Kematian Dokter, Risiko Tugas atau Korban Strategi?
Pembentukan program khusus sekaligus memperlihatkan keseriusan pemerintah memproteksi tenaga kesehatan. Ini perlu dilakukan agar jangan timbul anggapan pemerintah dan masyarakat gagal hargai pengorbanan tenaga kesehatan.

Dokter Indonesia berduka. Hingga akhir Agustus lalu, lebih dari 100 dokter meninggal di tengah pandemi Covid-19. Hampir semuanya terkonfirmasi Covid-19. Jumlah ini diperkirakan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya kasus Covid-19, yang hingga kini belum diketahui puncaknya. Pada semua wabah (outbreak), dokter dan tenaga kesehatan memang menjadi samsak empuk infeksi dan kematian.
Di Spanyol, lebih dari 12.000 tenaga kesehatan (14 persen dari total kasus) terinfeksi Covid-19. Di Indonesia, persentase kematian dokter sekitar 1,4 persen dari total kematian Covid-19. Angka ini lebih rendah dari kematian dokter di Rusia (6,5 persen), tetapi lebih tinggi dari figur di India (0,3 persen).
Baca juga: Jalan Pintas Vaksin, Amankah?
Jika melihat figur perbandingan ini, sebagian mungkin menganggap tingkat kematian dokter di Indonesia masih pada acceptable level atau masih ”biasa-biasa saja”. Analisis lebih detail menunjukkan magnitudo kematian ini ”tidak biasa-biasa saja”. Pelayanan klinis masyarakat akan terganggu, yang berujung pada peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.
Pelayanan klinis masyarakat akan terganggu, yang berujung pada peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.
Peran dilematis
Pada masa pandemi, dokter dan tenaga kesehatan mengalami beban ganda. Di satu sisi, mereka harus berjibaku dengan kasus Covid-19 dan di sisi lain mereka harus tetap memberi pelayanan terhadap pasien penyakit lain. Agar pelayanan berkualitas tetap tersedia, beban ganda ini harus diatasi dengan kecukupan jumlah dokter dan tenaga kesehatan.
Sayangnya, hal ini tidak terpenuhi. Negara-negara justru kehilangan dokter dan tenaga kesehatan terbaiknya pada saat pandemi. Ini memicu meningginya ketergantungan masyarakat kepada profesi ini serta makin memberatnya beban dokter dan petugas kesehatan.
Baca juga: Perjuangan Tenaga Kesehatan hingga Napas Terakhir
Berdasar data Kolegium Kedokteran Indonesia, jumlah dokter umum yang tercatat sekitar 147.000, dokter spesialis 42.000, dan dokter gigi 50.000. Artinya, dibandingkan jumlah penduduk yang sekitar 269 juta orang, rasio dokter umum terhadap penduduk adalah 1:1.829, dokter spesialis 1:6.404, dan dokter gigi 1:5.380.

