Situasi pandemi Covid-19 yang belum mereda terus merenggut kehidupan para dokter dan tenaga kesehatan di Jawa Timur. Kematian para dokter menjadi kehilangan amat besar bagi masyarakat yang memerlukan layanan kesehatan.
Oleh
AMBROSIUS HARTO
·4 menit baca
SURABAYA, KOMPAS — Sebanyak 14 dokter di Jawa Timur gugur dalam masa pandemi Covid-19 (Coronavirus Disease 2019) sepanjang bulan ini. Kematian para dokter memperlihatkan dampak pandemi Covid-19 akibat virus korona jenis baru (SARS-CoV-2) dan atau variannya di Jawa Timur masih mengkhawatirkan.
Catatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jatim, kurun tiga pekan dalam Agustus ini, sebanyak 12 dokter dan 2 dokter sekaligus guru besar meninggal. Kematian terbanyak dalam sehari terjadi pada Rabu (18/8/2021), yakni empat dokter berpulang karena Covid-19.
Keempat dokter dimaksud ialah Prof Triyono Karmawan dari IDI Surabaya, Yudia Supradini dari IDI Blitar, Arief Suseno dari IDI Jember, dan Moelyanto. Guru besar lainnya yang meninggal adalah Prof Suhatno dari IDI Surabaya pada Minggu (8/8).
Dari 14 dokter di Jatim yang meninggal dalam bulan ini, yang terbanyak berasal dari IDI Surabaya, yakni empat dokter. Selanjutnya adalah Malang Raya, Jember, dan Banyuwangi yang masing-masing daerah kehilangan dua dokter. Lamongan, Sidoarjo, Pasuruan, dan Blitar kehilangan satu dokter di setiap daerah.
Ketua IDI Jatim Sutrisno saat dihubungi pada Jumat (20/8) mengatakan, pihaknya kembali terpukul karena kehilangan dokter, sahabat, dan sejawat dalam masa pandemi Covid-19. Kematian 14 dokter di bulan ini terus menambah dampak mengerikan pandemi terhadap kelangsungan kehidupan para dokter.
Sampai dengan akhir Juli 2021, Jatim telah kehilangan 127 dokter, terbanyak se-Indonesia. Dengan penambahan selama bulan ini, dokter yang berpulang dalam masa pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 berjumlah 141 dokter. Jumlah itu 1,5 kali lipat dari kematian dokter di Ibu Kota yang 92 dokter, terbanyak kedua.
Secara terpisah, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, Prof Budi Santoso mengatakan, sivitas akademika fakultas ini telah kehilangan tujuh guru besar dalam masa pandemi Covid-19. ”Sungguh kehilangan teramat besar bagi dunia kedokteran Unair dan Indonesia ketika para mahaguru berpulang,” ujarnya.
Budi melanjutkan, kehilangan besar bagi para dokter yang ingin terus meningkatkan keahlian ketika sejumlah guru besar berpulang. Untuk menjadi guru besar kedokteran, diperlukan daya dan dedikasi luar biasa, penelitian, dan waktu yang cukup lama.
Kematian seorang guru besar bisa menunda perkembangan suatu disiplin ilmu yang spesifik sampai ada seseorang yang berkemampuan setara dan menggantikannya.
Kalau para dokter dan tenaga kesehatan berguguran, apa mampu bangsa ini mengatasi pandemi.
Sutrisno mengatakan, kematian para dokter sungguh menjadi pukulan berat bagi dunia kedokteran. Dokter adalah garda depan penanganan Covid-19. Kematian para dokter memperlihatkan masih ada titik lemah dari jaminan perlindungan terhadap mereka. ”Kalau para dokter dan tenaga kesehatan berguguran, apa mampu bangsa ini mengatasi pandemi?” katanya.
Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa mengatakan turut terpukul atas kematian para dokter. Hal itu memperlihatkan situasi pandemi Covid-19 belum mereda, apalagi tertangani.
Mengutip laman resmi https://infocovid19.jatimprov.go.id/, penderita Covid-19 pada Jumat bertambah 2.508 orang menjadi 368.923 orang. Kematian bertambah 197 orang menjadi 25.694 orang. Kesembuhan bertambah 3.356 orang menjadi 316.909 orang. Kasus aktif atau jumlah pasien masih dirawat sampai hari ini ada 26.320 orang.
Tidak mencerminkan
Dihubungi secara terpisah, sosiolog Universitas Brawijaya, Malang, Anton Novenanto, mengatakan, kematian selama pandemi Covid-19 yang dipublikasikan secara resmi bisa diyakini tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.
”Kematian sekadar dilihat sebagai angka atau statistik yang seolah-olah kurang menjadi perhatian, apalagi mengubah perilaku sosial,” kata Anton.
Menurut dia, pandemi sejak Maret 2020 sampai saat ini seolah kurang terlihat suasana krisisnya. Pemerintah memang menerapkan sejumlah skema untuk pengendalian, antara lain pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
”Namun, yang bisa dilihat, begitu banyak pelanggaran, pelonggaran, karena pemerintahan bangsa ini mengedepankan sikap kompromistis sehingga tidak terlihat nuansa krisisnya,” ujarnya.
Nuansa krisis itu akan terasa ketika seluruh komponen bersikap tegas, misalnya melaksanakan karantina, bahkan penguncian sosial dalam kurun tertentu secara serius untuk menekan dampak pandemi.
PPKM sejak pertengahan Januari 2021 pada prinsipnya ingin menekan pandemi, tetapi di sisi lain tetap mendorong kegiatan perekonomian warga. Di sinilah, lanjut Anton, terlihat ketidakberanian aparatur negara mengerahkan seluruh daya upaya untuk menjamin keberlangsungan hidup warga dengan menempuh penghentian sementara aktivitas sosial.
”Situasi itu diperparah dengan pengingkaran-pengingkaran. Yang terkini, tidak memasukkan kematian sebagai indikator risiko pandemi di suatu wilayah,” ujar Anton.
Sebelumnya, pemerintah seolah menyembunyikan informasi kematian dalam masa pandemi Covid-19 dengan pemilahan antara yang berstatus pasien dan yang bukan. Idealnya, segala kematian karena sakit dalam masa pandemi ini bisa dinyatakan sebagai dampak pandemi.
Anton mengatakan, kematian janganlah dilihat sebagai deret statistik. Kematian seorang ayah atau ibu bahkan keduanya berarti menambah masalah sosial, yakni anak-anak yatim, piatu, atau yatim piatu yang terancam masa depan kehidupannya. Kematian anak-anak berarti kehilangan besar bagi perjalanan peradaban bangsa karena hilangnya sebagian generasi penerus.