Kenaikan Air Laut Picu Banjir dan Abrasi di Kota Padang
Kenaikan muka air laut diperkirakan telah memicu abrasi pantai di Kota Padang beberapa tahun terakhir. Masalah tersebut memang harus segera ditangani untuk melindungi garis pantai dan masyarakat.
Oleh
YOLA SASTRA
·5 menit baca
PADANG, KOMPAS — Sejumlah upaya dilakukan pemerintah pusat dan daerah di Sumatera Barat dalam upaya mitigasi dampak kenaikan muka air laut di Kota Padang. Kenaikan muka air laut diperkirakan memicu abrasi di sejumlah titik pantai di Padang beberapa tahun terakhir.
Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kota Padang Tri Hadianto, di Padang, Senin (16/8/2021), mengatakan, kenaikan muka air laut diperkirakan telah memicu abrasi pantai beberapa tahun terakhir. Masalah tersebut harus segera ditangani demi melindungi garis pantai dan masyarakat.
Tri menjelaskan, dari segi perlindungan terhadap garis pantai, dinas berkoordinasi dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat karena dinas tidak punya wewenang. Pembangunan pemecah ombak dan tanggul laut sudah dilakukan melalui anggaran pemerintah pusat ataupun provinsi.
Upaya perlindungan pantai yang terbaru dilakukan adalah pembangunan 879 meter tanggul laut dan 146 meter pemecah ombak di tiga lokasi pantai, kawasan Masjid Al Hakim di Pantai Muaro, kawasan Monumen Merpati Perdamaian di Pantai Muaro Lasak, dan Pantai Pasir Jambak.
Pembangunan tersebut menggunakan dana siap pakai/dana darurat bencana BNPB sekitar Rp 19 miliar (Kompas, 5/4/2021). Pembangunan dilakukan pada masa tanggap darurat bencana abrasi yang berakhir 28 Maret 2021.
”Pemkot Padang mengusulkan itu bersama pemerintah provinsi ke BNPB. Survei dilakukan tahun 2019,” kata Tri yang juga menjabat Kepala Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Pemukiman, dan Pertanahan (Perkimtan) Kota Padang.
Selain berdampak terhadap abrasi, kata Tri, kenaikan muka air laut juga berdampak pada penanganan banjir di Padang. Sejumlah titik di Padang rawan banjir saat hujan deras sekaligus terjadi pasang air laut. Air dari hulu tidak bisa mengalir ke laut.
Terhadap situasi itu, Dinas PUPR berencana membangun 13 titik pompa dan kolam retensi. Dari jumlah itu, tujuh titik merupakan prioritas, yaitu kawasan Air Tawar, Ulak Karang, Primer Lolong, Pasar Pagi, Danau Cimpago, Primer Kali Mati, dan Anak Banda Jati.
”Kami sudah ada empat desain dengan perkiraan anggaran Rp 123 miliar. Ini rencana kami cicil. Tahun 2020, diusulkan Rp 40 miliar, tetapi tidak jadi karena ada kebutuhan lain dialihkan ke yang lain, salah satunya akibat refocusing Covid-19. Sedangkan tahun ini tidak ada,” ujarnya.
Adapun dalam hal adaptasi, kata Tri, Pemkot Padang melalui Dinas Perkimtan telah menyiapkan rumah bagi masyarakat terdampak, terutama nelayan di titik rawan abrasi, antara lain rumah khusus dan rumah susun sewa. Rumah tersebut dibangun dengan anggaran dari Kementerian PUPR.
Di kawasan Sungai Pisang, ada 125 rumah khusus nelayan yang dibangun tahun 2009 dan 2014 serta telah dihuni. Sementara di kawasan Lubuk Buaya, ada 87 rumah khusus nelayan yang dibangun pada 2017. Namun, rumah itu belum dihuni karena dipakai sementara sebagai tempat isolasi Covid-19.
Sementara itu, rumah susun sewa juga disediakan di kawasan Pasir Nan Tigo. Ada 160 kamar di rumah susun itu dan baru terisi 115 kamar.
Tri melanjutkan, Dinas Perkimtan juga sedang mengusulkan pembangunan rumah swadaya bagi masyarakat, terutama di kawasan Sungai Pisang, Pantai Pasir Jambak, dan Pantai Air Manis, yang rawan abrasi. Rumah swadaya ini dibangun oleh pemerintah, sedangkan lahan disediakan masyarakat. ”Kami menunggu ketersediaan lahan dari masyarakat,” ujarnya.
