Cara Desa Langaleso Melawan Nestapa karena Covid-19
Gotong royong dengan membentuk dapur umum menjadi senjata ”kekebalan komunitas” warga Desa Langaleso, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulteng, guna mengatasi dampak pandemi Covid-19.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·6 menit baca
Kasus penularan Covid-19 yang meledak di awal Agustus 2021 membangun kesadaran warga Desa Langaleso, Kecamatan Dolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, untuk bergotong royong. Mereka mendirikan dapur umum untuk melayani kebutuhan makanan warga yang menjalani isolasi mandiri. Berkat nilai luhur warisan leluhur bangsa Indonesia itu, warga terinfeksi melewati nestapa dengan hati riang dan sebagian sudah pulih.
Dengan peluh mengalir di wajah, Hermanto (40) tangkas turun dari bagian belakang mobil. Tangannya sudah memegang dua kotak berwarna putih. Langkah kakinya lekas menyambar batu-batu kecil di pinggir jalan. Sampai di teras rumah, ia mengetuk pintu, lalu menyapa.
”Selamat siang. Silakan dinikmati dan semoga lekas sembuh,” ujarnya sambil meletakkan dua kotak tersebut di kursi teras rumah.
Setelah itu, Ketua RT 001 Langaleso, Desa Langaleso, tersebut kembali ke mobil. Dua kotak dipegangnya lagi untuk diantar ke rumah lain di sisi utara jalan. Keringatnya makin menganak sungai, tapi ia tak peduli. Ia terus mengambil kotak untuk diantarkan ke rumah-rumah di siang bolong, Senin (16/8/2021), dalam balutan baju hazmat.
Para ibu di Desa Langaleso ”terlatih” mengoperasikan dapur umum. Bencana gempa dan likuefaksi pada 28 September 2018 menjadi ajang belajar bagi warga untuk membuka dapur umum.
Kotak putih yang diantar Hermanto berisi makanan gratis siap santap. Paket makanan yang terdiri dari nasi, sayur kuah, telur goreng, dan pisang tersebut dibagikan kepada warga yang terinfeksi Covid-19 dan menjalani isolasi mandiri. Pada Senin, seperti tiga hari sebelumnya, ia mengantar 50 kotak makanan kepada warga desa yang menjalani isolasi mandiri.
Bersama dengan Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkantibmas) Desa Langaleso Brigadir Kepala Ariswan, ia mengantar makanan tersebut tiga kali sehari agar kebutuhan makanan warga yang menjalani isolasi mandiri terpenuhi sehingga kekuatan dan kekebalan fisik selalu terjaga untuk melawan virus.
”Saya menikmati kegiatan ini. Mereka yang isolasi mandiri ini saudara-saudari kita semua. Semoga keringat kami bisa dengan segera membuat sembuh warga yang kena Covid-19,” ujarnya terkait aksi sosial tersebut.
Sebanyak 40 warga Desa Langaleso yang mayoritas berada di RT 001 terinfeksi Covid-19 dan menjalani isolasi mandiri. Mereka menjalani isolasi mandiri karena gejala yang dialami relatif, yakni demam sesaat, sakit kepala, dan nyeri. Warga tersebut terkonfirmasi berdasarkan serangkaian tes massal pada awal Agustus 2021. Tes dilakukan setelah seorang warga dinyatakan terkonfirmasi saat menjalani penapisan untuk perawatan di RSUD Torabelo, Sigi. Setelah kasus pertama tersebut, warga dites massal dalam dua gelombang pada 3 dan 5 Agustus.
Warga yang pertama terkonfirmasi itu meninggal. Satu anggota keluarga dekatnya juga turut meninggal karena Covid-19. Artinya, dua orang meninggal karena Covid-19 di Langaleso. Merujuk pada durasi isolasi mandiri selama 10-14 hari, 13 orang telah selesai menjalani isolasi pada Selasa (17/8/2021). Saat ini, tersisa 27 orang lagi.
Tak diketahui pasti dari mana warga-warga tersebut terpapar, tetapi seperti diutarakan Kepala Desa Langeleso Nurlin Haruna, diperkirakan dari resepsi perkawinan yang digelar pada 26 Juli 2020 di RT 001. Pesta digelar dengan mengumpulkan banyak orang di dalam tenda.
Jumlah warga yang terpapar dan menjalani isolasi mandiri tersebut setara dengan 1,5 persen populasi di Langeloso yang 2.717 jiwa. Warga Langaleso mayoritas petani yang belakangan mengolah sawahnya untuk ditanami hortikultura. Desa tersebut terletak sekitar 25 kilometer arah selatan Palu, ibu kota Sulteng. Permukiman warga berjarak 1 kilometer dari Jalan Poros Palu-Kulawi, Sigi.
Warga yang menjalani isolasi mandiri juga diberikan obat dan vitamin dari Puskesmas Dolo. Kesehatan mereka dipantau rutin oleh bidan desa.
Sejak kasus Covid-19 pecah, Langaleso memberlakukan jam malam. Semua aktivitas dihentikan pada pukul 21.00 Wita. Warga juga tak boleh keluar dan masuk melewati batas tersebut. Pesta atau acara kumpul-kumpul dilarang.