Secara kasar, satu dokter umum bertugas meng-cover 1.829 orang dan satu orang dokter spesialis meng-cover 6.404 orang. Ini berdasar asumsi bahwa semua dokter yang tercatat masih aktif melakukan penanganan pasien. Dengan figur ini, meninggalnya 100 dokter identik dengan berkurangnya pelayanan kesehatan dan cakupan terhadap 183.000 penduduk. Dalam kenyataannya, figur beban ini lebih besar karena terdapat sejumlah besar dokter yang tak melakukan praktik klinis atau perawatan pasien.
Tahun 2018, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melakukan analisis ketersediaan dokter di berbagai negara. Dalam 10.000 penduduk, Indonesia hanya memiliki 4,47 dokter. Rasio ini lebih rendah dibandingkan negara ASEAN lain, seperti Filipina (6,0), Thailand (8,05), Malaysia (15,36), dan Singapura (22,94), serta negara berpenduduk besar seperti India (8,57), Brasil (21,64), China (19,8), dan Rusia (37,49).
Baca juga: Pahlawan Kemanusiaan Indonesia
Rasio ketersediaan dokter berbanding terbalik dengan beban dokter; semakin rendah rasionya, semakin tinggi beban atau population coverage. Rendahnya figur Indonesia mengindikasikan beban dokter Indonesia yang relatif lebih besar dibandingkan negara-negara lain. Karena itu, kehilangan dokter Indonesia juga secara relatif bebannya lebih berat.
Karena itu, kehilangan dokter Indonesia juga secara relatif bebannya lebih berat.
Di sisi lain, memproduksi dokter membutuhkan waktu lama dan biaya besar. Untuk menyelesaikan program kedokteran dibutuhkan 5-7 tahun. Setelah itu, para dokter harus magang atau mengabdi di rumah sakit atau puskesmas 1-3 tahun. Untuk mencapai jenjang spesialis dibutuhkan tambahan pendidikan 3-5 tahun, tergantung jenis spesialis yang dipilih. Untuk mencapai tingkat superspesialis atau konsultan, dibutuhkan lagi tambahan pendidikan 1-3 tahun.
Praktis, sejak masuk perguruan tinggi hingga siap bekerja mandiri, dibutuhkan waktu 6-10 tahun untuk dokter umum, 9-15 tahun untuk dokter spesialis, dan 10-18 tahun untuk dokter superspesialis.
Pendekatan komprehensif
Penyebab kematian dokter beragam. Sebagian berkaitan langsung dengan perawatan pasien Covid-19 dan sebagian tidak berkaitan sama sekali. Artinya, penyebab kematian bisa karena pekerjaan klinis, tetapi dapat juga akibat kondisi, keadaan, atau perilaku pribadi dokter. Sayangnya, hingga kini belum ada studi atau audit yang mendalami hal ini.
Baca juga: Perlindungan Tenaga Kesehatan
/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2020%2F10%2F017ff823-ce5d-469f-850f-af8d652c4051_jpg.jpg)
Videotron yang menayangkan ucapan terima kasih kepada tenaga medis di sebuah hotel bertingkat di kawasan Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Minggu (4/10/2020).
Tingkat kematian dokter dipengaruhi oleh kualitas penatalaksanaan Covid-19, baik pada masyarakat secara umum maupun pada tenaga kesehatan secara khusus. Sebagai bagian dari masyarakat, dokter memiliki risiko tertular dan meninggal yang paralel dengan risiko pada masyarakat umum. Karena itu, setiap ketidaktepatan penatalaksanaan pandemi pada masyarakat akan berdampak buruk terhadap dokter.
Pelaksanaan fase new normal saat belum membaiknya indikator epidemiologis berkontribusi terhadap kematian dokter. Pada fase ini, orang-orang kembali beraktivitas dan berkumpul. Sebagian mereka status Covid-19-nya negatif, tetapi sebagian lainnya mungkin positif atau positif tanpa gejala. Percampuran ini meningkatkan reproduction number virus dan memudahkan masyarakat dan dokter tertular.
Faktor lain adalah maraknya penggunaan rapid antibody test. Tes ini seolah-olah menjadi ”surat izin beraktivitas”. Hasil negatif dari tes ini menjadi stempel seseorang dapat melakukan perjalanan, masuk kantor atau mengunjungi tempat-tempat umum. Padahal, sensitivitas rapid test ini hanya berkisar 32-80 persen.
Padahal, sensitivitas rapid test ini hanya berkisar 32-80.
Artinya, dari 100 orang yang positif Covid-19, tes ini hanya dapat mendeteksi secara tepat 32-80 orang. Sisanya akan dianggap negatif oleh tes ini, walaupun mereka sebenarnya positif (false negative). Orang dengan status false negative ini berkeliaran ke mana-mana, melakukan interaksi sambil memindahkan virus ke orang lain termasuk dokter.
Faktor lainnya adalah inkonsistensi peraturan. Hingga kini belum ada penatalaksanaan Covid-19 yang lebih efektif daripada standard precautions, yaitu menjaga jarak, menggunakan masker, dan mencuci tangan secara teratur. Sayangnya, banyak praktik atau aturan yang kontraproduktif dengan pelaksanaan efektif standard precaution, seperti pembukaan bioskop dan public space serta izin pertemuan sosial. Akibatnya, penularan terus berlangsung terhadap semua masyarakat, termasuk dokter.
Baca juga: Antusiasme Libur Panjang, Lokasi Wisata di Sulsel Ramai Pengunjung
Sebagai klinisi yang langsung menangani penderita Covid-19, risiko dokter tertular infeksi sangat besar. Dalam semua outbreak, hal ini terjadi. Pada outbreak ebola, risiko petugas kesehatan tertular infeksi 12 kali lipat dibanding populasi umum. Karena hal ini, upaya perlindungan spesifik harus diberikan kepada kelompok profesi ini.