Kepala Balai Wilayah Sungai Sumatera V Dian Kemala, Selasa (17/8/2021), mengatakan, upaya mitigasi perlindungan garis pantai di Padang sudah dimulai sejak 1997. Pembangunan pemecah ombak dan tanggul laut waktu itu dikerjakan oleh tim Proyek Pengendalian Banjir Kota Padang di bawah Departemen Pekerjaan Umum (sekarang Kementerian PUPR).
Pembangunan tersebut berlanjut saat dibentuknya BWS Sumatera V tahun 2007. Selain oleh pemerintah pusat, beberapa titik bangunan pelindung pantai juga ada yang dikerjakan oleh pemerintah provinsi. Sebagian besar daerah rawan abrasi di Padang sudah ada bangunan pelindung pantai.
Dian menjelaskan, setiap tahun BWS Sumatera V selalu mengusulkan anggaran pembangunan dan pemeliharaan bangunan pelindung pantai. Namun, karena wilayah kerja BWS adalah provinsi, usulan sesuai skala prioritas. Tahun ini anggaran yang diusulkan untuk perlindungan garis pantai Rp 3 miliar untuk daerah Agam dan Pesisir Selatan.
Selain itu, kata Dian, saat ini, BWS juga tengah melakukan studi terhadap bangunan pelindung pantai yang telah dibangun, yang tersebar di pesisir Sumbar, dari Agam di bagian utara hingga Pesisir Selatan di bagian selatan, termasuk Padang.
”Kami mengecek kondisi bangunannya. Bagaimana kinerjanya saat ini. Kalau belum maksimal atau perlu perawatan, akan kami perbaiki,” kata Dian.
Secara terpisah, Kepala Pelaksana BPBD Padang Barlius, Senin, mengatakan, beberapa tahun terakhir memang terjadi abrasi di sejumlah titik pantai, seperti Pantai Padang, Pantai Pasir Jambak, Pantai Air Manis, dan Pantai Sungai Pisang.
”Untuk Pantai Padang (dan Pantai Pasir Jambak) dengan anggaran Rp 19 miliar dari BNPB dana siap pakai selesai dibangun pemecah ombak dan tanggul laut. Sekarang, lokasi itu relatif aman dari abrasi. Selanjutnya, kami akan mengusulkan ke BNPB untuk Pantai Air Manis dan Pantai Sungai Pisang,” kata Barlius.
Puluhan rumah atau keluarga di kawasan pantai masuk zona merah bencana abrasi. Di Pantai Air Manis, ada sekitar 40 rumah yang bisa terdampak. Sementara itu, di Pantai Pasir Jambak, terdapat 10 rumah. Adapun di Sungai Pisang, ada sekitar 30 rumah terdampak abrasi.
Barlius melanjutkan, BPBD terus menyosialisasikan kepada masyarakat untuk segera pindah dari zona merah tersebut. Sementara untuk pencegahan, BPBD juga mengimbau masyarakat agar tidak mendirikan bangunan dengan jarak 100 meter dari bibir pantai.
”Jarak 100 meter dari bibir pantai tidak boleh didirikan bangunan karena rawan abrasi. Kami sosialisasi kepada masyarakat. Secara bertahap, kami imbau juga masyarakat mencari tempat yang lebih aman untuk membangun rumah,” ujarnya.
Hasil penelitian Loka Riset Sumber Daya dan Kerentanan Pesisir (LRSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2019 menyebutkan, abrasi mengancam kawasan pesisir Sumbar. Abrasi pantai terjadi di Padang, Pesisir Selatan, Padang Pariaman, Agam, dan Pasaman Barat.
Di Padang, abrasi terjadi hampir di semua kecamatan yang memiliki pantai, mulai dari Bungus Teluk Kabung, Lubuk Begalung, Padang Selatan, Padang Barat, Padang Utara, hingga Koto Tangah. Di setiap kecamatan itu, abrasi terjadi dari kategori rendah, sedang, hingga tinggi.
Sepanjang 24,7 kilometer dari 74 kilometer garis pantai di Padang mengalami abrasi selama periode 2009-2018 dengan kisaran -0,21 meter hingga -49,4 meter per tahun.
”Abrasi terparah terjadi di kawasan Pelabuhan Teluk Bayur, Kecamatan Lubuk Begalung, yaitu -49,4 meter per tahun,” kata Kepala LRSDKP Nia Naelul Hasanah Ridwan di Padang dalam laporannya pada acara diskusi ”Pemaparan Hasil Riset Kerentanan Pesisir di Sumatera Barat dan Kajian Sampah Laut di Banda Aceh”, Senin (9/12/2019).