Banjir Membawa Pasir dan Kayu Gelondongan Merusak 80 Rumah di Sigi
Banjir berulang terus terjadi di Desa Rogo, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulteng. Solusi jangka panjang yang komprehensif sangat dibutuhkan.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·5 menit baca
SIGI, KOMPAS — Banjir yang membawa pasir dan kayu gelondongan melanda Desa Rogo, Kecamatan Dolo Selatan, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Minggu (29/8/2021) malam. Tidak ada korban jiwa dalam bencana itu. Hanya saja, banjir merusak 80 rumah yang menyebabkan 200 orang mengungsi. Solusi jangka panjang perlu dipikirkan karena banjir sering melanda desa tersebut.
Banjir terjadi pada Minggu pukul 19.00 Wita di Dusun 1, Desa Rogo, sekitar 45 kilometer dari Palu, ibu kota Sulteng. Air dari Sungai Rogo meluap dan mengangkut pasir, lumpur, serta kayu gelondongan, menyusul hujan lebat sekitar dua jam sebelumnya.
Pasir dan lumpur menumpuk di rumah warga hingga ketinggian 1 meter. Di beberapa rumah, pasir tak bisa dikeluarkan karena membentuk hamparan. Rumah-rumah warga yang terendam pasir dan lumpur terutama berada di sisi utara dan barat Sungai Rogo. Lumpur dan pasir juga merendam komoditas pertanian warga, yakni kakao dan kelapa, di sisi utara Sungai Rogo.
Sementara kayu gelondongan menumpuk atau tertahan di sungai di sekitar jembatan. Kayu-kayu tersebut berukuran mulai dari 2 meter hingga 10 meter. Sungai Rogo dengan lebar sekitar 10 meter berhulu di Gunung Watupele di sisi barat Desa Rogo. Gunung itu berhutan lebat.
Dari kayu-kayu yang terbawa banjir itu ada yang berukuran besar, ada pula yang kecil. Sebagian kayu sudah lapuk kulit luarnya, sebagian lagi masih tampak seperti kayu yang baru tumbang. Ada juga kayu yang masih utuh dengan akarnya.
Tiga alat berat telah menyingkirkan kayu-kayu tersebut dari sekitar jembatan ke tepi sungai sehingga pada Senin (30/8/2021) jembatan bisa dilalui. Jembatan yang berlebar 5 meter itu menghubungkan Dusun 1 dan dusun lain di Rogo serta bagian dari ruas jalan menuju Desa Bangga, desa paling ujung di Dolo Selatan.
Sebagian warga membersihkan bagian dalam rumah dari lumpur yang bisa dikeluarkan. Ini terutama di sisi barat sungai. Sementara di sisi utara dan timur, pasir membentuk hamparan hingga ke dalam rumah sehingga sulit untuk dikeluarkan.
”Saat banjir, kami mendengar gemuruh. Kami semua lari ke arah utara menyelamatkan diri sehingga tak ada warga yang menjadi korban,” kata Kalman (32), warga yang rumahnya terendam pasir dan lumpur sekitar 1 meter.
Kalman mengatakan, warga tak sempat menyelamatkan barang-barang di dalam rumah. Warga menyelamatkan diri hanya dengan pakaian di badan. Ia menyebutkan warga pada umumnya mengungsi ke rumah-rumah keluarga di Desa Rogo yang tak terdampak banjir dan desa-desa sekitar, seperti Poi dan Tulo. Warga juga masih terlihat di depan rumah mereka, berusaha untuk mengevakuasi barang yang bisa diselamatkan.
Kepala Desa Rogo Fuad Hudin menyatakan, warga terdampak banjir akan menempati hunian sementara (huntara) di Desa Rogo dan desa-desa sekitar. Kondisi huntara yang dibangun setelah gempa pada 28 September 2018 itu masih layak huni. ”Kami akan berkoordinasi dengan aparat desa lainnya,” ujarnya.
