Rata-rata 24 Orang Meninggal Setiap Hari di Sulteng akibat Covid-19
Kasus kematian pasien Covid-19 di Sulteng terus naik. Langkah ekstra harus segera diambil, baik untuk mengendalikan kasus penularan maupun menekan jumlah kematian.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Rata-rata 24 orang meninggal setiap hari karena Covid-19 di Provinsi Sulawesi Tengah dalam sekitar dua minggu terakhir. Upaya ekstra untuk membendung penularan Covid-19 harus segera dilakukan, baik dengan memperketat mobilitas maupun memantau semua kasus infeksi di masyarakat.
Berdasarkan laporan Pusat Data dan Informasi Bencana Sekretariat Daerah Provinis Sulteng, pada 1 Agustus 2021 tercatat sebanyak 668 kematian secara akumulatif sejak Maret 2021. Pada Kamis (12/8/2021), total kematian menjadi 953 kasus. Artinya, dalam 12 hari atau sekitar dua minggu terakhir ada 285 kematian di Sulteng. Itu sama dengan 24 kematian per hari.
Kasus kematian tinggi, antara lain, terjadi di Kabupaten Banggai, Kota Palu, dan akhir-akhir ini di Kabupaten Poso, menyusul tingginya penularan di tiga daerah tersebut. Angka kematian dari ketiga daerah itu mencakup lebih separuh dari 20-35 orang yang meninggal per hari sejak awal Agustus. Hanya dua hari angkanya di bawah jumlah tersebut, yakni sebanyak 17 dan 16 kasus pada 2 Agustus dan 3 Agustus.
Meningkatnya kematian di Sulteng dimulai sejak awal Agustus dengan rata-rata 20-35 orang per hari. Sebelumnya, kasus kematian cenderung di bawah 20 orang per hari.
Kenaikan jumlah kematian berbanding lurus dengan tambahan kasus harian yang tinggi. Dalam dua minggu terakhir, tambahan kasus per hari di Sulteng 600-900 kasus. Bahkan, pada Jumat (7/8/2021), angkanya memecahkan rekor tertinggi dengan 1.500 kasus.
Sebelumnya, tambahan harian paling tinggi 400 kasus. Total kasus di Sulteng secara akumulatif saat ini 21.735 kasus dengan kasus aktif 9.809. Dengan angka kematian tinggi tersebut, tingkat kematian di Sulteng sebesar 2,93 persen, naik dari awal Agustus yang 2,85 persen.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Poso Taufan Karwur menyatakan, pasien yang meninggal rata-rata memiliki komorbid (penyakit penyerta), antara lain diabetes, hipertensi, penyakit jantung, dan asma. ”Varian virus saat ini memang lebih menular, gejala lebih berat, dan risiko kematian lebih tinggi,” katanya saat dihubungi dari Palu, Jumat (13/8/2021).
Dengan kondisi memilki komorbid, kata Pelaksana Harian Direktur Utama RSUD Anutapura, Palu, Herry Mulyadi, mayoritas pasien sudah dalam keadaan kritis atau gawat ketika dibawa ke rumah sakit. ”Sebanyak 95 persen saturasi oksigennya di bawah 60 persen. Ini kebanyakan dari warga yang menjalankan isolasi mandiri,” ujarnya.
Herry menyampaikan, dari sejumlah pasien kritis yang dirujuk ke RSUD Anutapura, kebanyakan mereka dan keluarga menganggap Covid-19 sebagai aib yang harus ditutupi-tutupi atau kalau bisa disembunyikan. Padahal, Covid-19 penyakit biasa yang bisa disembuhkan kalau dirawat sejak dini.
Ia menyatakan, semua pihak harus bekerja keras untuk mengedukasi masyarakat agar tak menganggap Covid-19 sebagai aib yang harus ditutupi. Ini untuk mencegah agar pasien tidak dalam kondisi gawat atau kritis ketika dirujuk ke rumah sakit sehingga peluang untuk tertolong masih tinggi.
Terkait edukasi, Kepala Perwakilan Ombudsman Republik Indonesia Sofyan F Lembah meminta pemerintah merangkul tokoh agama, tokoh masyarakat, dan sukarelawan dalam penanganan Covid-19. Hal itu dilakukan mulai dari edukasi terhadap warga, baik terkait penerapan protokol kesehatan maupun penanganan dan perawatan pasien Covid-19.
Jika mobilitas dibatasi ketat, penularan Covid-19 yang terbukti terjadi karena interaksi antarmanusia bisa dikendalikan.
”Ini bukan hanya tugas pemerintah, melainkan semua pemangku kepentingan meskipun pemerintah tetap harus merangkul kekuatan-kekuatan masyarakat tersebut. Inilah bentuk nyata gotong royong,” katanya.
Selain memperkuat pelayanan pasien Covid-19 di rumah sakit, Sofyan mendesak pentingnya pengendalian secara ekstra kasus penularan yang pada akhirnya berdampak pada kematian tinggi. Ia mengusulkan agar Kota Palu, Kabupaten Banggai, dan Poso menerapkan pembatasan kegiatan masyarakat secara total atau lockdown.
Hal itu dilakukan agar pengendalian penularan dapat maksimal. Jika mobilitas dibatasi ketat, penularan Covid-19 yang terbukti terjadi karena interaksi antarmanusia bisa dikendalikan.
Langkah tersebut dinilai lebih maksimal ketimbang hanya menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), yang terbukti beberapa waktu terakhir ini tak efektif. ”Tujuh hari, misalnya, berhenti total, pasti ada hasilnya (kasus menurun),” katanya.
Pemerintah Kota Palu, Kabupaten Poso, dan Banggai memberlakukan PPKM level 4 saat ini hingga 23 Agustus. Langkah itu sudah dilakukan juga sebelumnya, tetapi penularan masih belum terkendali, terutama di Palu dan Banggai. Dalam PPKM level 4, pembatasan dilakukan pada tempat usaha (pusat belanja, warung, kafe/warung kopi) dengan pembatasan jumlah pengunjung, hanya pemesanan makanan/minuman untuk dibawa pulang, dan pembatasan jam operasi, yakni pukul 20.00 atau 21.00 Wita ditutup.
Sofyan menyatakan, tentu pemerintah berkewajiban memberikan bantuan atau jaminan hidup kepada masyarakat selama karantina total diterapkan. Ia mengatakan, dana penanganan Covid-19 dari alokasi ulang di pemerintahan daerah dan pemerintah provinsi bisa dimaksimalkan untuk itu.
Sebagai gambaran, Pemerintah Provinsi Sulteng mengalokasikan Rp 119 miliar untuk penanggulangan Covid-19. Sekitar 30 persen dana tersebut sudah digunakan atau terealisasi. Artinya, masih tersisa sekitar Rp 80 miliar dana yang dapat dimanfaatkan.