk menyelesaikan masalah agraria di Indonesia.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Reforma agraria tidak mudah diselesaikan secara parsial. Kerja sama proaktif dari semua kementerian dan lembaga pun dibutuhkan untuk menyelesaikan permasalahan agraria di Indonesia.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menuturkan bahwa Presiden Joko Widodo menginginkan reforma agraria dan perlunya penguatan kebijakan reforma agraria. ”Tidak cukup dibagi, tetapi bagaimana setelah dibagi itu masyarakat ditingkatkan kesejahteraannya,” kata Moeldoko saat memberikan arahan pada Rapat Koordinasi Gugus Tugas Reforma Agraria Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) 2021 dan Diskusi Publik bertajuk ”Road to Wakatobi” secara daring, Rabu (1/9/2021).
Sehubungan dengan hal itu, Moeldoko menuturkan diperlukan keterlibatan sejumlah kementerian dan lembaga. Keterlibatan aktif sejumlah kementerian itu dibutuhkan sehingga tanah-tanah yang diberikan bisa membawa pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan. Presiden Jokowi, sebut Moeldoko, menekankan hal ini berulang-ulang.
Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada Agustus 2021, total capaian redistribusi tanah seluas 1,20 juta hektar (ha) atau 26,67 persen dari target yang ditetapkan sebanyak 4,5 juta seluas 4,5 juta hektar. ”Kontribusi utama lemahnya capaian ini adalah masih belum terlaksananya kegiatan pelepasan kawasan hutan untuk reforma agraria,” ujar Moeldoko.
Lebih jauh, Moeldoko mengatakan, ada aspek kegiatan reforma agraria yang masih perlu menjadi perhatian bersama, yakni terkait penanganan konflik-konflik lahan. Secara khusus telah dibentuk tim percepatan penyelesaian konflik agraria dan penguatan kebijakan pada tahun 2021. Tim ini diketuai Kepala Staf Kepresidenan dengan Wakil Ketua Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).
Kontribusi utama lemahnya capaian ini adalah masih belum terlaksananya kegiatan pelepasan kawasan hutan untuk reforma agraria. (Moeldoko)
Percepatan penanganan dan penyelesaian konflik agraria menjadi salah satu kegiatan prioritas yang diarahkan oleh Presiden Jokowi pada tahun 2021. Kantor Staf Presiden hingga saat ini secara total menerima 1.191 kasus atau aduan yang disampaikan langsung ke Istana. Perinciannya, sebanyak 251 kasus berkaitan kehutanan, 32 kasus berkaitan dengan aset Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan 349 kasus terkait perkebunan swasta.
”Kasus dengan jumlah paling banyak, (yakni) 357 (kasus) terkait dengan aset negara. (Kasus ini) terdiri dari 229 kasus beririsan dengan areal PT Perkebunan Nasional dan 128 kasus beririsan dengan wilayah Perhutani. Berikutnya, 54 kasus terkait infrastruktur, 21 kasus terkait transmigrasi, dan 127 kasus berkaitan dengan kasus-kasus privat atau, misalnya, sengketa waris. Dan, ini, lebih banyak kita hindari kalau yang bersifat individu ini,” ujar Moeldoko.
Kolaborasi
Tim bersama penanganan konflik 2021 merupakan kolaborasi kerja pemerintah dan organisasi masyarakat sipil. Tim terdiri dari KSP, Kementerian LHK, Kementerian ATR/BPN, 4 kementerian koordinator, 9 kementerian/lembaga, TNI dan Polri, serta PTPN dan Perhutani.
Tim juga melibatkan empat organisasi masyarakat sipil bidang agraria dan perhutanan sosial. ”Nah, ini kelebihannya teman-teman. Kalau sebelumnya CSO (organisasi masyarakat sipil) itu tidak kita kita libatkan, maka organisasi sipil ini (sekarang) kita libatkan,” kata Moeldoko.
Prioritas penanganan konflik disusun berdasarkan asesmen bersama yang dilakukan kementerian/lembaga terkait dan empat organisasi masyarakat sipil. Hasilnya, dari 1.191 kasus atau aduan tersebut terdapat 137 lokasi prioritas penanganan pada 2021.
”Selain itu terdapat pula beberapa lokasi yang memang belum masuk pada 137 lokasi prioritas, namun tetap akan kita tangani bersama. Namun, sekali lagi, kita berfokus kepada 137 dulu. Jangan ke mana-mana. Agar apa? Agar keinginan Presiden itu menghasilkan atau istilahnya kelihatan, jangan hanya konsep atau diskusi saja,” ujar Moeldoko.
Jangan sampai dalam penyelesaian konflik agraria kita justru merugikan masyarakat adat, masyarakat setempat, dan menguntungkan pengusaha saja. (Sofyan Djalil)
Moeldoko menuturkan kegiatan seperti rapat koordinasi dinilai perlu karena hampir sebagian besar persoalan kasus atau konflik agraria berkaitan dengan lintas kementerian, lintas lembaga, sehingga tidak mudah diselesaikan secara parsial. Untuk membedah persoalan masyarakat perairan, misalnya, diperlukan keterlibatan Kementerian LHK, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dan Kementerian ATR/BPN.
Menteri ATR/BPN Sofyan Djalil menuturkan penyelesaian konflik agraria jangan sampai merugikan masyarakat adat atau masyarakat setempat. ”Jangan sampai dalam penyelesaian konflik agraria kita justru merugikan masyarakat adat, masyarakat setempat, dan menguntungkan pengusaha saja,” kata Sofyan.
Gubernur Kepri Ansar Ahmad menuturkan Provinsi Kepri adalah provinsi kelautan. Sekitar 200.000 rumah tangga nelayan tinggal di berbagai pesisir pantai. ”Maka, kami menyambut baik kebijakan, sebagai tindak lanjut UU No 11/2020 (tentang Cipta Kerja) bahwa rumah tangga nelayan di atas kawasan-kawasan laut di pesisir itu bisa diberikan hak,” katanya.
Menurut Ansar, problem yang tersisa mungkin tinggal rapat koordinasi secara teknis antarkementerian di tingkat pusat. Hal ini karena problem pemberian hak atas tanah di atas laut juga berkaitan dengan kementerian-kementerian yang lain, seperti KKP.
Diskusi daring yang turut membahas tentang legalisasi aset permukiman masyarakat di atas air pasca-Undang-undang Cipta Kerja ini dihadiri pula oleh Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra, wali kota dan bupati se-Kepulauan Riau, serta kepala kantor wilayah seluruh Indonesia.