Jejak Alam Mewarnai Batik Yogya
Di tengah dominasi pewarna sintetis, penggunaan pewarna alam untuk batik terus didorong di Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain pelatihan untuk mengenalkan batik warna alam, katalog digital pewarna alam juga disusun.
Jauh sebelum dominasi pewarna sintetis, batik pewarna alam punya sejarah panjang di Daerah Istimewa Yogyakarta. Belakangan, gerakan itu kembali menguat. Di antara banyak tantangan, sejumlah pihak menggaungkan lagi semangat ramah lingkungan.
Salah satu usaha batik yang konsisten memproduksi batik dengan warna alam adalah Batik Jolawe di Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Usaha batik itu didirikan suami-istri Dedi H Purwadi (59) dan Wineng Endah Winarni (57).
Saat merintis usaha pada 2009, Dedi dan Wineng mengaku belum memakai pewarna alam. Sama seperti banyak pembatik lain, keduanya memakai pewarna sintetis. ”Awalnya kami masih pakai pewarna sintetis, belum kepikiran pewarna alam,” kata Dedi, Jumat (20/8/2021).
Akan tetapi, kebiasaan membatik dengan pewarna sintetis berubah setelah keduanya dihadapkan pada satu peristiwa. Wineng menuturkan, untuk membuat larutan pewarna sintetis, salah satu bahan kimia yang dipakai adalah soda kaustik atau soda api. Suatu saat, dia menyimpan soda api di dalam plastik berdekatan dengan wajan aluminium. Beberapa waktu kemudian, wajan itu ternyata berlubang setelah terkena soda api.
Peristiwa itu membuat Dedi dan Wineng menyadari betapa berbahayanya pewarna sintetis yang selama ini dipakai untuk membatik. Keduanya pun khawatir dampak pemakaian pewarna sintetis terhadap kesehatan mereka.
Saat meracik pewarna sintetis, misalnya, mereka harus mencampurkan soda api dengan air panas. Pencampuran itu menghasilkan uap yang rawan terhirup pembatik. ”Setiap membuat adonan naptol (pewarna sintetis), soda api dituang ke air panas sehingga seperti mendidih. Itu, kan, uapnya naik dan mesti terhirup. Kalau aluminium saja jebol, bagaimana dengan paru-paru?” ungkap Wineng.
Dari pengalaman itu, Dedi dan Wineng mencari alternatif pewarna yang tak berbahaya. Mereka pun mempelajari proses membatik dengan pewarna alam. Keduanya sempat belajar kepada pembatik di Surakarta, Jawa Tengah. ”Kami juga memanfaatkan hasil-hasil riset tentang pewarna alam dari internet,” kata Dedi.
Sejak 2010, mereka pun beralih ke pewarna alam. Berbagai bagian tanaman dimanfaatkan, seperti kulit buah jolawe, kulit kayu mahoni, kulit kayu tingi, daun indigofera, daun Strobilanthes cusia, kulit buah rambutan, dan sabut kelapa. Sebagian bahan didapat dari sekitar, tetapi ada juga yang dibeli.
Tantangan
Menurut Dedi, usaha batik warna alam masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Salah satunya, banyak konsumen terbiasa dengan batik pewarna sintetis. Batik seperti ini biasanya berwarna lebih cerah dan jenis warnanya beragam. Adapun kelir batik warna alam cenderung lebih lembut atau kurang cerah. ”Selera pasar sudah terbentuk puluhan tahun oleh pewarna sintetis. Jadi, kami harus membangun dulu pemahaman konsumen,” katanya.
Untuk meningkatkan pemahaman masyarakat, upaya edukasi pewarna alam juga dilakukan dengan rutin menggelar pelatihan. Hasilnya, Batik Jolawe pun mulai dikenal. Bahkan, pembeli batik dan peserta pelatihan bukan hanya dari Indonesia, melainkan juga negara lain, seperti Amerika Serikat, Australia, Denmark, Ceko, Spanyol, dan Swedia.
Aneka jenis pewarna alam juga masih digunakan para pembatik di Kampung Batik Giriloyo, Desa Wukirsari, Imogiri, Kabupaten Bantul. Kampung tak jauh dari kompleks makam raja-raja Mataram Islam di Imogiri itu merupakan salah satu kampung batik tertua di DIY.
Ketua II Paguyuban Batik Giriloyo Nur Ahmadi (43) menuturkan, aktivitas membatik di wilayah Giriloyo diperkirakan sudah ada sejak abad ke-17 saat Kerajaan Mataram Islam membangun kompleks makam di Imogiri. Saat itu, banyak abdi dalem Kerajaan Mataram Islam menginap di daerah itu untuk membangun dan merawat makam. ”Mereka berinteraksi dengan masyarakat Giriloyo sehingga warga di sini diajari membuat batik tulis,” ujarnya.
Nur mengatakan, pada awalnya, para pembatik di Giriloyo hanya membuat batik putihan atau tanpa warna. Batik putihan itu lalu disetor ke Kota Yogyakarta untuk diberi warna. Namun, lambat laun, para pembatik Giriloyo belajar melakukan pewarnaan sendiri. Awalnya, mereka memakai pewarna alam dari aneka jenis tumbuhan.
