Prahara Perebutan Takhta Keraton Kasepuhan Cirebon
Keributan di Keraton Kasepuhan Cirebon harusnya tidak berlarut-larut. Menggali nilai baik keraton pada era digital ini lebih penting ketimbang memelihara perselisihan tak berujung.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·5 menit baca
Perebutan takhta Keraton Kasepuhan Cirebon, Jawa Barat, berujung ricuh. Kejadian itu tidak hanya merusak sejumlah fasilitas, tetapi juga menodai marwah keraton berusia ratusan tahun itu. Padahal, leluhur Cirebon sejak lama menitipkan pesan agar penerusnya selalu menghindari pertikaian.
Batu-batu masih berserakan di depan Jinem Pangrawit dalam Kompleks Keraton Kasepuhan, Rabu (25/8/2021) sore. Sejumlah pot bunga pecah dan tong sampah rusak. Sebuah kursi kayu terbalik di atas rumput. Puluhan polisi dan TNI bersiaga.
Beginilah suasana Jinem Pangrawit setelah aksi saling lempar batu oleh dua kelompok massa pada Rabu sekitar pukul 13.00. Tempat pangeran patih atau wakil sultan biasa menerima tamu itu kini kedatangan ”amarah”. Kemarahan yang juga melukai tangan salah satu jurnalis.
Dalam video yang beredar di media sosial, tampak sejumlah orang berkejaran, berteriak, dan saling melempar batu. Seorang polisi bahkan mengeluarkan pistol untuk membubarkan massa. Aparat juga patroli demi mencegah keributan susulan.
Belum diketahui pasti dari mana kedua massa yang bertikai. Namun, kericuhan terjadi setelah Sultan Sepuh Aloeda II RH Rahardjo Djali menggelar pelantikan perangkat Kasultanan Kasepuhan Cirebon. Padahal, di keraton sudah ada Sultan Sepuh XV Pangeran Raja Adipati Luqman Zulkaedin.
Semalam sebelum pengangkatan perangkatnya, keluarga Rahardjo didatangi kelompok massa yang meminta acara itu tidak dilaksanakan. Rabu pagi, Badan Pengelola Keraton Kasepuhan (BPKK) Cirebon juga mencoba membubarkan kegiatan itu karena tidak seizin Sultan Luqman.
Konflik internal ini menuai repons publik. Iis Apita, penyanyi pantura, misalnya, sempat tidak percaya dengan kericuhan itu. Namun, setelah mengonfirmasi di portal berita, kejadian itu benar adanya. ”Ngeri banget. Sesama saudara bisa rebutan gitu,” ucapnya.
Di media sosial, ungkapan keprihatinan menyeruak. Kerusuhan itu dianggap telah merusak nama baik Sunan Gunung Jati, pemimpin Cirebon abad ke-15. ”Sunan Gunung Jati menangis melihat ini,” tulis salah satu warganet.
Lastri (35), warga Indramayu, juga tak habis pikir mengapa polemik kepemimpinan keraton berujung dengan pertikaian. ”(Kericuhan) itu karena memperebutkan kursi raja? Pasti kursinya empuk, jadi banyak yang ingin,” ucapnya.
Sebenarnya, kekuasaan para sultan di Cirebon kian berkurang sejak perjanjian dengan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) 7 Januari 1681. Isinya, antara lain, kompeni berjanji melindungi sultan dan rakyatnya dari musuh. Sebaliknya, perdagangan dikuasai kompeni.
”Sultan-sultan di Cirebon tidak lagi mengatur pemerintahan dan bergeser menjadi penguasa secara budaya,” tulis Zaenal Masduqi dalam bukunya, Cirebon, dari Kota Tradisional ke Kota Kolonial (2011). Fungsi keagamaan juga mulai menyebar ke daerah dengan kehadiran pesantren.
Toto Sucipto dalam artikelnya, ”Eksistensi Keraton di Cirebon, Kajian Persepsi Masyarakat terhadap Keraton-Keraton di Cirebon” di Jurnal Patanjala Vol 2 (2010) menunjukkan, masyarakat menghormati sultan dan keluarganya karena keturunan Sunan Gunung Jati. Beliau merupakan salah satu dari sembilan wali, tokoh besar penyebar Islam di Jawa.
”Sebagian besar warga Cirebon memercayai kebudayaan keraton bisa mendukung kebudayaan nasional,” tulis Toto. Warga juga sepakat dengan pelestarian keraton. Kedatangan ribuan warga dari sejumlah daerah saat peringatan Maulid, misalnya, menjadi salah satu bukti keraton sebagai benteng budaya.