Saat Kompasmengelilingi jalan-jalan lingkar depan rumah warga, memang tak terlihat warga berkumpul. Hanya terlihat 1-2 warga yang duduk di bawah pohon di halaman rumahnya.
Warga tersentak begitu kasus penularan sampai di desa mereka. ”Agar mereka tak pusing memikirkan urusan makanan, kami dengan segala keterbatasan dan bantuan dari banyak pihak mendirikan dapur umum. Warga yang menjalani isolasi mandiri bisa tenang sehingga diharapkan lekas sembuh,” ujar Nurlin.
Dapur umum itulah yang menyediakan paket makanan yang diantar Hermanto. Dapur umum didirikan pada 13 Agustus 2021. Dapur umum berada di rumah Elis (42), warga RT 001 yang juga menjadi koordinator 10 ibu untuk memasak dan mengemas makanan dalam kotak.
Pada awal beroperasi, warga desa menyumbang berbagai jenis bahan pangan untuk dapur umum. Ada warga yang memberikan beras, telur, ikan, sayuran, dan bumbu. ”Yang punya usaha ternak ayam, sumbang telur. Yang punya kebun sayur, sumbang sayur. Kebetulan halaman rumah saya luas, saya sediakan rumah. Semua swadaya dan gotong royong warga,” ujar Elis yang bersama para ibu lainnya tak pernah melepaskan masker di dapur umum.
Dalam beberapa hari terakhir, donasi berdatangan. Penyumbang dari Kota Palu dan desa lain di sekitar Langaleso memberikan beras, sayur, dan ikan. Terakhir, Pemerintah Kabupaten Sigi menggelontorkan 1,5 ton beras.
Sebagai gambaran, untuk satu hari, dapur umum membutuhkan 30 kilogram beras untuk dimasak guna memenuhi kebutuhan warga yang menjalani isolasi mandiri.
Para di ibu Desa Langaleso ”terlatih” mengoperasikan dapur umum. Bencana gempa dan likuefaksi, yang menyebabkan sebagian rumah warga terendam lumpur dari likuefasi di Desa Jono Oge di timur Langeleso, 28 September 2018, menjadi ajang belajar bagi warga untuk membuka dapur umum. ”Begitu ada inisiatif dan kesepakatan buka dapur umum, kami langsung bergerak,” ujar Siti (41), salah satu ibu yang aktif di dapur umum sambil memasukkan sayuran ke dalam plastik kecil untuk disatukan dengan menu lain.
Maya Safira, sukarelawan Sigi Mosijagai, jaringan sukarelawan untuk membantu warga yang menjalani isolasi mandiri, menuturkan, prinsip gotong royong dengan mendirikan dapur umum di Langaleso bisa menjadi model untuk desa lain di Sigi atau Sulteng pada umumnya.
”Gotong royong ini sudah bagian dari kehidupan bangsa kita. Tinggal digerakkan saja, warga pasti langsung baku bantu di tengah deraan pandemi ini,” ujarnya yang bersama dengan perangkat desa dan pihak terkait membidani lahirnya dapur umum di Langaleso.
Model gotong royong tersebut penting karena desa-desa di Sulteng, termasuk di pedalaman, hampir semuanya sudah terpapar virus. Sejumlah warga desa di Kecamatan Lindu, Sigi, sekitar 60 kilometer dari Palu, misalnya, dilaporkan terpapar Covid-19. Sukarelawan Sigi Mosijagai—mosijagai kata bahasa Kaili, bahasa suku Kaili yang mendiami Lembah Palu, termasuk Sigi, berarti ’saling/baku jaga’—akan memfasilitasi membentuk dapur umum di sejumlah desa, meniru dapur umum Desa Langaleso.
Kami sangat terbantu. Ini menambah semangat kami untuk jaga fisik dan keinginan kuat cepat sembuh.
Bagi warga yang menjalani isolasi mandiri, dapur umum sangat membantu. Pikiran mereka lebih tenang dan fokus pada pemulihan karena urusan makanan tak lagi jadi masalah.
”Kami sangat terbantu. Ini menambah semangat kami untuk jaga fisik dan keinginan kuat cepat sembuh,” tutur Supriono (44) yang bersama istrinya, Bibit (43), menjalani isolasi mandiri, setengah berteriak dari teras rumahnya.
Dapur umum di Langaleso bentuk inisiatif baik yang berangkat dari kegotongroyongan di masyarakat. Dapur umum tersebut barangkali bentuk kekebalan komunitas yang pelan-pelan menghapus nestapa warga yang terinfeksi Covid-19 sehingga bisa menjadi lebih tenang, girang, dan tangguh melawan infeksi. Selain karena kekuatan fisik, asupan sosial tersebut terbukti tak membawa warga yang menjalani isolasi mandiri memburuk keadaannya.
Di tengah deraan pandemi Covid-19 di hampir seluruh daerah di Tanah Air, termasuk di Sulteng dengan tambahan 500-900 kasus baru per hari, semangat gotong royong menjadi salah satu senjata untuk menaklukkan Covid-19. Warga Desa Langaleso telah memperlihatkannya.