Ia menambahkan, warga diusahakan tak mengungsi secara komunal di huntara untuk mencegah penularan Covid-19. Pihaknya akan selalu mengingatkan warga dan para sukaralewan yang datang membantu untuk selalu menggunakan masker dan tidak berjabat tangan. Fuad memastikan kebutuhan warga akan dipenuhi.
Kayu-kayu tersebut mengalir dari hutan.
Saat ini sudah terbangun satu dapur umum. Dapur umum menyediakan air bersih, air minum, dan menjadi tempat penyaluran makanan siap saji untuk para penyintas banjir.
Sejak Senin pagi, banyak sukarelawan dari berbagai kelompok atau komunitas sudah terjun membantu warga. Mereka menyalurkan air mineral dan makanan siap saji (nasi bungkus). Posko kesehatan juga didirikan yang dioperasikan Rumah Sehat Badan Zakat Nasional Palu dan Pangkalan TNI AL Palu.
Soal kayu
Terkait dengan kayu gelondongan yang terbawa banjir, Fuad menyatakan, kayu-kayu tersebut mengalir dari hutan. Pihaknya sudah pernah melihat di hutan Gunung Watupele terdapat banyak titik longsor akibat gempa bermagnitudo 7,4 pada 28 September 2018.
”Longsor di hutan yang juga mengakut kayu membentuk kubangan di hulu sungai. Jika terjadi hujan, kubangan tersebut pelan-pelan jebol dan menjadi banjir bandang. Kami pun tetap harus waspada karena diperkirakan masih banyak kubangan yang belum jebol di daerah hulu,” ucapnya.
Berdasarkan pantauan Kompas,sebagian besar kayu tersebut memiliki bekas potongan rapi seperti dipotong dengan gergaji mesin (chainsaw). Safiudin (45), warga Dusun 1, Desa Rogo, menyatakan, dulunya warga memang menebang kayu untuk membuat rumah. Beberapa tahun terakhir, hal itu tak dilakukan lagi karena adanya larangan dari pemerintah.
Solusi jangka panjang
Untuk solusi jangka panjang, termasuk relokasi warga, Fuad menyatakan, hal itu masih perlu dikonsultasikan dengan berbagai pemangku kepentingan. ”Kalau boleh usul, kami minta agar di Sungai Rogo ini dibuat sabo dam seperti di desa lain di Dolo Selatan untuk menahan aliran material jika terjadi banjir,” katanya.
Sabo dam saat ini dibangun di sejumlah sungai di Dolo Selatan yang selama ini juga menyebabkan banjir, antara lain di Desa Bangga dan Desa Poi. Sabo dam dikerjakan Balai Wilayah Sungai Sulawesi III Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Banjir di Desa Rogo dari luapan Sungai Rogo sudah sering terjadi. Pada 14 September 2020, atau sekitar setahun lalu, banjir juga melanda Dusun 1. Sebanyak 20 rumah terendam pasir. Banjir juga mengangkut kayu gelondongan, hanya jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan banjir pada Minggu. Sebagian rumah tersebut tak lagi ditempati dan kembali direndam banjir lagi. Pada 2008, banjir bersumber serupa juga melanda desa. Saat itu banjir hanya berupa luapan air dengan sedikit pasir.
Terkait usulan sabo dam di Sungai Rogo, Kepala Balai Wilayah Sungai Sulawesi III Taufik menyatakan, pembuatan sabo dam perlu dikaji terlebih dahulu. Pihaknya akan menurunkan tim untuk mengkaji hal itu.
Untuk solusi saat ini, pihak balai akan mengeruk dan memperlebar sungai, dimulai dari titik sejauh sekitar 2 kilometer dari Desa Rogo. Berdasarkan pengamatan udara, ada kubangan di situ yang bisa jebol dan menyebabkan banjir lagi.
Safiudin mengemukakan, pihaknya meminta pemerintah memikirkan solusi jangka panjang. ”Apakah relokasi atau pengerukan sungai menjadi lebih besar sehingga tak meluap saat banjir, kami serahkan kepada pemerintah. Intinya, kami butuh solusi agar banjir tak terus-menerus terjadi,” ujarnya.