Penjualan Pulau-pulau Kecil dan Nelayan yang Terpinggirkan
Pulau kecil kerap dipandang hanya sebagai komoditas eksotis yang bisa dibeli siapa pun yang berkantong tebal. Padahal, di sana, ada penduduk asli yang hidupnya bakal terancam apabila ekosistem pesisir mereka rusak.
Oleh
PANDU WIYOGA
·4 menit baca
Pada 21 Agustus 2021, akun Instagram @goliath.auction memajang foto Pulau Tambelan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, dalam sebuah unggahan untuk dilelang dengan harga mulai dari Rp 1,4 triliun. Sebenarnya unggahan itu terlihat sebagai guyonan saja karena akun tersebut sehari-hari hanya melelang pakaian, barang elektronik, dan kosmetik.
Namun, unggahan itu ditanggapi serius Gubernur Kepri Ansar Ahmad. Pada 27 Agustus, ia mengatakan, Pulau Tambelan tidak mungkin bisa dijual siapa pun. Selain karena pulau itu sudah berpenduduk, di pulau itu juga terdapat banyak aset pemerintah.
Pulau Tambelan adalah salah satu dari 56 pulau kecil di Kecamatan Tambelan. Meskipun Tambelan bagian dari Kepri, lokasinya lebih dekat Kalimantan Barat. Tambelan terpisah 340 kilometer dari pusat pemerintahan Kepri di Pulau Bintan.
”Perlu ditelusuri (kabar itu) agar hal seperti ini tidak bermunculan lagi karena itu selalu membuat masyarakat heboh. Nanti akan kami telusuri secara saksama dan cermat agar sumber (unggahan itu) bisa diketahui,” kata Ansar.
Memang, ini kesekian kalinya nama pulau-pulau kecil di Kepri dicomot, diunggah untuk ditawarkan di internet. Sebelumnya, Privateislandsonline.com memajang pulau-pulau kecil, seperti Ajab, Nikoi, Joyo, Pangkil, Ayam, Kembung, dan Yudan untuk ditawarkan laman mereka.
Selain di Kepri, kabar penjualan pulau juga terjadi di Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Nusa Tenggara Barat. Yang kemudian menjadi pertanyaan, bisakah sebuah pulau kecil dikuasai perorangan atau swasta?
”Pemanfaatan pulau untuk pengembangan investasi, mekanismenya sudah ada melalui penanaman modal dalam negeri atau penanaman modal asing. Itu tidak dilarang pemerintah, tetapi harus melalui prosedur dan kaidah yang berlaku,” ujar Ansar.
Yang dimaksud pulau kecil, dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, adalah pulau yang luasnya kurang dari atau sama dengan 2.000 kilometer (km) persegi. Artinya, luas maksimal pulau kecil lebih kurang setara dengan tiga kali luas Jakarta.
Peraturan di Indonesia mengizinkan pulau kecil dikelola oleh perusahaan atau pribadi. Syaratnya, paling sedikit 30 persen luas pulau harus dikuasai langsung oleh negara untuk kawasan lindung, area publik, atau kepentingan masyarakat.
Ketentuan itu diatur dalam Peraturan Presiden No 34/2019 tentang Luasan Lahan dalam Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil serta Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang No 17/2016 tentang Penataan Pertanahan di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Perusahaan atau warga asing juga bisa mengelola pulau-pulau kecil dengan izin tertentu. Hak pengelolaan atas tanah oleh warga asing yang dimungkinkan hanyalah hak pakai. Hal itu diatur dalam Pasal 41 dan 42 Undang-Undang Pokok Agraria.
Sebelumnya, Pasal 26A dalam UU No 1/2014 mengatur izin pemanfaatan pulau kecil dan perairan sekitarnya dalam rangka penanaman modal asing hanya boleh dilakukan di pulau yang tidak berpenduduk dan tidak ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal. Namun, belakangan ketentuan itu dihapus sejak UU Cipta Kerja disahkan.
Privatisasi
Praktik investasi asing di pulau kecil banyak ditemukan dan umumnya bergerak di wisata bahari. Hal ini pernah disoroti Rektor Institut Pertanian Bogor Arif Satria, dalam opini ”Investasi di Pulau Kecil” yang dimuat harian Kompas pada 24 Januari 2017.
Investasi asing di pulau kecil bisa menjurus kepada ”privatisasi” pulau yang menutup akses publik. Persoalan ini bisa terjadi karena saat investor menguasai pulau, seolah mereka juga otomatis memiliki hak untuk menguasai perairan.
Bagi nelayan, pengaplingan inilah yang disebut sebagai coastal grabbing. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa nelayan termarjinalkan akibat tertutupnya akses publik, baik akses pulau maupun wilayah perairan sekitarnya.
Salah satu kelompok yang merasa termarjinalkan akibat penguasaan pulau kecil oleh investor adalah nelayan di Kabupaten Kepulauan Anambas, Kepri. Di daerah itu ada tiga pulau digarap menjadi resor, yakni Pulau Bawah, Sagu Dampar, dan Boboh.
Menurut Sekretaris Dewan Pimpinan Cabang Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kepulauan Anambas Dedi Syahputra, pulau-pulau kecil itu sebelumnya adalah tempat berteduh nelayan ketika cuaca ekstrem. Setelah pulau itu dikuasai secara privat, nelayan tidak diperbolehkan masuk ke pulau ataupun wilayah perairan sekitarnya.
Selain di Anambas, pengaplingan yang berujung kepada termajinalkannya masyarakat nelayan juga terjadi di Kepulauan Seribu, Jakarta. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mencatat 86 pulau di daerah itu telah dimiliki oleh perorangan dari total 110 pulau kecil.
Pulau-pulau privat itu dijaga ketat. Kalau ada perahu nelayan bersandar, mereka diusir dan disuruh menjauh. Akibatnya, nelayan terpaksa mengeluarkan biaya lebih untuk membeli bahan bakar saat melaut karena mereka harus mengambil jalan memutar.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan Abdul Halim menilai, penduduk asli memiliki pengetahuan lebih mendalam untuk memanfaatkan sumber daya alam di lingkungan mereka. Maka, pemerintah seharusnya memberi ruang lebih banyak kepada penduduk asli agar terlibat dalam rencana pengelolaan pulau-pulau kecil.
Membangun pulau-pulau kecil juga harus mengacu kepada prinsip keberlanjutan dan keadilan pesisir. Menurut Abdul, pemerintah perlu menyalakan semangat gotong royong agar kesejahteraan bersama bisa dirasakan hingga ke pulau terpencil dan terluar.
Adalah hak setiap warga negara menikmati kesejahteraan dan kewajiban negara untuk mewujudkannya, sebagaimana diamanatkan konstitusi negara. Pulau kecil bukan semata entitas geografis karena di sana jugalah wajah kehadiran negara seharusnya terlihat dan dirasakan.