Kenaikan Air Laut Jadi Ancaman Rutin Warga Tanjung Pinang
Permukiman di pelantar atau rumah-rumah panggung warga Tanjung Pinang Kepulauan Riau menjadi daerah yang paling rawan terimbas kenaikan muka air laut. Kenaikan air laut dan cuaca ekstrem jadi ancaman rutin warga.
Oleh
Pandu Wiyoga
·3 menit baca
TANJUNG PINANG, KOMPAS — Permukiman di pelantar atau rumah-rumah panggung warga Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, menjadi daerah yang paling rawan terimbas kenaikan muka air laut. Ketika musim angin utara berembus pada November-Januari, lantai rumah panggung warga biasanya terendam pasang air laut minimal 10 sentimeter.
Selain bencana karena kenaikan air laut, Tanjung Pinang juga menghadapi potensi bencana alam lainnya. Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Tanjung Pinangmenunjukkan, pada 2 Januari 2021 terjadi banjir serta longsor di 37 titik yang terdiri dari empat kecamatan, yaitu Tanjung Pinang Kota, Tanjung Pinang Barat, Tanjung Pinang Timur, dan Bukit Bestari.
Data dari sumber yang sama menunjukkan, sedikitnya ada 375 keluarga yang terdampak bencana akibat kenaikan pasang air laut yang disertai hujan lebat itu. Jumlah korban terdampak itu belum final dan kemungkinan masih bisa bertambah mengingat pendataan belum rampung.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Kota Tanjung Pinang Surjadi, Selasa (17/8/2021), mengatakan, banjir di Tanjung Pinang memang rawan terjadi pada November-Januari. Pada periode itu, biasanya terjadi pasang air laut yang dibarengi hujan lebat.
”Namun, sepanjang kajian kami, belum ada kawasan yang hilang (secara permanen) akibat kenaikan muka air laut,” kata Surjadi saat dihubungi.
Meski demikian, Pemerintah Kota Tanjung Pinang tetap berupaya melakukan adaptasi dan mitigasi terhadap potensi terjadi bencana banjir itu. Adaptasi dilakukan dengan menjaga sempadan sungai serta menjaga tutupan hutan mangrove di pesisir.
”Masyarakat Tanjung Pinang punya kearifan lokal yang percaya bahwa mangrove dapat berfungsi membentengi permukiman dari air pasang maupun ombak tinggi yang memicu abrasi,” ujar Surjadi.
Adapun program mitigasi dilakukan Pemkot Tanjung Pinang dengan menggandeng Balai Wilayah Sungai IV Sumatera. Saat ini, mereka tengah membangun polder dan pintu air di kawasan permukiman rawan banjir. Selain itu, mereka juga membangun talud di pesisir untuk mencegah abrasi.
”Yang paling dibutuhkan memang sinergi antara pemerintah pusat, provinsi, dan kota karena kebijakan pengelolaan pesisir sudah jauh dari kewenangan kota,” kata Surjadi.
Saat ini, yang berhak mengelola wilayah perairan 0-12 mil adalah pemerintah provinsi. Hal ini agak menyulitkan bagi Pemkot Tanjung Pinang yang sebagian warganya bermukim di pelantar atau rumah panggung yang didirikan di atas laut.
”Kalau melihat peraturan yang saat ini berlaku, permukiman di pelantar itu bukan wewenang pemkot lagi sehingga kami terkendala ketika akan membuat suatu program di daerah itu,” ucap Surjadi.
Padahal, menurut Ketua Pusat Penelitian Sumber Daya Pesisir Universitas Maritim Raja Ali Haji, Donny Abdillah, daerah permukiman di pelantar merupakan yang paling rawan terimbas kenaikan muka air laut. Ketika musim angin utara berembus pada November-Januari, lantai rumah panggung warga biasanya terendam pasang air laut minimal 10 sentimeter.
Selain itu, Donny menyoroti soal maraknya alih fungsi sempadan pantai di Tanjung Pinang. Banyak hutan mangrove ditimbun oleh pengusaha, lalu dialihkan fungsinya menjadi permukiman atau perkantoran.
”Padahal, hutan mangrove itu merupakan indikator sejauh mana air laut masuk ke darat. Akan sangat bahaya jika wilayah yang tadinya berupa rawa dengan struktur tanah yang lunak itu dijadikan permukiman,” kata Donny.