Akan tetapi, sejak 1980-an, para pembatik di Giriloyo beralih memakai pewarna sintetis. Kesadaran kembali memakai pewarna alam baru muncul kembali 2007. Saat itu, Kampung Batik Giriloyo mulai bangkit dengan terbentuknya kelompok-kelompok pembatik yang diikuti pembinaan dari berbagai lembaga. Setelah itu, Kampung Batik Giriloyo tak hanya jadi sentra batik, tapi juga destinasi wisata edukasi.
Saat ini, terdapat 540 pembatik yang tergabung dalam 12 kelompok di Kampung Batik Giriloyo. Mereka berasal dari tiga dusun di Desa Wukirsari, yakni Dusun Giriloyo, Cengkehan, dan Karang Kulon. Sehari-hari, mereka memakai aneka jenis pewarna alam, seperti kulit kayu mahoni, kulit buah jolawe, daun indigofera, dan daun mangga.
Meski begitu, Nur mengakui, para pembatik di Giriloyo masih memakai pewarna sintetis. Hal ini karena banyak konsumen masih menggemari batik dengan warna ngejreng atau cerah yang hanya bisa didapat dari pewarna sintetis. “Kami belum bisa menghilangkan pewarna sintetis karena masih banyak yang ingin batik dengan warna ngejreng-ngejreng, sedangkan warna alam kan soft (lembut),” ungkapnya.
Katalog digital
Upaya lain mendorong pemakaian pewarna alam juga dilakukan Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) di Umbulharjo, Kota Yogyakarta. Pada Mei 2021, lembaga di bawah Kementerian Perindustrian itu meluncurkan Natural Dyes Indexation (Nadin) atau Katalog Digital Pewarna Alam. Katalog digital itu dapat diakses di situs https://nadin.batik.go.id dan diharapkan mempermudah pengrajin menggunakan pewarna alam untuk membuat batik maupun produk mode lain.
Pelaksana tugas Kepala BBKB Titik Purwati Widowati mengatakan, sebelum Nadin diluncurkan, belum ada katalog pewarna alam berkonsep digital. Selain mudah diakses, katalog digital punya kelebihan lain, yakni warna yang dimuat tak berubah-ubah. “Kalau katalog cetak kan warnanya bisa memudar seiring waktu,” jelasnya, Kamis (19/8/2021).
Peneliti BBKB Irfa’ina Rohana Salma menjelaskan, Nadin memiliki 654 sampel warna yang dihasilkan dari sembilan jenis pewarna alam, yakni kulit kayu tingi, kulit kayu mahoni, kulit kayu jambal, kayu tegeran, kulit buah jolawe, kayu secang, pasta hasil olahan daun tanaman Indigofera tinctoria, pasta hasil olahan daun Strobilanthes cusia, serta soga yang merupakan campuran kulit kayu tingi, kulit kayu jambal, dan kayu tegeran.
Sembilan jenis pewarna itu lalu dikombinasikan dengan tiga jenis bahan mordan atau pengikat warna, yakni tawas, kapur, dan tunjung. Selain menyajikan warna dasar dari pewarna tunggal, Nadin juga menampilkan hasil warna tumpangan dari kombinasi dua pewarna.
“Untuk katalog itu, kami baru memakai satu jenis kain yang umum dipakai, yakni mori primisima. Kalau memakai kain berbeda, misalnya sutra, warna yang dihasilkan juga berbeda lagi,” tutur Irfa’ina.
Staf Teknologi Informasi BBKB Paras Trapsiladi menuturkan, setiap sampel warna di Nadin diberi keterangan mengacu katalog warna terbitan perusahaan asal Amerika Serikat, Pantone, yang jadi standar warna internasional. Setiap warna disertai keterangan bahan yang digunakan beserta takarannya, jenis bahan mordan, dan intensitas pencelupan kain.
Ketua III Paguyuban Pecinta Batik Indonesia Sekar Jagad, Afif Syakur, mengatakan, pada masa lalu, batik pewarna alam pernah berjaya. Bahkan, tanaman indigofera yang sering dipakai untuk pewarna alam batik pernah dijuluki emas biru karena menjadi komoditas berharga.
Dalam tulisan “Etnobotani Indigofera di Indonesia” di Jurnal Bioedukasi (2016), Muzzazinah mengatakan, saat mengunjungi Pulau Jawa tahun 1775, naturalis Carl Peter Thunberg melihat banyak tanaman indigofera dan sebagian telah diekspor ke Belanda. Indigofera juga pernah dijuluki masyarakat Eropa sebagai The King of Colour atau raja warna karena mampu menghasilkan warna biru yang tak luntur dan dapat terserap baik.
Namun, setelah pewarna sintetis ditemukan dan banyak beredar, pewarna alam mulai meredup. ”Karena orang mau yang instan, akhirnya memakai pewarna sintetis. Selain lebih murah, warnanya lebih bervariasi dan prosesnya cepat,” ujar Afif.
Baru beberapa tahun terakhir, pewarna alam mulai banyak digunakan lagi seiring kesadaran sebagian orang mengadopsi mode ramah lingkungan. Namun, Afif menilai, pemakaian pewarna alam masih punya sejumlah kelemahan, seperti pewarnaan lama dan tingkat kerataan serta daya tahan warna lebih rendah. Dia pun berharap, akademisi, pemerintah, dan swasta bisa melakukan riset untuk menghasilkan formula yang bisa mengatasi kelemahan pewarna alam.
Apabila teknologi itu bisa ditemukan, kualitas warna yang dihasilkan pewarna alam tentu bisa ditingkatkan. Jika itu terjadi, niscaya batik warna alam bisa kembali berjaya.