Mural dukungan bagi tenaga medis menghiasi kolong jalan tol lingkar luar Jakarta di jalan Raya Setu, Cipayung, Jakarta Timur.
Sayangnya, perlindungan spesifik yang dilakukan selama ini masih terfokus pada pengadaan alat perlindungan diri (APD). Itu pun masih tidak adekuat dan tertatih-tatih. Padahal, penggunaan APD merupakan benteng terakhir pengendalian risiko (last resort) yang memiliki efektivitas terbatas. Sebelum tiba pada isu APD, pengendalian risiko mesti juga meliputi engineering control dan administrative control.
Engineering control mengedepankan penggunaan perangkat mekanis dan fisik untuk membatasi dan melindungi dokter dari pembawa virus. Rumah sakit dan tempat praktik perlu membuat pembatas plastik atau kaca yang melindungi dokter saat berkonsultasi dengan pasien.
Baca juga: Jawa Barat Tambah Kapasitas Ruang Isolasi untuk Pasien Covid-19
Siapa pun yang ada di lingkungan rumah sakit wajib menggunakan masker dan sarung tangan, tanpa kecuali. Semua ruangan dan peralatan harus dibersihkan rutin dan menjalani disinfeksi reguler. Apabila perlu, unit-unit yang tidak berhubungan langsung pelayanan Covid-19 dinonaktifkan sementara. Triage diperketat; jika perlu, dilakukan double triage.
Pengunjung yang memiliki keluhan terlebih dahulu ditangani di ruang khusus dan tidak dibiarkan bercampur dengan pengunjung lain. Konsultasi lewat telepon digalakkan; hanya kasus yang benar-benar urgen yang perlu mengunjungi rumah sakit. Tindakan klinis, termasuk operasi, dilakukan hanya pada kasus-kasus yang urgen.
Administrative control juga perlu dilakukan. Hanya petugas yang terlibat langsung penanganan Covid-19 yang tetap bekerja on-site; sisanya bekerja parsial atau work from home. Jadwal tugas tenaga kesehatan, termasuk residen, harus dibatasi dan dibuat seefisien mungkin.
Tindakan klinis, termasuk operasi, dilakukan hanya pada kasus-kasus yang urgen.
Tenaga kesehatan berumur di atas 55 tahun, apalagi dengan komorbiditas, perlu diberi jadwal fleksibel atau jika perlu dirumahkan. Mereka ditugaskan melakukan konsultasi layanan lewat telepon atau tugas administrasi. Semua petugas kesehatan harus dites PCR secara berkala.
APD standar harus tersedia dan digunakan secara tepat. Alasan emergency tidak boleh menjadi justifikasi penggunaan APD seadanya. Keselamatan pribadi dokter dan tenaga kesehatan tidak bisa dikorbankan atas dasar kemanusiaan. APD adalah benteng terakhir petugas kesehatan. Kalau benteng ini jebol, mereka jadi korban.
Baca juga: Ratusan Tenaga Kesehatan di Kota Jayapura Terpapar Covid
Penyediaan APD standar harus disiapkan oleh pemerintah dan rumah sakit. Dana kesehatan yang tersedia perlu dialokasikan buat penyediaan dan edukasi penggunaan APD yang tepat. Edukasi donning and doffing APD perlu dibuat dan disebarkan secara rutin serta diikuti oleh audit penggunaan. Karena APD hanya dapat memberikan proteksi efektif apabila digunakan secara tepat.

Tenaga medis berada dalam tenda terbuka dalam tes reaksi rantai polimerase (PCR) atau tes usap di Puskesmas Kecamatan Duren Sawit, Jakarta Timur, Senin (31/8/2020).
Program khusus
Tertular Covid-19 dan meninggal adalah risiko tugas dokter dan tenaga kesehatan. Namun, risiko ini dapat diminimalkan oleh adanya struktur, sistem, dan strategi penanggulangan Covid-19 yang adekuat, efektif, dan berkualitas. Dokter dan tenaga kesehatan merupakan aset krusial penanggulangan pandemi.
Mereka harus dijaga dan diproteksi, di antaranya dengan mengimplementasikan strategi penanggulangan Covid-19 yang tepat. Kegagalan memproteksi mereka akan berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan serta tingkat morbiditas dan mortalitas Covid-19.
Persoalan dengan magnitudo besar butuh penanganan khusus. Pemerintah perlu mencanangkan program khusus proteksi dokter dan tenaga kesehatan. Program ini berisi langkah-langkah jelas, tepat, dan komprehensif dengan target dan indikasi keberhasilan yang terukur. Termasuk di dalamnya engineering control, administrative control, dan APD. Program mesti melibatkan semua pemangku kepentingan penanganan pandemi, termasuk IDI, PDGI, PPNI, dan IKAMI.

Iqbal Mochtar
Pembentukan program khusus sekaligus memperlihatkan keseriusan pemerintah menangani dan memproteksi tenaga kesehatan. Ini perlu dilakukan agar jangan timbul anggapan pemerintah dan masyarakat gagal menghargai pengorbanan tenaga kesehatan.
Iqbal Mochtar, Dokter dan Pengamat Masalah Kesehatan