Di sisi lain, Keraton Kasepuhan merupakan ikon pariwisata unggulan Cirebon. Pada 2019, sebanyak 90.119 wisatawan datang ke sana. Angka tersebut mengalahkan kunjungan wisatawan di Keraton Kanoman dan Keraton Kacirebonan, yakni secara berurutan 11.421 orang dan 10.197 orang.
Dengan harga tiket masuk Rp 15.000, BPKK Cirebon sedikitnya meraup Rp 1,3 miliar pada 2019. Jumlah ini belum termasuk biaya masuk Museum Pusaka, parkir, dan lainnya. Artinya, uang berputar di keraton dan sekitarnya.
Dualisme
Akan tetapi, berbagai kelebihan keraton itu patut dipertanyakan seiring polemik dualisme kepemimpinan sejak medio 2020. Saat itu, Rahardjo menggembok salah satu gerbang keraton dan mendaku keturunan asli Sultan Sepuh XI PRA Adipati Tadjoel Arifin. Padahal, keraton waktu itu dipimpin Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat, ayah Luqman.
Sultan Sepuh XI atau Pangeran Djamaloedin Aloeda tidak memiliki anak laki-laki untuk meneruskan kepemimpinannya. Anak bungsunya, Ratu Hani, yang masih bayi, lalu ditukar dengan Pangeran Radja Alexander Goemelar Radja, warga keturunan Belanda (Kompas, 3/9/2020).
Apalagi, Sunan Gunung Jati berpesan, angadahna ing perpadu atau jauhi pertengkaran.
Alexander pun menjabat Sultan Sepuh XII, lalu diteruskan PRA Maulana Pakuningrat sebagai Sultan Sepuh XIII, dan PRA Arief. Ketika Arief mangkat pada 22 Juli 2020 dan digantikan PRA Luqman, konflik kian menjadi. Pengangkatan Luqman sebagai Sultan Sepuh XV yang dihadiri Gubernur Jabar Ridwan Kamil menuai penolakan dari sejumlah kerabat.
Selain Emil, sapaan Kamil, hadir dalam jumenengan, Wali Kota Cirebon Nashrudin Azis, Bupati Cirebon Imron Rosyadi, perwakilan Forum Silaturahmi Keraton Nusantara, dan kerabat keraton. Namun, Sultan Kanoman XII Cirebon Sultan Raja Muhammad Emirudin dan Sultan Kacirebonan IX Abdul Gani Natadiningrat justru tidak tampak.
Emil meminta para pihak untuk menyelesaikan polemik di internal keraton. Namun, menurut dia, kursi sultan tidak boleh kosong. ”Silakan diselesaikan secara musyawarah mufakat. Kami akan turun tangan (menyelesaikan polemik) jika diminta. Namun, itu langkah terakhir,” katanya (Kompas, 31/8/2020).
Pada saat yang sama, Rahardjo diangkat pendukungnya sebagai penjabat sementara sultan dan kini menjadi Sultan Sepuh Aloeda II. Pihaknya telah berupaya membuka dialog dengan keluarga PRA Luqman beberapa tahun lalu. ”Tetapi, mereka tidak mau terbuka dan cenderung mengabaikan kami sebagai keluarga besar,” ujarnya.
Direktur BPKK Cirebon Ratu Raja Alexandra Wuryaningrat, yang juga adik mendiang PRA Arief, mengatakan, hanya ada satu sultan di Keraton Kasepuhan, yakni PRA Luqman. Menurut dia, polemik keraton bisa menghambat pelestarian keraton. ”Jangan sampai dirusak marwahnya. Mengapa tidak bareng-bareng menjaganya?” ujarnya.
Pengamat sejarah Cirebon, Mustaqim Asteja, menilai, polemik rebutan kekuasaan di Keraton Kasepuhan yang berlarut-larut memicu keributan. ”Pemerintah, baik di tingkat kota maupun pusat, seharusnya turun tangan memediasi sejumlah pihak, seperti yang pernah dilakukan pemerintah Hindia Belanda. Semuanya harus mengutamakan musyawarah,” katanya.
Mustaqim yakin, keraton memiliki pangeran dan ulama yang bijak dan arif menyikapi polemik tersebut. ”Apalagi, Sunan Gunung Jati berpesan, angadahna ing perpadu atau jauhi pertengkaran,” ucapnya.