Tempuh 120 Kilometer, Translokasi Bayi Gajah Sumatera untuk Temui Induknya
Tim menilai bayi gajah perlu segera ditranslokasi karena sifat alamiah satwa itu membutuhkan kawanan. Kondisi bayi gajah yang sendirian itu juga bisa mendatangkan ancaman keselamatan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
JAMBI, KOMPAS — Setelah enam bulan terpisah jauh dari rombongan induknya, seekor bayi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) akhirnya kembali pulang. Translokasi yang memakan waktu sehari semalam dan menempuh jarak 120 kilometer itu dilakukan demi mendekatkan kembali bayi itu pada induknya.
”Kami bawa (bayi gajah) untuk mendekati rombongan gajah. Harapannya, bayi ini bisa segera bertemu kembali induknya,” kata Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi Rahmad Saleh Rahmad Saleh, Jumat (27/8/2021).
Upaya translokasi melibatkan BKSDA Jambi bersama sejumlah mitra, yakni Frankfurt Zoological Society, Masyarakat Mitra Konservasi, dan Flora Fauna Indonesia Programme.
Tim tiba di wilayah Batangasam, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, untuk menjemput bayi gajah, Rabu (25/8/2021) siang. Saat itu, bayi gajah diketahui tengah menjelajahi kebun tanaman campur warga.
Lewat pengulupan bius, dalam kondisi setengah lelap, gajah ditarik dengan tali menuju truk. Lalu gajah dibawa menuju hutan penyangga Taman Nasional Bukit Duabelas di Kabupaten Tebo.
Setelah diturunkan dari truk, bayi gajah kembali ditarik dengan tali untuk masuk ke dalam hutan. Setibanya pada salah satu titik dekat sungai, tim dokter mengecek kembali kondisi fisiknya, lalu memberikan obat dan vitamin.
Setelah dipastikan sehat, tim melepaskan tali penarik. Gajah lalu dibangunkan. Sebentar kemudian, bayi gajah sadar dan langsung melangkah menembus hutan.
Rahmad menjelaskan, bayi gajah didapati warga di Batangasam dalam kondisi terluka pada Januari 2021. Tim medis yang dipimpin drh Zulmanudin menyebutkan, bagian kaki kiri depan gajah sempat terluka serius akibat terlilit tali jerat babi. Tali jerat biasanya dipasang warga untuk mengusir babi masuk kebun.
Rangkaian proses pengobatan akhirnya berhasil memulihkan bayi gajah. Jaringan kulit yang bercelah akibat infeksi luka telah menutup kembali.
Setelah melihat kondisinya sudah sehat, tim menilai bayi gajah perlu segera ditranslokasi agar bertemu kawanannya. Kondisi bayi gajah yang sendirian bisa mendatangkan ancaman keselamatan.
”Apalagi, dari usianya yang baru menginjak lima tahun, bayi itu membutuhan perlindungan dari kawanan. Juga untuk mendapatkan pengasuhan induk,” tambah Rahmad.
Zulmanudin mengatakan, kondisi fisik bayi gajah setinggi 130 sentimeter itu terbilang baik. Luka yang sempat meradang di kakinya juga pulih dengan cepat. Perjalanan translokasi si bayi gajah pun terbilang lancar.
Sebagai antisipasi, ia mengambil sampel darah gajah untuk dianalisis di laboratorium. Tujuannya, memastikan bilamana ada virus atau bakteri dalam tubuh gajah.
Koordinator Tim Penyelamatan Gajah, Albert Tetanus, mengatakan, translokasi kali ini tanpa melibatkan gajah jinak pemandu (captive). Penggiringan digantikan dengan teknik tarik ulur dan dorong dengan memanfaatkan tali tambang dan dikendalikan langsung para aktivis konservasi satwa.
Teknik ini baru pertama kalinya dilakukan di Indonesia. Teknik serupa dilakukan untuk translokasi gajah di Afrika. ”Dengan bobot bayi gajah berkisar 600 kilogram ini, sangat memungkinkan dilakukan translokasi tanpa bantuan gajah jinak sebagai pemandu, tetapi langsung dikendalikan tim,” ujarnya.
Selama 10 hari ke depan pascatranslokasi, sebagian anggota tim terus memantau pergerakan gajah. Albert berharap, bayi gajah dapat segera bertemu rombongan induknya.